New Normal dan Ayah yang Membisu

Rabu, 27 Mei 2020 - 21:29 WIB
loading...
New Normal dan Ayah yang Membisu
Dosen Ilmu Komunikasi Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi. Foto/Istimewa
A A A
Budi Suswanto
Dosen Ilmu Komunikasi Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi

MASYARAKAT pada beberapa waktu ke depan, bersiap untuk menghadapai new normal. Sebuah tatanan baru yang berbeda dari kehidupan sebelumnya.

Bahkan Direktur Regional WHO untuk Eropa Dr Hans Henri . Kludge sudah memberikan panduan bagi negara-negara di Eropa untuk melaksanakan kehidupan new normal.

Di Indonesia, Kemenko Perekonomian sudah berancang-ancang melakukan pemulihan ekonomi. Dalam kajian awalnya, terbagi dalam lima fase. Fase pertama dimulai dari awal Juni, fase kedua di pertengahan Juni, begitu seterusnya hingga akhir Juli.

Diperkirakan awal bulan Agustus, seluruh kegiatan ekonomi semuanya dibuka kembali. Tentunya dengan tetap memperhatikan protokol dan standar kebersihan dan kesehatan yang ketat.

Sebenarnya “persiapan” kehidupan new normal tersebut sudah dimulai saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan. Orang terpaksa harus banyak berdiam diri di rumah. Tidak terkecuali bagi ayah, yang sebagian besar menghabiskan waktunya berada di luar rumah untuk mencari nafkah.

Bagi ibu, keberadaan dirinya di rumah bukan sesuatu yang istimewa bagi anak-anak. Karena memang, kebanyakan tugas ibu berada di rumah. Tentu saja pengecualian bagi ibu yang sehari-harinya bekerja di luar rumah. Hal yang berbeda dirasakan anak, saat sosok ayah lebih banyak berada di rumah.

Anak lelaki saya berusia lima tahun seringkali bertanya,”Ayah tidak pergi kerja?” Saya hanya memberi pemahaman yang mudah dimengerti olehnya, kalau ayah bekerja di rumah. Tentu awalnya tidak langsung membuatnya paham. Karena pada beberapa kesempatan yang lain ia masih saja bertanya tentang keberadaan ayahnya di rumah.

Sikap berbeda ditunjukkan oleh anak perempuan saya, yang tahun ini memasuki bangku sekolah tingkat lanjutan atas (SLTA). Ia memaklumi kondisi yang terjadi.

Aktivitas saya di rumah menjadi lebih banyak. Selain menyelesaikan “tugas rutin” pekerjaan di rumah (work from home), saya juga ikut mengurus anak lelaki. Dari mulai memandikan, menyuapinya makan, menemaninya bermain sampai mendengarkan cerita tentang film kartun yang ditontonnya.

Pengakuan Diri

Apakah ada peran ayah yang salah di sini? Dalam konteks ayah ideal di Indonesia, bisa saja hal tersebut disalahkan.

Meminjam pernyataan aktivis gender Saparinah Sadli dalam Rahayu (2015), kontruksi sosial dalam sejarah laki-laki dipersepsikan sebagai individu yang tidak perlu berkontribusi pada urusan domestik. Termasuk di dalamnya mengasuh anak. Hal tersebut berkaitan dengan peran ayah secara tradisional sebagai pemimpin dan pelindung dalam rumah tangga.

Padahal dalam beberapa penelitian, ayah justru sangat berperan dalam perkembangan anak. Terutama bagi anak laki-laki. Anak laki-laki yang hidup tanpa figur ayah dan jarang berkomunikasi dengannya, cenderung tumbuh menjadi anak yang sulit. Dia seperti kehilangan pegangan, menjadi pemberontak, melawan hukum, dan perilaku negatif lainnya.

Setidaknya hal itu yang ditulis oleh Guy Corneau dalam bukunya Absent Fathers, Lost Sons. Di Indonesia, buku ini diterjemahkan menjadi Ayah yang Tidak Dirasakan Kehadirannya, Putera yang Kehilangan Arah (Penerbit Karisma, 2008). Buku ini merupakan kisah nyata dari sang penulis.

Corneau memaparkan, saat kecil hubungan dengan ayahnya sangat baik. Namun saat remaja, komunikasi dengan sang ayah seolah hilang. Sosok ayah tidak lagi hadir dalam hidupnya, padahal saat itu Corneau membutuhkannya.

Saat ia sengaja ingin berbicara dengan ayahnya, Corneau bingung bagaimana memulainya. Seolah ada tembok besar yang menghalanginya. Saat kuliah dan dalam peneilitiannya, Corneau mendapati kenyataan bahwa banyak anak remaja mengalami apa yang dirasakannya dulu. Itu sudah turun menurun dilakukan, dari generasi ke generasi berikutnya.

Julianto Simanjuntak dalam buku Kebisuan Para Ayah menulis, budaya kita mendukung “kebisuan” lelaki. Laki-laki yang berwibawa adalah mereka yang penampilannya tenang, bicara seperlunya, dan tidak menunjukkan perasaannya.

Laki-laki yang banyak bicara dianggap cerewet seperti perempuan. Padahal komunikasi yang intens antara ayah dan anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.

Hal tersebut dibuktikan lewat penelitian yang dilakukan oleh Josh McDowell dalam buku The Father Connection. McDowell memberi penjelasan, hubungan yang kuat dengan ayah menjadi faktor penting dalam perkembangan dan kebahagiaan seorang anak. Bukan berarti peran ibu tidak penting. Karena dalam beberapa kejadian, remaja-remaja yang mengalami masalah sulit karena ketiadaan komunikasi dengan ayah. Meski komunikasi dengan ibu berjalan baik.

Pada tahap ini, Julianto menambahkan, banyak emosi yang muncul. Mereka tidak mengerti harus melakukan apa dan pada akhirnya kekerasan menjadi hal yang “diagungkan”.

Anak-anak praremaja yang tidak akrab dengan ayahnya akan sulit membangun pertemanan yang sehat. Dia akan merasa kesepian, hingga akhirnya dia mau berteman dengan siapa saja. Tanpa ada seleksi. Akibatnya ia bisa terserat dalam pergaulan yang buruk. Mereka cenderung akan mencari pengakuan bagi dirinya.

Bangun Komunikasi Kembali

Charles H Cooley mengklasifikasikan komunikasi dengan ayah menjadi bagian komunikasi kelompok primer. Artinya memiliki kerja sama dan hubungan secara tatap muka yang sangat dekat.

Begitu utamanya komunikasi ini, sehingga bila ada yang “hilang” atau tidak terjalin dengan baik, akan sangat terasa pengaruhnya.

Pertanyaan berikutnya, kalau sudah terjadi apa yang bisa dilakukan seorang ayah? Keberadaan ayah selama WHF bisa menjadi jawaban. Selama masa pandemik dan banyak berdiam diri di rumah, ayah bisa memperbaiki komunikasi yang selama ini dirasa kurang baik. Sehingga saat kehidupan new normal mulai dijalankan, tidak ada lagi “tembok” yang menghalangi.

Julianto yang juga seorang terapis keluarga, menyarankan ayah untuk melakukan hal-hal berikut: Pertama, meminta maaf pada anak-anak karena sudah mengabaikan mereka saat kecil. Kedua, memberi waktu dan perhatian lebih banyak. Jika ini tidak dilakukan, anak akan mempercayai ayahnya benar-benar menyadari kesalahannya.

Ketiga, tunjukkan kualitas hubungan yang baik dengan ibu, agar anak-anak merasa nyaman berada di rumah. Keempat, cintai anak-anak dan beri kesempatan kedua bila ada salah.

Kehidupan new normal bagi seorang ayah, tidak hanya mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah secara ketat, tapi juga membangun komunikasi yang lebih baik dengan anak-anak.

Bagi mereka, kehadiran orang tua menjadi sosok yang dijadikan panutan, pelindung bahkan tempat mencurahkan segala macam masalah.

Jangan biarkan anak-anak kita mencari “panutan-panutan” lain di luar rumah. Karena orang tualah yang membentuk karakter hidup mereka. Pastikan tatanan kehidupan kita yang baru, bukan hanya lebih baik dari segi kesehatan tapi juga komunikasi yang dijalankan.

Meminjam istilah yang digunakan Clark dan Shidels (1997) dalam buku Psikologi Keluarga, komunikasi yang baik antara orang tua dan anak berkorelasi dengan rendahnya keterlibatan anak dan remaja dalam perilaku kenakalan.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1218 seconds (0.1#10.140)