Di FGD Unair, Ketua DPD RI Bicara Pentingnya Koreksi Frasa Kalimat pada Pasal Konstitusi

Kamis, 08 Juli 2021 - 19:47 WIB
loading...
Di FGD Unair, Ketua DPD RI Bicara Pentingnya Koreksi Frasa Kalimat pada Pasal Konstitusi
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti saat menjadi pembicara di FGD Pasca-Sarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang digelar secara virtual, Kamis (8/7/2012). Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti kembali menyampaikan pentingnya melakukan amendemen ke-5 UUD 1945. Kali ini, LaNyalla mengutarakan hal itu saat menjadi pembicara di FGD Pasca-Sarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang digelar secara virtual, Kamis (8/7/2012).

Tema yang diangkat dalam FGD itu adalah 'Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden Sebagai Peneguhan Kedaulatan Rakyat dan Penguatan Sistem Presidensiil'. LaNyalla juga mengungkapkan alasan DPD RI mewacanakan dilakukannya amendemen ke-5 konstitusi sebagai koreksi atas amendemen sebelumnya. Menurutnya, banyak frasa kalimat dan norma yang harus dikoreksi dari hasil amendemen konstitusi tahun 2002.

Sebab, akibat amendemen tersebut, lahirlah sejumlah undang-undang yang merugikan bangsa. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur soal presidential threshold yang dianggap mengebiri kedaulatan rakyat, dengan membatasi calon-calon pemimpin terbaik untuk mendapat hak yang sama untuk bisa tampil di pemilihan umum.

"Undang-Undang tentang Pemilu di Pasal 222 yang memberi ambang batas 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara partai politik secara nasional, sama sekali tidak derivatif dari pasal 6A Undang-Undang Dasar hasil Amendemen 2002. Karena Pasal 6A Ayat (3) dan (4), mengatur Ambang Batas keterpilihan. Bukan pencalonan. Tetapi faktanya, oleh Mahkamah Konstitusi hal itu dianggap Open Legal Policy pembuat undang-undang," ungkap LaNyalla.



Menurutnya, DPD RI memperjuangkan amendemen ke-5 agar dilakukan koreksi dengan memberi frasa yang lebih kuat tentang tidak adanya ambang batas pencalonan. LaNyalla menegaskan, setiap partai politik atau gabungan partai politik berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa batas minimal perolehan suara. "DPD RI membutuhkan rekomendasi dan latar belakang pemikiran, perlunya memberi frasa yang lebih jelas dan kuat terhadap hal itu," ucapnya.

LaNyalla pun mempersoalkan bunyi Pasal 222 UU Pemilu di mana terdapat kalimat "pada Pemilu anggota DPR sebelumnya" terkait dengan kepesertaan pada Pemilihan Umum. Poin tersebut juga dianggap tidak derivatif dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD ‘45.

Pasal 6A Ayat (2) menyebutkan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum "sebelum pelaksanaan pemilihan umum".

Menurut para pelaku amendemen, kalimat "sebelum pelaksanaan pemilihan umum" normanya adalah partai politik peserta pemilu saat itu mendaftarkan nama capres dan cawapres sebelum Pilpres.

“Makna dan hermeneutika kalimat 'sebelum pelaksanaan pemilihan umum' sangat berbeda dengan kalimat 'pada Pemilu anggota DPR sebelumnya'," kata LaNyalla.

Atas dasar hal tersebut, LaNyalla menilai menjadi sangat tidak logis bila pasangan capres-cawapres di Pilpres 2019 diajukan oleh partai politik peserta pemilu di tahun 2014. Begitu juga dengan Pilpres di tahun 2024 nanti diajukan oleh Partai Politik peserta pemilu tahun 2019.

Namun oleh MK, menurut LaNyalla, lagi-lagi hal itu dianggap Open Legal Policy sehingga upaya Judicial Review atas Pasal 222 UU Pemilu mengalami kegagalan. "Padahal kalimat 'pada Pemilu anggota DPR sebelumnya' telah menjadi penghalang bagi partai politik baru peserta pemilu pada 2024 nanti untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sementara konstitusi menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik," paparnya.



Oleh karena itu, LaNyalla menilai UU Pemilu, khususnya Pasal 222 dapat disimpulkan sebagai desain besar dari oligarki untuk menguasai negara secara keseluruhan. Buntutnya, negara mengabdi pada tujuan oligarki untuk memperkuat akumulasi kekayaannya. Bahkan kalau perlu, negara harus menjadi pelayan bagi kaum oligarki.

"Saya mencatat setidaknya ada empat dampak negatif yang terjadi di negara ini akibat adanya presidential threshold yang diatur di UU Pemilu tersebut. Yang pertama, hanya akan muncul dua pasangan calon yang head to head. Meskipun di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon. Tetapi tidak begitu dalam praktiknya," ujar LaNyalla.

Hal tersebut terbukti karena dalam pemilu yang lalu bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon. Konsekuensinya adalah terjadinya pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput yang masih dirasakan hingga detik ini. Menurut LaNyalla, keadaan itu sangat tidak produktif bagi perjalanan bangsa dan negara ini.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1337 seconds (0.1#10.140)