Wacana Presiden 3 Periode, Titi Anggraini Tantang Qodari Buktikan Hal Ini
loading...
A
A
A
Menurutnya banyak yang salah dari pandangan M Qodari sebagai orang pertama yang mempublikasikan secara terang-terangan ide Jokowi 3 Periode atau Jokowi - Prabowo adalah solusi. "Benarkah Jokowi - Prabowo adalah solusi dari polarisasi yang ada. Saya ingin menegaskan penyebab polarisasi itu bukan kompetisi, kalau Qodari menyebut Jokowi - Prabowo adalah solusi polarisasi itu keliru," ungkapnya.
Menurutnya, persoalan ini harus dijernihkan bahwa sebenarnya polarisasi itu terdampak dua hal yang paling pokok diantara sebab-sebab lain. "Pertama, bahwa elite politik menggunakan propaganda secara manipulatif mendorong orang untuk memilih secara massif, jadi kompetisi itu normal," jelasnya.
Dia membayangkan jika Persipura melawan Persita lalu para pemainnya berkelahi, lalu disimpulkan sepakbola itu buruk karena itu tentukan saja pemenangnya dengan cara aklamasi. "Itu bukan kompetisi, sebab problemnya bukan disana. Problemnya adalah propaganda manipulatif itu tadi. Pemilu ditentukan oleh yang didukung banyak orang itu kemudian menjebak sebagian kandidat untuk secara manipulatif membenci kepada yang berbeda," jelasnya.
Jika polarisasi dianggap ongkos, lalu Jokowi dirancang 3 periode yang dianggap sebagai solusi maka problemnya adalah sejarah menunjukan teks-teks politik juga sudah mengajarkan bahwa periode berikutnya membuka peluang otoritarianisme.
"Saya menantang Qodari dan teman-temannya yang mendukung ide Jokowi 3 Periode untuk beri bukti bahwa kalau Jokowi hari ini baik, apakah ada jaminan manakala kita beri kewenangan 5 tahun memimpin kembali Jokowi akan sama baiknya," ucapnya.
Pengalaman sejarah yang dialami banyak negara, termasuk Indonesia menunjukan bahwa pada periode kedua rata-rata Presiden itu punya kutukan bahwa kualitas kepemimpinan mereka menjadi lebih buruk dibandingkan periode pertama.
"Salah satu penyebabnya adalah karena mereka boleh dibilang tidak punya kesempatan pada periode ketiga sehingga bisa dilihat pernyataan Jokowi pada Pemilu lalu ketika mengatakan bahwa saya tidak punya beban pada periode kedua itu justru menunjukan sebaliknya," paparnya.
Menurutnya, persoalan ini harus dijernihkan bahwa sebenarnya polarisasi itu terdampak dua hal yang paling pokok diantara sebab-sebab lain. "Pertama, bahwa elite politik menggunakan propaganda secara manipulatif mendorong orang untuk memilih secara massif, jadi kompetisi itu normal," jelasnya.
Dia membayangkan jika Persipura melawan Persita lalu para pemainnya berkelahi, lalu disimpulkan sepakbola itu buruk karena itu tentukan saja pemenangnya dengan cara aklamasi. "Itu bukan kompetisi, sebab problemnya bukan disana. Problemnya adalah propaganda manipulatif itu tadi. Pemilu ditentukan oleh yang didukung banyak orang itu kemudian menjebak sebagian kandidat untuk secara manipulatif membenci kepada yang berbeda," jelasnya.
Jika polarisasi dianggap ongkos, lalu Jokowi dirancang 3 periode yang dianggap sebagai solusi maka problemnya adalah sejarah menunjukan teks-teks politik juga sudah mengajarkan bahwa periode berikutnya membuka peluang otoritarianisme.
"Saya menantang Qodari dan teman-temannya yang mendukung ide Jokowi 3 Periode untuk beri bukti bahwa kalau Jokowi hari ini baik, apakah ada jaminan manakala kita beri kewenangan 5 tahun memimpin kembali Jokowi akan sama baiknya," ucapnya.
Pengalaman sejarah yang dialami banyak negara, termasuk Indonesia menunjukan bahwa pada periode kedua rata-rata Presiden itu punya kutukan bahwa kualitas kepemimpinan mereka menjadi lebih buruk dibandingkan periode pertama.
"Salah satu penyebabnya adalah karena mereka boleh dibilang tidak punya kesempatan pada periode ketiga sehingga bisa dilihat pernyataan Jokowi pada Pemilu lalu ketika mengatakan bahwa saya tidak punya beban pada periode kedua itu justru menunjukan sebaliknya," paparnya.
(muh)