Warteg: Wareg dan Teteg

Kamis, 18 Februari 2021 - 07:22 WIB
loading...
A A A
Semua memahami bahwa jatidiri orang Indonesia adalah akrab dengan dengan sayur lodeh, sayur asem, terong, bayam, urap, nangka, orek tempe ataupun gorengan. Jika ke restoran, rumah makan, atau kafe, jenis-jenis itu sangat mungkin ada. Namun kadang cita rasanya tetap kurang nendang.
Dan, karena telanjur dibeli mahal, makanan-makanan itu biasanya terpaksa tetap dimakan meski lidah ini tak sepenuhnya doyan.

Nasi warteg bahan bakunya jelas tidak sebanyak bibimbap di Korea atau rempahnya tak sekuat nasi kebuli, mandi, dan bukhari di Arab maupun biryani di India. Namun kesederhanaan nasi warteg justru membuat lidah begitu lekat.

Makan di warteg juga mengajak orang untuk mengonsumsi tubuh ini sesuai dengan kondisi kesehatan. Ini tak berlebihan sebab di warteg banyak sayuran dan lauk sehat ditawarkan. Bagi yang menderita kolesterol tinggi, sayuran bayam bening dan tahu tempe misalnya bisa jadi pilihan.

Di restoran, jenis ini tentu tak mudah kita dapatkan. Begitu banyaknya sayuran dan lauk yang tersedia membuat orang akan menumpahkan kebebasannya sesuai selera dan lagi-lagi tergantung dompet.

Di meja makan, di tengah perbedaan lauk yang disajikan, para pembeli tak saling mempertentangkan. Mereka saling paham bahwa apa yang dikonsumsi adalah benar-benar berpijak pada kebutuhan diri. Perbedaan inilah yang menggambarkan toleransi sejatinya juga tertanam di warteg.

Dengan makan di warteg, tak ada lagi rasa khawatir dicibir karena sebenarnya di situlah seluruh protret diri tertuang dengan apa adanya. Orang sepenuhnya percaya diri dan jujur. Di warteg, orang akhirnya menjaditetegatau tangguh. Modal percaya diri, kejujuran dan ketangguhan diri inilah yang hakikatnya membuat orang akan melangkah lebih mudah dan nyaman dalam mengarungi kehidupan.

Mereka juga tak perlu khawatir soal finansial, kesehatan dan relasi sosialnya. Warteg jelas memitigasi orang untuk mengonsumsi sesuai kapasitas diri. Kesadaran seseorang dalam memahami kekuatan diri inilah yang juga menjadi sarana penting agar orang tidak hidup liar tanpa arah. Lebih-lebih dalam menjaga kesehatan di tengah pandemi seperti saat ini, tentu menjadi manusia sehat dan waras kian menjadi hal inti.

Situasi ini selaras dengan pepatah Jawa yang berbunyi, sopo sing tetegmengko bakal tutug. Ini bermakna bahwa keteguhan seseorang dalam memahami betul kelebihan dan kekurangannya akan menjadi modal besar untuk menggapai tahapan serta tujuan hidup.

Tutugbermakna sampai. Dari sini, kita mungkin bisa memaknai bahwa keberhasilan menapaki kehidupan hanya bisa diraih dengan keberanian seseorang untuk memegang kuat prinsip diri. Prinsip ini berbasis pada isi hati, bukan lagi citra diri apalagi gengsi.

Di masa pandemi ini, hakikatnya warteg tak goyah mendapatkan hati di tengah masyarakat kita. Warteg tetap menjadi penyelamat rakyat banyak, kekuatan ekonomi nasional dan pembangun karakter bangsa. Namun lantaran ekonomi terkontraksi, tak sedikit yang harus undur diri dan sebagian berusaha setengah mati agar tetap kokoh berdiri.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0897 seconds (0.1#10.140)