Warteg: Wareg dan Teteg

Kamis, 18 Februari 2021 - 07:22 WIB
loading...
A A A
Dasi keren yang masih mereka kenakan atau blazer anggun yang membalut para pekerja perempuan tak lantas membuat mereka kehilangan wibawa dan pesona saat di dalam warteg. Ada makna kesetaraan ternyata di dalam warteg.

Tak ada lagi asosiasi diri atau dibahasakan Henri Tajfel dan John Turner semacam penciptaan identitas sosial (social identity) bahwa makan di warteg bermakna kelompok miskin dan sebagainya. Warteg nyatanya telah bertransformasi, termasuk saat ini yang tak didominasi jualan makanan orang Tegal lagi.

Bahkan, warteg tanpa disadari mengajarkan seseorang hidup apa adanya, teguh memegang jatidiri, menjaga kesehatan tubuh dengan baik dan sekaligus toleransi. Di warteg, jelas orang akan mengesampingkan unsur strata.

Entah kuli bangunan atau pekerja kantoran, ketika sudah masuk ke warteg, secara tak langsung sejatinya menyetel diri pada struktur kelas yang setara. Kuli bangunan sangat mungkin membeli telur dadar pedas, lauk ayam goreng atau ikan tongkol karena harganya sangat terjangkau.

Namun, karena tanggal tua dan belum gajian, pekerja kantoran bisa jadi hanya mampu membeli nasi sayur lodeh, tempe dan gorengan. Toh demikian, di meja makan, mereka tak saling mencela, ngrasani atau gengsi.

Sikapbloko suthoatau blak-blakan inilah yang membuat keriuhan warteg tampak alami. Apalagi keakraban dan logat khas Tegal yang diucapkan para pelayan-pelayannya membuat suasana menjadi tak kaku.

Tak ada setingan, jaga imej, citra dan lain sebagainya. Semua mengalir apa adanya karena mereka makan benar-benar berbasis karena perut lapar dan menyetarakan dengan isi dompet. Pada saat yang sama, mungkin sebagian orang memilih makan di restoran.

Namun kadang yang terjadi, mereka datang ke tempat itu dengan tidak menyeimbangkan dengan kemampuan. Jelas, yang mereka beli sejatinya citra diri agar bisa mendapat membuat status di media sosial, apresiasilike,commentdan sebagainya, bukan benar-benar kebutuhan badani hakiki.

Di warteg, orang juga mengimplementasikan makna jatidiri. Masing-masing menanggalkan status, jabatan, baju kebesaran dan sebagainya. Mereka datang dengan tujuan satu yakni untuk makan sesuai selera hati, kebutuhan badani, dan tentu bisamaregi.

Inilah yang membuat banyak orang datang ke warteg tak lagi soal pertimbangan harga. Di warteglah, memang faktanya, makanan yang ditawarkan benar-benar sesuai kebutuhan lidah khalayak.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1160 seconds (0.1#10.140)