Warteg: Wareg dan Teteg

Kamis, 18 Februari 2021 - 07:22 WIB
loading...
Warteg: Wareg dan Teteg
Warteg: Wareg dan Teteg
A A A
ABDUL HAKIM
Wartawan Koran SINDO

2001. Persis pada tahun itu, saya ingat betul awal mula mengenal warteg. Sebelumnya, nama warteg memang sudah melegenda khususnya di Ibu Kota Jakarta.

Namun di awal era milenium itulah, warung makan produk pantura Jateng tersebut benar-benar mulai menyebar ke mana-mana. Termasuk di Kota Semarang, Jawa Tengah, ekspansinya luar biasa.

Sebagai mahasiswa aslindesoyang tinggal di kota besar, kehadiran warteg di kawasan Jrakah, Semarang, saat itu seolah menjadi berkah besar. Adanya warung berciri khas kaca lebar dan aneka sayur tertata rapi di etalase bertingkat kala itu makin memperkaya pilihan untuk makan.

Pertimbangan dan sasaran jelas, makan di warteg saat itu begitu murah.Dus, dengan beralih ke warteg, maka uang saku kiriman orangtua umurnya bakal lebih panjang.

Makan di warteg, memang bikinwareg(kenyang). Awalnya kaget juga melihat porsi nasi warteg saat itu mengalahkan warung-warung murah yang sudah ada. Tak hanya itu, lidah juga butuh perkenalan karena tak biasa dengan cita rasa masakan olahanwongTegal ini.

Namun, bagi mahasiswa seperti saya, itu tak jadi masalah besar. Sepiring nasi dipadu sayur tumis kacang panjang dan orek tempe teri plus bakwan, sudahlah sangat istimewa. Perlahan, mungkin juga lantaran kondisi finansial saat itu, warteg seolah semakin melekat dengan kehidupan saya. Warteg menjadijujuganutama.

Pun selama tinggal di Jakarta dalam 15 tahun terakhir ini. Prinsip membikinwareginilah yang hakikatnya menjadikan warteg melegenda.Ya, sejak awal kemunculannya pada 1960-an kala Presiden Soekarno gencar membangun infrastruktur di Jakarta hingga saat ini, warteg tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Sejak saat cara membayar harus dengan uang logam sen, hingga bertransformasi ke uang digital saat ini, ciri khas warteg tak banyak berubah.

Warteg memang warung rakyat. Tapi itu bukan berarti warteg adalah dominasi orang kelas bawah, seperti kuli bangunan, buruh pabrik atau pekerja kasar lainnya.

Di lorong-lorong Jakarta, warteg kini lumrah menjadijujuganpara pekerja kantoran saat jam makan siang. Mereka berjubel datang, memilah menu dengan mudah dan begitu menikmati aneka macam gorengan.

Dasi keren yang masih mereka kenakan atau blazer anggun yang membalut para pekerja perempuan tak lantas membuat mereka kehilangan wibawa dan pesona saat di dalam warteg. Ada makna kesetaraan ternyata di dalam warteg.

Tak ada lagi asosiasi diri atau dibahasakan Henri Tajfel dan John Turner semacam penciptaan identitas sosial (social identity) bahwa makan di warteg bermakna kelompok miskin dan sebagainya. Warteg nyatanya telah bertransformasi, termasuk saat ini yang tak didominasi jualan makanan orang Tegal lagi.

Bahkan, warteg tanpa disadari mengajarkan seseorang hidup apa adanya, teguh memegang jatidiri, menjaga kesehatan tubuh dengan baik dan sekaligus toleransi. Di warteg, jelas orang akan mengesampingkan unsur strata.

Entah kuli bangunan atau pekerja kantoran, ketika sudah masuk ke warteg, secara tak langsung sejatinya menyetel diri pada struktur kelas yang setara. Kuli bangunan sangat mungkin membeli telur dadar pedas, lauk ayam goreng atau ikan tongkol karena harganya sangat terjangkau.

Namun, karena tanggal tua dan belum gajian, pekerja kantoran bisa jadi hanya mampu membeli nasi sayur lodeh, tempe dan gorengan. Toh demikian, di meja makan, mereka tak saling mencela, ngrasani atau gengsi.

Sikapbloko suthoatau blak-blakan inilah yang membuat keriuhan warteg tampak alami. Apalagi keakraban dan logat khas Tegal yang diucapkan para pelayan-pelayannya membuat suasana menjadi tak kaku.

Tak ada setingan, jaga imej, citra dan lain sebagainya. Semua mengalir apa adanya karena mereka makan benar-benar berbasis karena perut lapar dan menyetarakan dengan isi dompet. Pada saat yang sama, mungkin sebagian orang memilih makan di restoran.

Namun kadang yang terjadi, mereka datang ke tempat itu dengan tidak menyeimbangkan dengan kemampuan. Jelas, yang mereka beli sejatinya citra diri agar bisa mendapat membuat status di media sosial, apresiasilike,commentdan sebagainya, bukan benar-benar kebutuhan badani hakiki.

Di warteg, orang juga mengimplementasikan makna jatidiri. Masing-masing menanggalkan status, jabatan, baju kebesaran dan sebagainya. Mereka datang dengan tujuan satu yakni untuk makan sesuai selera hati, kebutuhan badani, dan tentu bisamaregi.

Inilah yang membuat banyak orang datang ke warteg tak lagi soal pertimbangan harga. Di warteglah, memang faktanya, makanan yang ditawarkan benar-benar sesuai kebutuhan lidah khalayak.

Semua memahami bahwa jatidiri orang Indonesia adalah akrab dengan dengan sayur lodeh, sayur asem, terong, bayam, urap, nangka, orek tempe ataupun gorengan. Jika ke restoran, rumah makan, atau kafe, jenis-jenis itu sangat mungkin ada. Namun kadang cita rasanya tetap kurang nendang.
Dan, karena telanjur dibeli mahal, makanan-makanan itu biasanya terpaksa tetap dimakan meski lidah ini tak sepenuhnya doyan.

Nasi warteg bahan bakunya jelas tidak sebanyak bibimbap di Korea atau rempahnya tak sekuat nasi kebuli, mandi, dan bukhari di Arab maupun biryani di India. Namun kesederhanaan nasi warteg justru membuat lidah begitu lekat.

Makan di warteg juga mengajak orang untuk mengonsumsi tubuh ini sesuai dengan kondisi kesehatan. Ini tak berlebihan sebab di warteg banyak sayuran dan lauk sehat ditawarkan. Bagi yang menderita kolesterol tinggi, sayuran bayam bening dan tahu tempe misalnya bisa jadi pilihan.

Di restoran, jenis ini tentu tak mudah kita dapatkan. Begitu banyaknya sayuran dan lauk yang tersedia membuat orang akan menumpahkan kebebasannya sesuai selera dan lagi-lagi tergantung dompet.

Di meja makan, di tengah perbedaan lauk yang disajikan, para pembeli tak saling mempertentangkan. Mereka saling paham bahwa apa yang dikonsumsi adalah benar-benar berpijak pada kebutuhan diri. Perbedaan inilah yang menggambarkan toleransi sejatinya juga tertanam di warteg.

Dengan makan di warteg, tak ada lagi rasa khawatir dicibir karena sebenarnya di situlah seluruh protret diri tertuang dengan apa adanya. Orang sepenuhnya percaya diri dan jujur. Di warteg, orang akhirnya menjaditetegatau tangguh. Modal percaya diri, kejujuran dan ketangguhan diri inilah yang hakikatnya membuat orang akan melangkah lebih mudah dan nyaman dalam mengarungi kehidupan.

Mereka juga tak perlu khawatir soal finansial, kesehatan dan relasi sosialnya. Warteg jelas memitigasi orang untuk mengonsumsi sesuai kapasitas diri. Kesadaran seseorang dalam memahami kekuatan diri inilah yang juga menjadi sarana penting agar orang tidak hidup liar tanpa arah. Lebih-lebih dalam menjaga kesehatan di tengah pandemi seperti saat ini, tentu menjadi manusia sehat dan waras kian menjadi hal inti.

Situasi ini selaras dengan pepatah Jawa yang berbunyi, sopo sing tetegmengko bakal tutug. Ini bermakna bahwa keteguhan seseorang dalam memahami betul kelebihan dan kekurangannya akan menjadi modal besar untuk menggapai tahapan serta tujuan hidup.

Tutugbermakna sampai. Dari sini, kita mungkin bisa memaknai bahwa keberhasilan menapaki kehidupan hanya bisa diraih dengan keberanian seseorang untuk memegang kuat prinsip diri. Prinsip ini berbasis pada isi hati, bukan lagi citra diri apalagi gengsi.

Di masa pandemi ini, hakikatnya warteg tak goyah mendapatkan hati di tengah masyarakat kita. Warteg tetap menjadi penyelamat rakyat banyak, kekuatan ekonomi nasional dan pembangun karakter bangsa. Namun lantaran ekonomi terkontraksi, tak sedikit yang harus undur diri dan sebagian berusaha setengah mati agar tetap kokoh berdiri.

Butuh leverage yang jitu dan bersifat segera agar warteg terus berdaya. Di balik ribuan warteg yang kini tutup, ada nasib ratusan ribu nyawa di dalamnya. Saya pribadi berharap, pandemi ini segera teratasi sehingga era seret warteg ini tersudahi. Dan, warteg kembali mengokohkan marwahnya sebagai warung rakyat yang bisa bikinwaregdanteteg. Semoga.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3252 seconds (0.1#10.140)