Diskursus Utang dalam Pemulihan Ekonomi
loading...
A
A
A
Prof Candra Fajri Ananda, Ph.D
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
PANDEMI Covid-19 yang menghantam global mutlak memaksa pemerintah di setiap negara untuk menggelontorkan anggaran demi memastikan ekonomi tetap berjalan. Tercatat, sebanyak 193 negara telah mengucurkan stimulus hingga USD8 triliun atau setara dengan 10% PDB dunia khusus untuk memerangi Covid-19.
Berdasarkan data yang dikumpulkan pada 2020, negara yang menyalurkan dukungan stimulus fiskal paling besar ialah Australia dan Singapura yakni sebesar 10,9% dari PDB. Adapun yang paling rendah ialah Spanyol sebesar 0,7% dari PDB. Sementara negara lainnya seperti Amerika sebesar 10,5%, Malaysia 10%, Kanada 6%, Jerman 4,5%, Arab Saudi 2,7%, Prancis 2%, Italia 1,4%, China 1,2%, dan Korea 0,8% dari PDB masing-masing negara tersebut.
Sementara Indonesia menggelontorkan stimulus sebesar 2,5% dari PDB. Dukungan fiskal yang dikucurkan tak hanya berupa jaring pengaman sosial, namun juga insentif pajak, jaminan upah, moratorium pembayaran utang, liquidity swap, hingga penundaan pajak.
Tak dipungkiri bahwa besarnya peran dan kucuran dana yang dibutuhkan oleh berbagai negara di dunia selama pandemi tak sejalan dengan pemasukan negara yang berkurang, sementara anggaran belanja membengkak. Hal ini merupakan dampak besar pandemi Covid- 19 terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk Indonesia. Untuk menutupi defisit anggaran tersebut, utang negara sebagai salah satu solusi guna menutup kekurangan anggaran kian membengkak.
Menteri Keuangan menyebutkan bahwa Indonesia tak sendiri. Banyak negara di dunia yang memiliki posisi utang tembus mencapai 100% dari PDB negaranya. Negara-negara yang utang publiknya tembus di atas 100% terhadap PDB di antaranya adalah Amerika Serikat (131,2% dari PDB) dan Prancis (118,7% dari PDB). Selain dua negara tersebut, posisi utang publik yang juga tercatat tinggi ialah Jerman yang mencapai 73,3% terhadap PDB. Sedangkan China mencapai 63,3% dan India telah mencapai level 69,3% dari PDB. Sedangkan untuk negara-negara tetangga, seperti Singapura, telah tembus 131,2%, Malaysia 67,6%, dan Thailand 50,4% dari PDB masing-masing negaranya. Adapun Indonesia, berdasarkan catatan terbaru, telah mencapai 38,5% dari PDB. Angka tersebut sejatinya masih berada jauh di bawah Filipina sebesar 48,9% dan Vietnam 46,6% terhadap PDB-nya.
Utang dan Defisit APBN Indonesia
Defisit pada suatu negara terjadi bila jumlah pendapatan negara tersebut lebih kecil dari jumlah belanja sehingga defisit APBN merupakan selisih kurang antara pendapatan negara dan belanja negara pada tahun anggaran yang sama. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara ditetapkan batas maksimal defisit adalah 3% dari PDB. Akan tetapi, dalam menghadapi keadaan krisis dan mengurangi dampak akibat pandemi Covid-19, pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1/2020 yang menegaskan bahwa pemerintah berwenang untuk menetapkan defisit anggaran lebih dari 3% terhadap PDB selama masa penanganan Covid-19 dan selambat-lambatnya hingga tahun anggaran 2022.
Selanjutnya, untuk tahun anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi maksimal 3% dari PDB. Selama pandemi pada 2020, Indonesia telah beberapa kali mengubah formula angka dalam struktur APBN 2020 untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Pada Juni 2020 pemerintah mengeluarkan Perpres 72/2020 yang merupakan revisi kedua APBN 2020.
Pada revisi tersebut defisit APBN meningkat drastis dari sebelumnya 1.76% di APBN 2020 menjadi 5,07% di revisi pertama. Selanjutnya, pada revisi kedua defisit APBN semakin melebar menjadi 6,34% dari PDB dengan nilai Rp1.039 triliun. Tingginya angka defisit disebabkan penurunan penerimaan negara dari sisi pajak, bea cukai dan PNBP, serta peningkatan belanja yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19.
Selanjutnya dalam APBN 2021 defisit anggaran direncanakan sebesar Rp1.006,4 triliun atau setara 5,7% dari PDB. Angka tersebut menurun dibandingkan defisit anggaran dalam Perpres Nomor 72/2020 sebesar Rp1.039,2 triliun atau sekitar 6,34% dari PDB. Defisit ini sejalan dengan upaya melanjutkan penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, ketika potensi sisi penerimaan belum sepenuhnya pulih. Dengan demikian, diharapkan momentum pertumbuhan ekonomi dapat dijaga, serta menghindari opportunity loss dalam mendorong pencapaian target pembangunan nasional.
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
PANDEMI Covid-19 yang menghantam global mutlak memaksa pemerintah di setiap negara untuk menggelontorkan anggaran demi memastikan ekonomi tetap berjalan. Tercatat, sebanyak 193 negara telah mengucurkan stimulus hingga USD8 triliun atau setara dengan 10% PDB dunia khusus untuk memerangi Covid-19.
Berdasarkan data yang dikumpulkan pada 2020, negara yang menyalurkan dukungan stimulus fiskal paling besar ialah Australia dan Singapura yakni sebesar 10,9% dari PDB. Adapun yang paling rendah ialah Spanyol sebesar 0,7% dari PDB. Sementara negara lainnya seperti Amerika sebesar 10,5%, Malaysia 10%, Kanada 6%, Jerman 4,5%, Arab Saudi 2,7%, Prancis 2%, Italia 1,4%, China 1,2%, dan Korea 0,8% dari PDB masing-masing negara tersebut.
Sementara Indonesia menggelontorkan stimulus sebesar 2,5% dari PDB. Dukungan fiskal yang dikucurkan tak hanya berupa jaring pengaman sosial, namun juga insentif pajak, jaminan upah, moratorium pembayaran utang, liquidity swap, hingga penundaan pajak.
Tak dipungkiri bahwa besarnya peran dan kucuran dana yang dibutuhkan oleh berbagai negara di dunia selama pandemi tak sejalan dengan pemasukan negara yang berkurang, sementara anggaran belanja membengkak. Hal ini merupakan dampak besar pandemi Covid- 19 terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk Indonesia. Untuk menutupi defisit anggaran tersebut, utang negara sebagai salah satu solusi guna menutup kekurangan anggaran kian membengkak.
Menteri Keuangan menyebutkan bahwa Indonesia tak sendiri. Banyak negara di dunia yang memiliki posisi utang tembus mencapai 100% dari PDB negaranya. Negara-negara yang utang publiknya tembus di atas 100% terhadap PDB di antaranya adalah Amerika Serikat (131,2% dari PDB) dan Prancis (118,7% dari PDB). Selain dua negara tersebut, posisi utang publik yang juga tercatat tinggi ialah Jerman yang mencapai 73,3% terhadap PDB. Sedangkan China mencapai 63,3% dan India telah mencapai level 69,3% dari PDB. Sedangkan untuk negara-negara tetangga, seperti Singapura, telah tembus 131,2%, Malaysia 67,6%, dan Thailand 50,4% dari PDB masing-masing negaranya. Adapun Indonesia, berdasarkan catatan terbaru, telah mencapai 38,5% dari PDB. Angka tersebut sejatinya masih berada jauh di bawah Filipina sebesar 48,9% dan Vietnam 46,6% terhadap PDB-nya.
Utang dan Defisit APBN Indonesia
Defisit pada suatu negara terjadi bila jumlah pendapatan negara tersebut lebih kecil dari jumlah belanja sehingga defisit APBN merupakan selisih kurang antara pendapatan negara dan belanja negara pada tahun anggaran yang sama. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara ditetapkan batas maksimal defisit adalah 3% dari PDB. Akan tetapi, dalam menghadapi keadaan krisis dan mengurangi dampak akibat pandemi Covid-19, pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1/2020 yang menegaskan bahwa pemerintah berwenang untuk menetapkan defisit anggaran lebih dari 3% terhadap PDB selama masa penanganan Covid-19 dan selambat-lambatnya hingga tahun anggaran 2022.
Selanjutnya, untuk tahun anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi maksimal 3% dari PDB. Selama pandemi pada 2020, Indonesia telah beberapa kali mengubah formula angka dalam struktur APBN 2020 untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Pada Juni 2020 pemerintah mengeluarkan Perpres 72/2020 yang merupakan revisi kedua APBN 2020.
Pada revisi tersebut defisit APBN meningkat drastis dari sebelumnya 1.76% di APBN 2020 menjadi 5,07% di revisi pertama. Selanjutnya, pada revisi kedua defisit APBN semakin melebar menjadi 6,34% dari PDB dengan nilai Rp1.039 triliun. Tingginya angka defisit disebabkan penurunan penerimaan negara dari sisi pajak, bea cukai dan PNBP, serta peningkatan belanja yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19.
Selanjutnya dalam APBN 2021 defisit anggaran direncanakan sebesar Rp1.006,4 triliun atau setara 5,7% dari PDB. Angka tersebut menurun dibandingkan defisit anggaran dalam Perpres Nomor 72/2020 sebesar Rp1.039,2 triliun atau sekitar 6,34% dari PDB. Defisit ini sejalan dengan upaya melanjutkan penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, ketika potensi sisi penerimaan belum sepenuhnya pulih. Dengan demikian, diharapkan momentum pertumbuhan ekonomi dapat dijaga, serta menghindari opportunity loss dalam mendorong pencapaian target pembangunan nasional.