Belanja Negara dalam Konvergensi Wilayah: Efektifkah?

Selasa, 17 September 2024 - 06:54 WIB
loading...
Belanja Negara dalam...
Staf Khusus Menteri Keuangan RI, Candra Fajri Ananda. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

PERTUMBUHAN ekonomi sering dianggap sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan nasional, karena mencerminkan peningkatan aktivitas ekonomi dan kapasitas produksi suatu negara. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang di ASEAN, telah berhasil mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi di atas 5% selama enam kuartal terakhir.

Data BPS mencatat bahwa ekonomi Indonesia berhasil tumbuh sebesar 5,11% (yoy) pada triwulan pertama 2024, sementara di triwulan kedua 2024 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,05% (yoy).

Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tergolong stabil di Tengah berbagai gejolak ekonomi dunia, tantangan lain muncul dalam bentuk ketidakmerataan pendapatan per kapita antarwilayah. Bahkan, ketimpangan tersebut tampak jelas ketika kontribusi ekonomi nasional didominasi oleh beberapa wilayah seperti Pulau Jawa, yang menyumbang lebih dari 57% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Di sisi lain, wilayah-wilayah seperti Papua, Kalimantan, dan Nusa Tenggara masih tertinggal jauh dalam hal kontribusi terhadap PDB dan memiliki tingkat pendapatan per kapita yang jauh lebih rendah.

Sejatinya, ketimpangan kerap terjadi akibat sumber daya dan investasi yang cenderung terpusat di sektor modern atau wilayah tertentu, sementara sektor tradisional di daerah tertinggal kurang mendapat perhatian. Dalam dunia ekonomi, konsep "Dualistik Ekonomi" tersebut dikemukakan oleh W. Arthur Lewis, menjelaskan bahwa sejatinya terdapat dua sektor ekonomi yang berbeda dalam suatu negara, yakni sektor modern yang berkembang pesat di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan sektor tradisional yang stagnan di daerah tertinggal.

Oleh sebab itu, demi mengatasi ketimpangan tersebut, maka intervensi pemerintah mutlak diperlukan. Teori ekonomi Keynesian menyarankan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dasar dan layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan dapat meningkatkan permintaan agregat dan mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah tertinggal.

Pengeluaran di sektor-sektor tersbeut diyakini tidak hanya dapat meningkatkan lapangan kerja dan produktivitas semata, melainkan juga menciptakan efek pengganda yang mendorong pembangunan ekonomi yang lebih merata di seluruh wilayah. Artinya, harapan terhadap pertumbuhan ekonomi yang stabil dapat disertai dengan peningkatan pemerataan kesejahteraan dapat diupayakan.

Percepatan Konvergensi di Indonesia

Konvergensi adalah proses di mana wilayah dengan pendapatan rendah cenderung mengejar wilayah dengan pendapatan tinggi. Menurut Barro dan Sala-i-Martin (1992), konvergensi dapat dilihat sebagai proses, di mana daerah yang tertinggal mencoba untuk mengejar daerah yang kaya.

Teori konvergensi ini didasarkan pada model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang menganggap bahwa wilayah berpendapatan rendah pada akhirnya akan mencapai titik kesetimbangan (steady state) dengan wilayah berpendapatan tinggi.

Konvergensi dibagi menjadi tiga jenis yakni konvergensi sigma, konvergensi beta absolut, dan konvergensi beta kondisional. Konvergensi sigma mengukur tingkat kesenjangan antarwilayah pada periode tertentu. Sementara itu, konvergensi beta absolut menunjukkan seberapa cepat wilayah berpendapatan rendah dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan wilayah berpendapatan tinggi. Di sisi lain, konvergensi beta kondisional mempertimbangkan variabel lain selain pendapatan awal yang dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1059 seconds (0.1#10.140)