Diskursus Utang dalam Pemulihan Ekonomi

Senin, 22 Februari 2021 - 17:40 WIB
loading...
Diskursus Utang dalam Pemulihan Ekonomi
Prof Candra Fajri Ananda, PhD (Foto: Istimewa)
A A A
Prof Candra Fajri Ananda, Ph.D
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

PANDEMI
Covid-19 yang menghantam global mutlak memaksa pemerintah di setiap negara untuk menggelontorkan anggaran demi memastikan ekonomi tetap berjalan. Tercatat, sebanyak 193 negara telah mengucurkan stimulus hingga USD8 triliun atau setara dengan 10% PDB dunia khusus untuk memerangi Covid-19.

Berdasarkan data yang dikumpulkan pada 2020, negara yang menyalurkan dukungan stimulus fiskal paling besar ialah Australia dan Singapura yakni sebesar 10,9% dari PDB. Adapun yang paling rendah ialah Spanyol sebesar 0,7% dari PDB. Sementara negara lainnya seperti Amerika sebesar 10,5%, Malaysia 10%, Kanada 6%, Jerman 4,5%, Arab Saudi 2,7%, Prancis 2%, Italia 1,4%, China 1,2%, dan Korea 0,8% dari PDB masing-masing negara tersebut.

Sementara Indonesia menggelontorkan stimulus sebesar 2,5% dari PDB. Dukungan fiskal yang dikucurkan tak hanya berupa jaring pengaman sosial, namun juga insentif pajak, jaminan upah, moratorium pembayaran utang, liquidity swap, hingga penundaan pajak.

Tak dipungkiri bahwa besarnya peran dan kucuran dana yang dibutuhkan oleh berbagai negara di dunia selama pandemi tak sejalan dengan pemasukan negara yang berkurang, sementara anggaran belanja membengkak. Hal ini merupakan dampak besar pandemi Covid- 19 terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk Indonesia. Untuk menutupi defisit anggaran tersebut, utang negara sebagai salah satu solusi guna menutup kekurangan anggaran kian membengkak.

Menteri Keuangan menyebutkan bahwa Indonesia tak sendiri. Banyak negara di dunia yang memiliki posisi utang tembus mencapai 100% dari PDB negaranya. Negara-negara yang utang publiknya tembus di atas 100% terhadap PDB di antaranya adalah Amerika Serikat (131,2% dari PDB) dan Prancis (118,7% dari PDB). Selain dua negara tersebut, posisi utang publik yang juga tercatat tinggi ialah Jerman yang mencapai 73,3% terhadap PDB. Sedangkan China mencapai 63,3% dan India telah mencapai level 69,3% dari PDB. Sedangkan untuk negara-negara tetangga, seperti Singapura, telah tembus 131,2%, Malaysia 67,6%, dan Thailand 50,4% dari PDB masing-masing negaranya. Adapun Indonesia, berdasarkan catatan terbaru, telah mencapai 38,5% dari PDB. Angka tersebut sejatinya masih berada jauh di bawah Filipina sebesar 48,9% dan Vietnam 46,6% terhadap PDB-nya.

Utang dan Defisit APBN Indonesia
Defisit pada suatu negara terjadi bila jumlah pendapatan negara tersebut lebih kecil dari jumlah belanja sehingga defisit APBN merupakan selisih kurang antara pendapatan negara dan belanja negara pada tahun anggaran yang sama. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara ditetapkan batas maksimal defisit adalah 3% dari PDB. Akan tetapi, dalam menghadapi keadaan krisis dan mengurangi dampak akibat pandemi Covid-19, pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1/2020 yang menegaskan bahwa pemerintah berwenang untuk menetapkan defisit anggaran lebih dari 3% terhadap PDB selama masa penanganan Covid-19 dan selambat-lambatnya hingga tahun anggaran 2022.

Selanjutnya, untuk tahun anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi maksimal 3% dari PDB. Selama pandemi pada 2020, Indonesia telah beberapa kali mengubah formula angka dalam struktur APBN 2020 untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Pada Juni 2020 pemerintah mengeluarkan Perpres 72/2020 yang merupakan revisi kedua APBN 2020.

Pada revisi tersebut defisit APBN meningkat drastis dari sebelumnya 1.76% di APBN 2020 menjadi 5,07% di revisi pertama. Selanjutnya, pada revisi kedua defisit APBN semakin melebar menjadi 6,34% dari PDB dengan nilai Rp1.039 triliun. Tingginya angka defisit disebabkan penurunan penerimaan negara dari sisi pajak, bea cukai dan PNBP, serta peningkatan belanja yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19.

Selanjutnya dalam APBN 2021 defisit anggaran direncanakan sebesar Rp1.006,4 triliun atau setara 5,7% dari PDB. Angka tersebut menurun dibandingkan defisit anggaran dalam Perpres Nomor 72/2020 sebesar Rp1.039,2 triliun atau sekitar 6,34% dari PDB. Defisit ini sejalan dengan upaya melanjutkan penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, ketika potensi sisi penerimaan belum sepenuhnya pulih. Dengan demikian, diharapkan momentum pertumbuhan ekonomi dapat dijaga, serta menghindari opportunity loss dalam mendorong pencapaian target pembangunan nasional.

Besaran defisit tersebut juga telah mempertimbangkan kebijakan fiskal konsolidatif secara bertahap kembali menuju batasan maksimal 3,0% PDB pada 2023, sejalan dengan kebijakan dalam Undang-undang Nomor 2/2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1/ 2020. Konsekuensi atas kondisi keuangan negara yang mengalami defisit adalah mencari sumber pembiayaan lainnya salah satunya melalui utang. Sebagaimana negara-negara lainnya, Indonesia pun mengalami kenaikan utang akibat defisit anggaran yang kian melebar. Bank Indonesia (BI) melaporkan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal IV 2020 tercatat sebesar USD417,5 miliar atau sekitar Rp5.803,2 triliun (kurs Rp13.900 per dolar AS).

Posisi ULN Indonesia pada akhir kuartal IV 2020 tercatat lebih tinggi dibandingkan akhir kuartal III yang sebesar USD413,4 miliar. Meski demikian, posisi rasio utang Indonesia terhadap PDB masih berada di level 38,5% sehingga masih dalam posisi prudent dibandingkan negara maju dan ASEAN.

Memacu Ekonomi 2021
Kondisi ekonomi Indonesia yang terkontraksi sebesar 2,07% (yoy) pada 2020 yang sejatinya masih relatif moderat dibandingkan negara-negara yang tergabung pada G-20 maupun ASEAN. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah mampu menangani Covid-19, sekaligus dampaknya sehingga efek yang dialami Indonesia tidak sedalam negara-negara lain. Sebab itu, bukan tak mungkin jika pada 2021 ekonomi Indonesia dapat kembali pulih dan tumbuh positif meski sempat terperosok dalam jurang resesi selama pandemi.

Penerimaan negara tahun 2021 diprediksi masih dalam situasi ketidakpastian ekonomi. Sebab itu, pemerintah perlu terus berupaya menyusun strategi mengejar penerimaan negara pada 2021 meski perpajakan sedang mengalami tekanan cukup berat selama pandemi. Relaksasi yang bersifat sementara guna menstimulasi pelaku usaha di Indonesia diharapkan dapat segera pulih sehingga dapat memberikan kontribusinya kembali pada negara melalui pembayaran pajak.

Di sisi lain, dalam memacu pertumbuhan ekonomi di 2021 ini pemerintah perlu terus mendorong investasi untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi. Kontribusi pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi merupakan yang terbesar kedua pada PDB setelah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sekitar 30%. Presiden Joko Widodo juga telah menargetkan investasi pada 2021 sebesar Rp900 triliun atau tumbuh 4,8%. Sebab itu, tantangan terbesar kita saat ini adalah mengendalikan pandemi secepatnya agar kita bisa lebih cepat normalisasi karena peningkatan investasi akan terdorong secara natural seiring dengan penguatan tren normalisasi ekonomi nasional.

Selain itu, untuk mendorong ekonomi 2021, pemerintah juga perlu memacu nilai ekspor guna mengurangi terjadinya defisit transaksi berjalan. Meski pandemi belum usai, namun Indonesia saat ini dapat mulai menggenjot ekspor dengan memanfaatkan pertumbuhan ekonomi India dan China sebagai salah satu negara tujuan ekspor. China dan India adalah dua negara memiliki populasi penduduk yang besar, sementara Indonesia adalah negara yang mempunyai sumber daya alam melimpah sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengisi pasar kedua negara tersebut.

Pada masa pandemi ini, dengan angka defisit yang kian melebar, mutlak pemerintah harus terus mampu memastikan efisiensi belanja. Ihwal yang mengganggu kinerja dalam belanja pemerintah harus segera diperangi. Di tengah masa pandemi Covid-19, belanja negara diharapkan benar-benar digunakan untuk mendukung program dan kegiatan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah juga perlu terus memastikan peningkatan sinergi belanja dari transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) dan dengan belanja kementerian/lembaga dari pusat. Untuk terus bersinergi dan saling dukung untuk menghasilkan output yang lebih besar dan bermanfaat. Semoga.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1699 seconds (0.1#10.140)