Indonesia Investment Authority: Mendesak?
loading...
A
A
A
Tak dapat dimungkiri bahwa saat ini Indonesia memerlukan investasi untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi. Kontribusi PMTB (investasi) merupakan yang terbesar kedua pada PDB setelah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sekitar 30%.
Selain itu hasil riset internal Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1% investasi mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,3% yang selanjutnya berdampak pada penciptaan lapangan kerja 0,16% atau jika ditransaksikan sebesar 75.000 tenaga kerja. Oleh sebab itu reformasi struktural untuk memangkas obesitas regulasi dalam investasi perlu segera dilakukan.
Masih tertinggalnya tingkat kemudahan dan efisiensi investasi Indonesia bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga lainnya di Asia Tenggara mutlak mengharuskan Indonesia mulai berpikir keras untuk mencari terobosan dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan nasional di tengah pandemi saat ini.
Pembentukan lembaga sejenis Sovereign Wealth Fund (SWF) yang bernama Indonesia Investment Authority (INA) pada Januari 2021 merupakan langkah antisipatif yang dilakukan pemerintah terhadap semakin terbatasnya kapasitas investasi dalam negeri, yaitu kini Indonesia sedang menghadapi beberapa tantangan berupa tingginya kebutuhan pembiayaan di masa depan serta tingkat investasi asing masuk ke Tanah Air yang relatif stagnan.
Pandemi telah menyebabkan rasio utang terhadap PDB yang meningkat dan kapasitas pembiayaan BUMN yang semakin terbatas. Pembentukan SWF diharapkan dapat menciptakan tenaga kerja baru melalui bertambahnya investasi.
Berdasarkan hitungannya setiap 1% kucuran modal dapat berkontribusi 0,3% pertumbuhan ekonomi dan menyerap 75.000 tenaga kerja. Melalui SWF pemerintah akan jadi mitra investasi yang tepercaya yang dapat memberi kepastian hukum bagi mitra investor strategis
Kebebasan Investasi yang Terukur
SWF sejatinya bukan barang baru di dunia. SWF atau Indonesia Investment Authority (INA) ini diharapkan bisa menyediakan alternatif pembiayaan pembangunan yang bukan berbasis pinjaman. Payung hukum pembentukan INA adalah Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang secara spesifik diatur kembali melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73/2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi dan PP Nomor 74/2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi.
Melalui kewenangan yang besar, INA idealnya bisa menjadi penopang pendanaan proyek-proyek strategis pemerintah, terutama dalam menyediakan alternatif pendanaan selain dari APBN dan perbankan, dengan tingkat risiko pembiayaan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan keduanya.
Meskipun memiliki kewenangan luas terkait pengelolaan aset negara dan menghimpun modal domestik maupun asing, hal itu tidak serta-merta menjadi karpet merah yang “membebaskan” investasi. Semua proses tetap harus governance sejalan dengan aturan dan perundangan yang berlaku.
Ketentuan tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) yang membatasi kepemilikan asing di sektor usaha tertentu harus tetap dipegang teguh. Misalnya di sektor perdagangan dan konstruksi, investasi asing dibatasi maksimal 67%. Bahkan di sektor ritel haram bagi pemodal asing untuk masuk karena 100% diperuntukkan bagi pemodal dalam negeri.
Selain itu hasil riset internal Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1% investasi mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,3% yang selanjutnya berdampak pada penciptaan lapangan kerja 0,16% atau jika ditransaksikan sebesar 75.000 tenaga kerja. Oleh sebab itu reformasi struktural untuk memangkas obesitas regulasi dalam investasi perlu segera dilakukan.
Masih tertinggalnya tingkat kemudahan dan efisiensi investasi Indonesia bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga lainnya di Asia Tenggara mutlak mengharuskan Indonesia mulai berpikir keras untuk mencari terobosan dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan nasional di tengah pandemi saat ini.
Pembentukan lembaga sejenis Sovereign Wealth Fund (SWF) yang bernama Indonesia Investment Authority (INA) pada Januari 2021 merupakan langkah antisipatif yang dilakukan pemerintah terhadap semakin terbatasnya kapasitas investasi dalam negeri, yaitu kini Indonesia sedang menghadapi beberapa tantangan berupa tingginya kebutuhan pembiayaan di masa depan serta tingkat investasi asing masuk ke Tanah Air yang relatif stagnan.
Pandemi telah menyebabkan rasio utang terhadap PDB yang meningkat dan kapasitas pembiayaan BUMN yang semakin terbatas. Pembentukan SWF diharapkan dapat menciptakan tenaga kerja baru melalui bertambahnya investasi.
Berdasarkan hitungannya setiap 1% kucuran modal dapat berkontribusi 0,3% pertumbuhan ekonomi dan menyerap 75.000 tenaga kerja. Melalui SWF pemerintah akan jadi mitra investasi yang tepercaya yang dapat memberi kepastian hukum bagi mitra investor strategis
Kebebasan Investasi yang Terukur
SWF sejatinya bukan barang baru di dunia. SWF atau Indonesia Investment Authority (INA) ini diharapkan bisa menyediakan alternatif pembiayaan pembangunan yang bukan berbasis pinjaman. Payung hukum pembentukan INA adalah Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang secara spesifik diatur kembali melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73/2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi dan PP Nomor 74/2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi.
Melalui kewenangan yang besar, INA idealnya bisa menjadi penopang pendanaan proyek-proyek strategis pemerintah, terutama dalam menyediakan alternatif pendanaan selain dari APBN dan perbankan, dengan tingkat risiko pembiayaan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan keduanya.
Meskipun memiliki kewenangan luas terkait pengelolaan aset negara dan menghimpun modal domestik maupun asing, hal itu tidak serta-merta menjadi karpet merah yang “membebaskan” investasi. Semua proses tetap harus governance sejalan dengan aturan dan perundangan yang berlaku.
Ketentuan tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) yang membatasi kepemilikan asing di sektor usaha tertentu harus tetap dipegang teguh. Misalnya di sektor perdagangan dan konstruksi, investasi asing dibatasi maksimal 67%. Bahkan di sektor ritel haram bagi pemodal asing untuk masuk karena 100% diperuntukkan bagi pemodal dalam negeri.