Perpres ini Bisa Mengembalikan TNI ke era Orde Baru
loading...
A
A
A
Dan tidak boleh diabaikan, bahwa ancaman terorisme sudah tidak bisa ditangani melalui mekanisme penegakan hukum. Lalu, penentuan ekskalasi itu harus ditetapkan oleh Presiden. “Nah itu yang seharusnya dibuat,” paparnya.
Bagaimana tanggapan TNI atas desakan penolakan tersebut? Dalam sebuah kesempatan, Kapuspen TNI Mayor Jenderal Sisriadi menyatakan pihaknya membutuhkan kehadiran perpres itu agar semakin hati-hati dalam melaksanakan tugas bertindak. Baik untuk operasi tempur maupun non tempur.
Dan selama ini TNI terikat pada Rules Of Engagement (ROE) yang berisi aturan (larangan dan kewajiban) hukum humaniter. “Hukum humaniter memberi jaminan atas penghormatan TNI atas Hak Asasi Manusia dan sejarah umat manusia," katanya. Manusia dan sejarah umat manusia," kata dia.
Menurutnya, pelibatan TNI dalam memberantas terorisme justru menambah opsi bagi pemerintah dalam menanggulangi ancaman terorisme. "Terorisme saat ini sudah menjadi musuh bersama, bukan hanya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia saja tetapi menjadi musuh bersama masyarakat global, karena aksi-aksi terorisme selalu menebar ketakutan dalam masyarakat,” paparnya.
Tak lupa ia menyampaikan dengan Perpres ini, memudahkan TNI yang secara struktural memiliki kemampuan penanggulangan terorisme, dapat dikerahkan secara legal oleh pemerintah dengan batas-batas hukum positif yang berlaku dalam sistem penanggulangan terorisme.
TNI minta kewenangan-kewenangan baru
Sesungguhnya keinginan TNI untuk dilibatkan di ranah non militer bukan sesuatu yang baru. Dalam catatan Al Araf, ada 30 lebih memorandum of understanding (MOU) pelibatan TNI, seperti terlibat dalam cetak sawah, Keluarga Berencana, penanganan buruh, pengawasan gudang Bulog, pengenalan lingkungan sekolah.
Sebagian dari pelibatan itu berdasarkan MoU yang dibuat TNI dengan kementerian atau lembaga (K/L) tertentu, seperti MoU TNI dengan Kementerian Pertanian guna mendukung swasembada pangan, dan MoU TNI-AD dengan Bulog yang juga pada 2015.
Kemudian, terkait dengan restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Salah satunya, dengan penempatan militer ke jabatan-jabatan sipil yang tentu bertentangan dengan Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang mengharuskan prajurit untuk mengundurkan diri atau pensiun dini dari dinas aktif keprajuritan, kecuali untuk jabatan-jabatan yang dikecualikan.
Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil berpotensi mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI yang jelas-jelas sudah dihapus sejak reformasi.
Bagaimana tanggapan TNI atas desakan penolakan tersebut? Dalam sebuah kesempatan, Kapuspen TNI Mayor Jenderal Sisriadi menyatakan pihaknya membutuhkan kehadiran perpres itu agar semakin hati-hati dalam melaksanakan tugas bertindak. Baik untuk operasi tempur maupun non tempur.
Dan selama ini TNI terikat pada Rules Of Engagement (ROE) yang berisi aturan (larangan dan kewajiban) hukum humaniter. “Hukum humaniter memberi jaminan atas penghormatan TNI atas Hak Asasi Manusia dan sejarah umat manusia," katanya. Manusia dan sejarah umat manusia," kata dia.
Menurutnya, pelibatan TNI dalam memberantas terorisme justru menambah opsi bagi pemerintah dalam menanggulangi ancaman terorisme. "Terorisme saat ini sudah menjadi musuh bersama, bukan hanya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia saja tetapi menjadi musuh bersama masyarakat global, karena aksi-aksi terorisme selalu menebar ketakutan dalam masyarakat,” paparnya.
Tak lupa ia menyampaikan dengan Perpres ini, memudahkan TNI yang secara struktural memiliki kemampuan penanggulangan terorisme, dapat dikerahkan secara legal oleh pemerintah dengan batas-batas hukum positif yang berlaku dalam sistem penanggulangan terorisme.
TNI minta kewenangan-kewenangan baru
Sesungguhnya keinginan TNI untuk dilibatkan di ranah non militer bukan sesuatu yang baru. Dalam catatan Al Araf, ada 30 lebih memorandum of understanding (MOU) pelibatan TNI, seperti terlibat dalam cetak sawah, Keluarga Berencana, penanganan buruh, pengawasan gudang Bulog, pengenalan lingkungan sekolah.
Sebagian dari pelibatan itu berdasarkan MoU yang dibuat TNI dengan kementerian atau lembaga (K/L) tertentu, seperti MoU TNI dengan Kementerian Pertanian guna mendukung swasembada pangan, dan MoU TNI-AD dengan Bulog yang juga pada 2015.
Kemudian, terkait dengan restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Salah satunya, dengan penempatan militer ke jabatan-jabatan sipil yang tentu bertentangan dengan Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang mengharuskan prajurit untuk mengundurkan diri atau pensiun dini dari dinas aktif keprajuritan, kecuali untuk jabatan-jabatan yang dikecualikan.
Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil berpotensi mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI yang jelas-jelas sudah dihapus sejak reformasi.