Perpres ini Bisa Mengembalikan TNI ke era Orde Baru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terorisme merupakan tindakan yang harus dikutuk dan diberantas niscaya disepakati oleh semua pihak. Tapi tentu tidak bisa sembarang pihak mendapat kewenangan dalam menangani aksi kejahatan dan meresahkan masyarakat itu.
Di negara kita yang diberi kewenangan mengatasi tindak kejahatan itu adalah kepolisian, Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) serta Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban (LPSK).
Tak heran saat pemerintah berencana menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme, polemik pun meruyak.
Bukan apa-apa, aksi terorisme selama ini disepakati sebagai sebuah tindak pidana yang penanganannya harus dilakukan oleh lembaga penegak hukum. TNI jelas bukan penegak hukum.
Lebih dari itu aksi terorisme masuk dalam ranah peradilan umum yang jadi ranah kepolisian dan kejaksaan. Bukan tugas dari militer yang sampai saat tunduk pada peradilan militer, bukan peradilan umum.
Uniknya, meski perpres merupakan wewenang eksekutif, draf peraturan ini akan dibahas bersama dengan DPR. Pembentukan perpres ini memang amanat dari UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Tepatnya Pasal 43 i, yang mengatur perpres harus melalui pembahasan dan persetujuan DPR. Ini sebenarnya anomali dalam proses pembentukan perpres.
Tapi di mata Komisioner Komisi Nasional HAM Choirul Anam, itu merupakan bentuk kompromi atas munculnya desakan dari TNI untuk dilibatkan dalam penanganan terorisme. Tentara berdalih kejahatan terorisme semakin cangih, antara lain berkat perkembangan teknologi.
TNI sendiri mengacu pada Pasal 7 UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 soal operasi militer non perang, yang salah satunya mengatur soal pengawalan presiden dan wakil presiden. “Apa pun alasannya, kami menolak pelibatan TNI dalam penanganan terorisme,” ujarnya kepada SINDOnews.
Ia lantas memaparkan uraian Pasal 3 Rancangan Perpres yang mengatur mengenai penangkalan, pemulihan, kerjasama sampai dengan penindakan. Itu menurutnya, melampaui batas, dan di beberapa konten malah potensial melanggar HAM. Ambil contoh, dalam penangkalan (Pasal 3-Pasal 7).
Di sini banyak aspek HAM akan terlanggar, misalnya bagaimana mungkin TNI yang tak punya otoritas menangani terorisme bisa melakukan penggalangan orang, mencari informasi yang bisa jadi dengan penyadapan dan sebagainya. “Itu sangat serius bertentangan dengan UU terorisme, UU TNI dan UU HAM,” ujarnya.
Nah, dalam soal penangkalan ini, salah satu yang sangat penting adalah tidak ada klausul bagaimana pertanggungjawabannya. Padahal, jika bandingkan dengan UU terorisme yang baru, polisi sangat ketat jika ada anggotanya yang melanggar. “Polisi harus dibawa ke pengadilan, tidak boleh melanggar HAM, dan sebagainya,” cetusnya.
Atas berbagai alasan itu,”Perpres ini ada baiknya tidak disahkan oleh presiden dan ditolak oleh DPR.” Ia khawatir, jika Perpres ini akhirnya disahkan, pemerintah akan mengulang kesalahan di masa lalu, banyak melakukan pelanggaran HAM. Kisah-kisah kelam itu beberapa diantaranya bahkan belum terpecahkan hingga kini.
Komnas HAM mencatat ada 12 pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum terselesaikan oleh pemerintah. Yakni peristiwa 1965-1966; peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999; dan peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Kemudian, penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998; peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003; peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003; peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998; peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989; serta peristiwa dukun santet di Jawa Timur 1998-1999.
Cukup Diatur dengan PP
Menurut Choirul, pelibatan TNI tidak perlu diatur dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kalau mau, katanya, cukup bikin Peraturan Pemerintah di bawah UU TNI yang mengacu pada Pasal 7 tentang operasi militer non perang.
“Itu bisa, jadi bukan dalam koridor UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” ujarnya. Sebab, tentara bukan penegak hukum. Dan,”Sampai kapan pun tidak boleh bertindak sebagai penegak hukum.”
Pandangan Choirul sejalan dengan pikiran Al Araf. Direktur Imparsial (LSM yang bergerak di bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran HAM di Indonesia) ini menyatakan secara substansi Rancangan Perpres itu banyak melanggar UU, termasuk UU TNI sendiri.
Perpres menyebut pengerahan TNI hanya berdasar atas perintah presiden, sementara menurut UU TNI no 34/2004 pasal 7 dalam hal TNI akan dilibatkan selain perang, salah satunya menangani terorisme itu harus berdasarkan Keputusan Presiden dengan persetujuan DPR.
Tak luput dari perhatiannya, soal alokasi dana yang diatur di rancangan perpres tersebut. Dalam hal ini TNI disebutkan bisa mendapat dana dari APBN dan APBD. Padahal dalam UU 3 Nomor 2002 tentang Pertahanan Negara mengatur anggaran TNI hanya dari APBN. “Karena fungsi pertahanan sifatnya terpusat, tidak didesentralisasikan,” ujarnya.
Tentu saja, ini juga melanggar mekanisme dari KUHAP. TNI bukan bagian dari penegak hukum. Sehingga pemberian kewenangan kepada TNI akan merusak dan mengganggu mekanisme dan sistem penegakan hukum. TNI adalah alat pertahanan negara, sehingga tidak bisa memiliki fungsi penindakan sebagaimana dimiliki oleh aparat kepolisian.
“Nah ini sesuatu yang akan merusak sistem dan menjadi ancaman serius bagi kebebasan sipil,” cetusnya kepada SINDOnews.
Hal kedua yang ia soroti adalah rancangan perpres ini memberi kewenangan yang sangat luas, mulai aspek penangkalan penindakan, pemulihan. Ia mengingatkan, fungsi penangkalan sangat luas.
Terutama jika pemberlakuan operasi militer di tengah masyarakat di dalam negeri dengan kewenangan luas. Tapi dalam operasi tidak ada pattern untuk tunduk pada peradilan umum.
“Jika sebuah operasi di dalam negeri berdampak pada warga negara dan terjadi suatu kesalahan, maka pertanggugjawabannya tidak jelas, mengingat militer tunduk pada sistem peradilan militer, tidak tunduk pada sistem peradilan umum,” katanya.
Tak ayal, ia menyatakan, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme akan membuka ruang impunitas baru, kekebalan. “Ini akan menimbulkan masalah. Tentu akan bisa mengembalikan format seperti di masa lalu,’ katanya.
Tak luput dari sorotannya adalah bakal overlapping-nya kewenangan TNI dengan dengan Kepolisian, BNPT dan Intelijen. “Ini akan menimbulkan konflik antar Lembaga,” kecamnya. Dalam operasi intelijen, operasi territorial dan sebagainya pada fungsi penangkapan akan menimbulkan overlapping dengan kepolisian dan penegak hukum.
Dalam konteks pemulihan rehabilitasi akan menimbulkan konflik dengan BNPT. “Jadi ini akan menimbulkan konflik kewenangan, sesuatu yang tidak baik dalam tata kelola pemerintahan,” tuturnya.
Namun dimatanya problem paling utama dari rancangan perpres ini adalah pemberian kewenangan pemulihan dan penindakan. “Itu berbahaya bagi kehidupan HAM di Indonesia. Ini bisa mengembalikan format kewenangan seperti di masa orde baru yang memiliki fungsi-fungsi keamanan dalam negeri atas nama mengatasi terorisme.
Al Araf tidak menutup kemungkinan TNI bisa dilibatkan dalam penanganan terorisme. Sebut saja sebuah ancaman terorisme di sebuah negara sudah tidak bisa ditangani aparat penegak hukum, maka militer dimungkinkan utuk terlibat. Tapi ini harus jelas ukurannya apa, bahwa tindak terorisme itu terjadi secara sitematis, meluas, dan memberi dampak pada kedaulatan negara.
Dan tidak boleh diabaikan, bahwa ancaman terorisme sudah tidak bisa ditangani melalui mekanisme penegakan hukum. Lalu, penentuan ekskalasi itu harus ditetapkan oleh Presiden. “Nah itu yang seharusnya dibuat,” paparnya.
Bagaimana tanggapan TNI atas desakan penolakan tersebut? Dalam sebuah kesempatan, Kapuspen TNI Mayor Jenderal Sisriadi menyatakan pihaknya membutuhkan kehadiran perpres itu agar semakin hati-hati dalam melaksanakan tugas bertindak. Baik untuk operasi tempur maupun non tempur.
Dan selama ini TNI terikat pada Rules Of Engagement (ROE) yang berisi aturan (larangan dan kewajiban) hukum humaniter. “Hukum humaniter memberi jaminan atas penghormatan TNI atas Hak Asasi Manusia dan sejarah umat manusia," katanya. Manusia dan sejarah umat manusia," kata dia.
Menurutnya, pelibatan TNI dalam memberantas terorisme justru menambah opsi bagi pemerintah dalam menanggulangi ancaman terorisme. "Terorisme saat ini sudah menjadi musuh bersama, bukan hanya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia saja tetapi menjadi musuh bersama masyarakat global, karena aksi-aksi terorisme selalu menebar ketakutan dalam masyarakat,” paparnya.
Tak lupa ia menyampaikan dengan Perpres ini, memudahkan TNI yang secara struktural memiliki kemampuan penanggulangan terorisme, dapat dikerahkan secara legal oleh pemerintah dengan batas-batas hukum positif yang berlaku dalam sistem penanggulangan terorisme.
TNI minta kewenangan-kewenangan baru
Sesungguhnya keinginan TNI untuk dilibatkan di ranah non militer bukan sesuatu yang baru. Dalam catatan Al Araf, ada 30 lebih memorandum of understanding (MOU) pelibatan TNI, seperti terlibat dalam cetak sawah, Keluarga Berencana, penanganan buruh, pengawasan gudang Bulog, pengenalan lingkungan sekolah.
Sebagian dari pelibatan itu berdasarkan MoU yang dibuat TNI dengan kementerian atau lembaga (K/L) tertentu, seperti MoU TNI dengan Kementerian Pertanian guna mendukung swasembada pangan, dan MoU TNI-AD dengan Bulog yang juga pada 2015.
Kemudian, terkait dengan restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Salah satunya, dengan penempatan militer ke jabatan-jabatan sipil yang tentu bertentangan dengan Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang mengharuskan prajurit untuk mengundurkan diri atau pensiun dini dari dinas aktif keprajuritan, kecuali untuk jabatan-jabatan yang dikecualikan.
Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil berpotensi mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI yang jelas-jelas sudah dihapus sejak reformasi.
Di negara kita yang diberi kewenangan mengatasi tindak kejahatan itu adalah kepolisian, Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) serta Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban (LPSK).
Tak heran saat pemerintah berencana menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme, polemik pun meruyak.
Bukan apa-apa, aksi terorisme selama ini disepakati sebagai sebuah tindak pidana yang penanganannya harus dilakukan oleh lembaga penegak hukum. TNI jelas bukan penegak hukum.
Lebih dari itu aksi terorisme masuk dalam ranah peradilan umum yang jadi ranah kepolisian dan kejaksaan. Bukan tugas dari militer yang sampai saat tunduk pada peradilan militer, bukan peradilan umum.
Uniknya, meski perpres merupakan wewenang eksekutif, draf peraturan ini akan dibahas bersama dengan DPR. Pembentukan perpres ini memang amanat dari UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Tepatnya Pasal 43 i, yang mengatur perpres harus melalui pembahasan dan persetujuan DPR. Ini sebenarnya anomali dalam proses pembentukan perpres.
Tapi di mata Komisioner Komisi Nasional HAM Choirul Anam, itu merupakan bentuk kompromi atas munculnya desakan dari TNI untuk dilibatkan dalam penanganan terorisme. Tentara berdalih kejahatan terorisme semakin cangih, antara lain berkat perkembangan teknologi.
TNI sendiri mengacu pada Pasal 7 UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 soal operasi militer non perang, yang salah satunya mengatur soal pengawalan presiden dan wakil presiden. “Apa pun alasannya, kami menolak pelibatan TNI dalam penanganan terorisme,” ujarnya kepada SINDOnews.
Ia lantas memaparkan uraian Pasal 3 Rancangan Perpres yang mengatur mengenai penangkalan, pemulihan, kerjasama sampai dengan penindakan. Itu menurutnya, melampaui batas, dan di beberapa konten malah potensial melanggar HAM. Ambil contoh, dalam penangkalan (Pasal 3-Pasal 7).
Di sini banyak aspek HAM akan terlanggar, misalnya bagaimana mungkin TNI yang tak punya otoritas menangani terorisme bisa melakukan penggalangan orang, mencari informasi yang bisa jadi dengan penyadapan dan sebagainya. “Itu sangat serius bertentangan dengan UU terorisme, UU TNI dan UU HAM,” ujarnya.
Nah, dalam soal penangkalan ini, salah satu yang sangat penting adalah tidak ada klausul bagaimana pertanggungjawabannya. Padahal, jika bandingkan dengan UU terorisme yang baru, polisi sangat ketat jika ada anggotanya yang melanggar. “Polisi harus dibawa ke pengadilan, tidak boleh melanggar HAM, dan sebagainya,” cetusnya.
Atas berbagai alasan itu,”Perpres ini ada baiknya tidak disahkan oleh presiden dan ditolak oleh DPR.” Ia khawatir, jika Perpres ini akhirnya disahkan, pemerintah akan mengulang kesalahan di masa lalu, banyak melakukan pelanggaran HAM. Kisah-kisah kelam itu beberapa diantaranya bahkan belum terpecahkan hingga kini.
Komnas HAM mencatat ada 12 pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum terselesaikan oleh pemerintah. Yakni peristiwa 1965-1966; peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999; dan peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Kemudian, penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998; peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003; peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003; peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998; peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989; serta peristiwa dukun santet di Jawa Timur 1998-1999.
Cukup Diatur dengan PP
Menurut Choirul, pelibatan TNI tidak perlu diatur dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kalau mau, katanya, cukup bikin Peraturan Pemerintah di bawah UU TNI yang mengacu pada Pasal 7 tentang operasi militer non perang.
“Itu bisa, jadi bukan dalam koridor UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” ujarnya. Sebab, tentara bukan penegak hukum. Dan,”Sampai kapan pun tidak boleh bertindak sebagai penegak hukum.”
Pandangan Choirul sejalan dengan pikiran Al Araf. Direktur Imparsial (LSM yang bergerak di bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran HAM di Indonesia) ini menyatakan secara substansi Rancangan Perpres itu banyak melanggar UU, termasuk UU TNI sendiri.
Perpres menyebut pengerahan TNI hanya berdasar atas perintah presiden, sementara menurut UU TNI no 34/2004 pasal 7 dalam hal TNI akan dilibatkan selain perang, salah satunya menangani terorisme itu harus berdasarkan Keputusan Presiden dengan persetujuan DPR.
Tak luput dari perhatiannya, soal alokasi dana yang diatur di rancangan perpres tersebut. Dalam hal ini TNI disebutkan bisa mendapat dana dari APBN dan APBD. Padahal dalam UU 3 Nomor 2002 tentang Pertahanan Negara mengatur anggaran TNI hanya dari APBN. “Karena fungsi pertahanan sifatnya terpusat, tidak didesentralisasikan,” ujarnya.
Tentu saja, ini juga melanggar mekanisme dari KUHAP. TNI bukan bagian dari penegak hukum. Sehingga pemberian kewenangan kepada TNI akan merusak dan mengganggu mekanisme dan sistem penegakan hukum. TNI adalah alat pertahanan negara, sehingga tidak bisa memiliki fungsi penindakan sebagaimana dimiliki oleh aparat kepolisian.
“Nah ini sesuatu yang akan merusak sistem dan menjadi ancaman serius bagi kebebasan sipil,” cetusnya kepada SINDOnews.
Hal kedua yang ia soroti adalah rancangan perpres ini memberi kewenangan yang sangat luas, mulai aspek penangkalan penindakan, pemulihan. Ia mengingatkan, fungsi penangkalan sangat luas.
Terutama jika pemberlakuan operasi militer di tengah masyarakat di dalam negeri dengan kewenangan luas. Tapi dalam operasi tidak ada pattern untuk tunduk pada peradilan umum.
“Jika sebuah operasi di dalam negeri berdampak pada warga negara dan terjadi suatu kesalahan, maka pertanggugjawabannya tidak jelas, mengingat militer tunduk pada sistem peradilan militer, tidak tunduk pada sistem peradilan umum,” katanya.
Tak ayal, ia menyatakan, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme akan membuka ruang impunitas baru, kekebalan. “Ini akan menimbulkan masalah. Tentu akan bisa mengembalikan format seperti di masa lalu,’ katanya.
Tak luput dari sorotannya adalah bakal overlapping-nya kewenangan TNI dengan dengan Kepolisian, BNPT dan Intelijen. “Ini akan menimbulkan konflik antar Lembaga,” kecamnya. Dalam operasi intelijen, operasi territorial dan sebagainya pada fungsi penangkapan akan menimbulkan overlapping dengan kepolisian dan penegak hukum.
Dalam konteks pemulihan rehabilitasi akan menimbulkan konflik dengan BNPT. “Jadi ini akan menimbulkan konflik kewenangan, sesuatu yang tidak baik dalam tata kelola pemerintahan,” tuturnya.
Namun dimatanya problem paling utama dari rancangan perpres ini adalah pemberian kewenangan pemulihan dan penindakan. “Itu berbahaya bagi kehidupan HAM di Indonesia. Ini bisa mengembalikan format kewenangan seperti di masa orde baru yang memiliki fungsi-fungsi keamanan dalam negeri atas nama mengatasi terorisme.
Al Araf tidak menutup kemungkinan TNI bisa dilibatkan dalam penanganan terorisme. Sebut saja sebuah ancaman terorisme di sebuah negara sudah tidak bisa ditangani aparat penegak hukum, maka militer dimungkinkan utuk terlibat. Tapi ini harus jelas ukurannya apa, bahwa tindak terorisme itu terjadi secara sitematis, meluas, dan memberi dampak pada kedaulatan negara.
Dan tidak boleh diabaikan, bahwa ancaman terorisme sudah tidak bisa ditangani melalui mekanisme penegakan hukum. Lalu, penentuan ekskalasi itu harus ditetapkan oleh Presiden. “Nah itu yang seharusnya dibuat,” paparnya.
Bagaimana tanggapan TNI atas desakan penolakan tersebut? Dalam sebuah kesempatan, Kapuspen TNI Mayor Jenderal Sisriadi menyatakan pihaknya membutuhkan kehadiran perpres itu agar semakin hati-hati dalam melaksanakan tugas bertindak. Baik untuk operasi tempur maupun non tempur.
Dan selama ini TNI terikat pada Rules Of Engagement (ROE) yang berisi aturan (larangan dan kewajiban) hukum humaniter. “Hukum humaniter memberi jaminan atas penghormatan TNI atas Hak Asasi Manusia dan sejarah umat manusia," katanya. Manusia dan sejarah umat manusia," kata dia.
Menurutnya, pelibatan TNI dalam memberantas terorisme justru menambah opsi bagi pemerintah dalam menanggulangi ancaman terorisme. "Terorisme saat ini sudah menjadi musuh bersama, bukan hanya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia saja tetapi menjadi musuh bersama masyarakat global, karena aksi-aksi terorisme selalu menebar ketakutan dalam masyarakat,” paparnya.
Tak lupa ia menyampaikan dengan Perpres ini, memudahkan TNI yang secara struktural memiliki kemampuan penanggulangan terorisme, dapat dikerahkan secara legal oleh pemerintah dengan batas-batas hukum positif yang berlaku dalam sistem penanggulangan terorisme.
TNI minta kewenangan-kewenangan baru
Sesungguhnya keinginan TNI untuk dilibatkan di ranah non militer bukan sesuatu yang baru. Dalam catatan Al Araf, ada 30 lebih memorandum of understanding (MOU) pelibatan TNI, seperti terlibat dalam cetak sawah, Keluarga Berencana, penanganan buruh, pengawasan gudang Bulog, pengenalan lingkungan sekolah.
Sebagian dari pelibatan itu berdasarkan MoU yang dibuat TNI dengan kementerian atau lembaga (K/L) tertentu, seperti MoU TNI dengan Kementerian Pertanian guna mendukung swasembada pangan, dan MoU TNI-AD dengan Bulog yang juga pada 2015.
Kemudian, terkait dengan restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Salah satunya, dengan penempatan militer ke jabatan-jabatan sipil yang tentu bertentangan dengan Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang mengharuskan prajurit untuk mengundurkan diri atau pensiun dini dari dinas aktif keprajuritan, kecuali untuk jabatan-jabatan yang dikecualikan.
Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil berpotensi mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI yang jelas-jelas sudah dihapus sejak reformasi.
(rza)