Uji Materiil UU Perasuransian, Asuransi Penjaminan Tak Cukup dengan Aturan OJK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru besar Fakultas Hukum sekaligus mantan rektor Universitas Jakarta Tjindra Parma Wignyoprayitno memastikan pengaturan suretyship atau surety bond (asuransi penjaminan) hanya dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) .
Hal ini disampaikan Tjindra Parma Wignyoprayitno saat memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang uji materiil dengan perkara nomor: 5/PUU-XVIII/2020, di ruang sidang Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa 25 Agustus 2020. Selain Tjindra, kuasa hukum pemohon juga menghadirkan satu saksi lain yakni Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kontraktor Nasional Indonesia (Gapeknas) Manahara R Siahaan.
Sidang perkara ini ditangani oleh hakim panel yang dipimpin langsung Ketua MK Anwar Usman. Secara spesifik, perkara ini yakni uji materiil Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terhadap UUD 1945. Bunyinya, "Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat."
Perkara ini dimohonkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yang diwakili oleh lima orang. Dua di antaranya yakni Ketua Dewan Pengurus AAUI Dadang Sukresna dan Direktur Eksekutif Dewan Pengurus Pusat AAUI Achmad Sudiyar Dalimunthe. ( )
Tjindra Parma Wignyoprayitno menyatakan, terkait dengan suretyship atau surety bond sudah dikenal di dunia sejak abad ke-19. Surety bond pertama kali lahir di Amerika pada 1837. Kemudian di Belanda didirikan sebuah perusahaan yang bernama NV Nationale Borg Maskapai pada tahun 1893. Demikian juga, secara mendunia pada 1928 di Swiss didirikan International Credit Insurance and Surety Association. Hal inilah kata Tjindra, merupakan latar belakang suretyship sebagai produk asuransi di dunia.
Untuk di Indonesia, ujar Tjindra, suretyship atau surety bond ini mulai dikenal pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 1978. PP ini tutur dia, memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk mengeluarkan produk yang berupa surety bond yang saat itu namanya masih surety atau bonding. ( )
Dalam perkembangannya, Menteri Keuangan mengubah istilah surety bond menjadi suretyship pada tahun 2008. Bersamaan dengan itu Menteri Keuangan menetapkan 20 perusahaan asuransi yang boleh mengeluarkan produk suretyship. Berikutnya, ungkap Tjindra, di dunia perasuransian Indonesia muncul Undang-Undang (UU) baru yaitu UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Menyusul kemudian UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
Tjindra menggariskan, dengan keluarnya dua perundang-undang tersebut maka mulai timbul permasalahan dalam penerbitan surety bond dan suretyship. Musababnya UU Nomor 40 Tahun 2014 hanya mendelegasikan pengaturan suretyship kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sedangkan, kata dia, UU Nomor 1 Tahun 2016 telah menyebut secara rinci dan jelas apa yang disebut dengan surety bond.
Tjindra menegaskan, dengan berlakunya dua UU tersebut serta delegasi kepada OJK akhirnya menimbulkan permasalahan yakni bagaimana penerbitan suretyship setelah lahirnya dua UU tersebut. Ternyata sampai hari ini, produk-produk suretyship yang izin usahanya dikeluarkan oleh OJK masih tetap berlaku.
"Namun, kekhawatiran saksi adalah apabila pihak obligee atau pihak pemberi pekerjaan, pihak pemerintah mempertanyakan legalitas dari suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship dalam dokumen lelangnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005. Maka apa yang diharapkan oleh dunia kontraktor menjadi hilang karena suretyship hanya diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan," kata Tjindra di hadapan hakim panel MK.
Mantan Kepala Biro Hukum Departemen Pekerjaan Umum ini membeberkan, permasalahan berikutnya yang muncul adalah permasalahan-permasalaham hukum termasuk adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat pidana yakni jika produk yang digunakan yang tidak sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2016. Karenanya menurut dia, pengaturan tentang suretyship tidak cukup hanya dengan Peraturan OJK.
"Oleh karena itu, Yang Mulia Majelis, saksi mohon agar bisa ketentuan suretyship ini berjalan sesuai dengan apa yang sudah terjadi pada saat ini, maka perlu ada perkuatan dari produk hukum dari hanya diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan menjadi bagian atau isi dari pada Undang-Undang Perasuransian dalam bentuk Keputusan Mahkamah Konstitusi," tegasnya.
Tjindra menambahkan, sehubungan dengan pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah kurun tahun 2000 hingga 2024 maka pemerintah akan membutuhkan atau menyiapkan dana sebesar Rp6.445 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Angka ini jelas sangat besar. Dari jumlah tersebut, kata dia, sebesar Rp2.058 triliun akan dipakai untuk pembangunan infrastruktur yang ditunaikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dari angka sekitar Rp2.000 triliun itu, ungkap Tjindra, APBN yang disediakan oleh pemerintah hanya sejumlah Rp623 triliun. Angka sekitar Rp623 triliun akan dibagi ke beberapa sektor atau direktorat jenderal pada Kementerian PUPR. Sedangkan sisanya, lanjut dia, yakni sebesar Rp1.453 triliun akan menggunakan sumber dana lain, misalnya kerja sama antara pemerintah dan swasta.
"Yang Mulia Bapak Majelis Hakim, untuk kegiatan sebesar ini, sekarang mulai dari jaminan penawaran atau bitbond sampai dengan jaminan pemeliharaan, perusahaan-perusahaan kontraktor atau prinsipal selalu menggunakan yang namanya suretyshi. Karena suretyship ini tidak membutuhkan adanya agunan, tidak membutuhkan namanya collateral, dia cukup membayar premi dan sifatnya tetap unconditional," paparnya.
Tjindra membeberkan, untuk kepentingan itu memang sebetulnya OJK telah membentuk tiga konsorsium dari perusahaan asuransi. Masing-masing yakni konsorsium penjaminan proyek, konsorsium jasa surety bond, dan konsorsium penjaminan Indonesia. Di dalam ketiga konsorsium ini bernaung perusahaan-perusahaan asuransi yang bisa memberikan di satu pihak jaminan yang bersifat unconditional, namun di lain pihak perusahaan-perusahaan kontraktor ini tidak memerlukan collateral dan tidak memerlukan agunan untuk terbitnya jaminan-jaminan ini.
"Nah, ini yang perlu diberikan perkuatan hukum, kelangsungan perusahaan asuransi atau dan juga konsorsium asuransi untuk tetap bisa menerbitkan surety bond tidak tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Penjaminan. Karena sangat berbeda produk antara penjaminan di satu pihak dengan asuransi di lain pihak," ucapnya.
Ketua Umum Gapeknas Manahara R Siahaan mengatakan, asosiasinya membawahi 130.000 perusahaan kontraktor di seluruh Indonesia. Jumlah itu terdiri atas 90% perusahaan kecil dan menengah serta 10% perusahaan besar. Sebagai kontraktor, ujar Manahara, Gapeknas tunduk pada UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Untuk pelaksanaan tender, pihaknya membutuhkan bank garansi dan memerlukan asuransi. Ketika perusahaan kecil ingin melakukan perjanjian dengan bank, maka bank selalu meminta jaminan. Sedangkan perusahaan-perusahaan kecil umumnya tidak memiliki aset untuk diserahkan kepada bank sebagai jaminan.
"Undang-undang kami juga menyatakan itu adalah asuransi. Nah, kebutuhan jaminan proyek bagi kami adalah bank garansi, surety bond dari perusahaan asuransi. Ketika kami melakukan penawaran, mengajukan penawaran, kami harus ada menyerahkan jaminan penawaran dan ini biasanya kami minta dari asuransi, tidak dari bank," kata Manahara.
Hal ini disampaikan Tjindra Parma Wignyoprayitno saat memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang uji materiil dengan perkara nomor: 5/PUU-XVIII/2020, di ruang sidang Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa 25 Agustus 2020. Selain Tjindra, kuasa hukum pemohon juga menghadirkan satu saksi lain yakni Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kontraktor Nasional Indonesia (Gapeknas) Manahara R Siahaan.
Sidang perkara ini ditangani oleh hakim panel yang dipimpin langsung Ketua MK Anwar Usman. Secara spesifik, perkara ini yakni uji materiil Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terhadap UUD 1945. Bunyinya, "Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat."
Perkara ini dimohonkan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yang diwakili oleh lima orang. Dua di antaranya yakni Ketua Dewan Pengurus AAUI Dadang Sukresna dan Direktur Eksekutif Dewan Pengurus Pusat AAUI Achmad Sudiyar Dalimunthe. ( )
Tjindra Parma Wignyoprayitno menyatakan, terkait dengan suretyship atau surety bond sudah dikenal di dunia sejak abad ke-19. Surety bond pertama kali lahir di Amerika pada 1837. Kemudian di Belanda didirikan sebuah perusahaan yang bernama NV Nationale Borg Maskapai pada tahun 1893. Demikian juga, secara mendunia pada 1928 di Swiss didirikan International Credit Insurance and Surety Association. Hal inilah kata Tjindra, merupakan latar belakang suretyship sebagai produk asuransi di dunia.
Untuk di Indonesia, ujar Tjindra, suretyship atau surety bond ini mulai dikenal pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 1978. PP ini tutur dia, memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk mengeluarkan produk yang berupa surety bond yang saat itu namanya masih surety atau bonding. ( )
Dalam perkembangannya, Menteri Keuangan mengubah istilah surety bond menjadi suretyship pada tahun 2008. Bersamaan dengan itu Menteri Keuangan menetapkan 20 perusahaan asuransi yang boleh mengeluarkan produk suretyship. Berikutnya, ungkap Tjindra, di dunia perasuransian Indonesia muncul Undang-Undang (UU) baru yaitu UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Menyusul kemudian UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
Tjindra menggariskan, dengan keluarnya dua perundang-undang tersebut maka mulai timbul permasalahan dalam penerbitan surety bond dan suretyship. Musababnya UU Nomor 40 Tahun 2014 hanya mendelegasikan pengaturan suretyship kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sedangkan, kata dia, UU Nomor 1 Tahun 2016 telah menyebut secara rinci dan jelas apa yang disebut dengan surety bond.
Tjindra menegaskan, dengan berlakunya dua UU tersebut serta delegasi kepada OJK akhirnya menimbulkan permasalahan yakni bagaimana penerbitan suretyship setelah lahirnya dua UU tersebut. Ternyata sampai hari ini, produk-produk suretyship yang izin usahanya dikeluarkan oleh OJK masih tetap berlaku.
"Namun, kekhawatiran saksi adalah apabila pihak obligee atau pihak pemberi pekerjaan, pihak pemerintah mempertanyakan legalitas dari suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship dalam dokumen lelangnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005. Maka apa yang diharapkan oleh dunia kontraktor menjadi hilang karena suretyship hanya diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan," kata Tjindra di hadapan hakim panel MK.
Mantan Kepala Biro Hukum Departemen Pekerjaan Umum ini membeberkan, permasalahan berikutnya yang muncul adalah permasalahan-permasalaham hukum termasuk adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat pidana yakni jika produk yang digunakan yang tidak sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2016. Karenanya menurut dia, pengaturan tentang suretyship tidak cukup hanya dengan Peraturan OJK.
"Oleh karena itu, Yang Mulia Majelis, saksi mohon agar bisa ketentuan suretyship ini berjalan sesuai dengan apa yang sudah terjadi pada saat ini, maka perlu ada perkuatan dari produk hukum dari hanya diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan menjadi bagian atau isi dari pada Undang-Undang Perasuransian dalam bentuk Keputusan Mahkamah Konstitusi," tegasnya.
Tjindra menambahkan, sehubungan dengan pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah kurun tahun 2000 hingga 2024 maka pemerintah akan membutuhkan atau menyiapkan dana sebesar Rp6.445 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Angka ini jelas sangat besar. Dari jumlah tersebut, kata dia, sebesar Rp2.058 triliun akan dipakai untuk pembangunan infrastruktur yang ditunaikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dari angka sekitar Rp2.000 triliun itu, ungkap Tjindra, APBN yang disediakan oleh pemerintah hanya sejumlah Rp623 triliun. Angka sekitar Rp623 triliun akan dibagi ke beberapa sektor atau direktorat jenderal pada Kementerian PUPR. Sedangkan sisanya, lanjut dia, yakni sebesar Rp1.453 triliun akan menggunakan sumber dana lain, misalnya kerja sama antara pemerintah dan swasta.
"Yang Mulia Bapak Majelis Hakim, untuk kegiatan sebesar ini, sekarang mulai dari jaminan penawaran atau bitbond sampai dengan jaminan pemeliharaan, perusahaan-perusahaan kontraktor atau prinsipal selalu menggunakan yang namanya suretyshi. Karena suretyship ini tidak membutuhkan adanya agunan, tidak membutuhkan namanya collateral, dia cukup membayar premi dan sifatnya tetap unconditional," paparnya.
Tjindra membeberkan, untuk kepentingan itu memang sebetulnya OJK telah membentuk tiga konsorsium dari perusahaan asuransi. Masing-masing yakni konsorsium penjaminan proyek, konsorsium jasa surety bond, dan konsorsium penjaminan Indonesia. Di dalam ketiga konsorsium ini bernaung perusahaan-perusahaan asuransi yang bisa memberikan di satu pihak jaminan yang bersifat unconditional, namun di lain pihak perusahaan-perusahaan kontraktor ini tidak memerlukan collateral dan tidak memerlukan agunan untuk terbitnya jaminan-jaminan ini.
"Nah, ini yang perlu diberikan perkuatan hukum, kelangsungan perusahaan asuransi atau dan juga konsorsium asuransi untuk tetap bisa menerbitkan surety bond tidak tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Penjaminan. Karena sangat berbeda produk antara penjaminan di satu pihak dengan asuransi di lain pihak," ucapnya.
Ketua Umum Gapeknas Manahara R Siahaan mengatakan, asosiasinya membawahi 130.000 perusahaan kontraktor di seluruh Indonesia. Jumlah itu terdiri atas 90% perusahaan kecil dan menengah serta 10% perusahaan besar. Sebagai kontraktor, ujar Manahara, Gapeknas tunduk pada UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Untuk pelaksanaan tender, pihaknya membutuhkan bank garansi dan memerlukan asuransi. Ketika perusahaan kecil ingin melakukan perjanjian dengan bank, maka bank selalu meminta jaminan. Sedangkan perusahaan-perusahaan kecil umumnya tidak memiliki aset untuk diserahkan kepada bank sebagai jaminan.
"Undang-undang kami juga menyatakan itu adalah asuransi. Nah, kebutuhan jaminan proyek bagi kami adalah bank garansi, surety bond dari perusahaan asuransi. Ketika kami melakukan penawaran, mengajukan penawaran, kami harus ada menyerahkan jaminan penawaran dan ini biasanya kami minta dari asuransi, tidak dari bank," kata Manahara.
(mhd)