Power Wheeling, Pasal 33, dan Agenda Transisi Energi
loading...
A
A
A
Pertama, bolehkah sebuah kebijakan dirancang untuk membelakangi konstitusi, meskipun atas nama transisi energi? Kedua, adakah jaminan skema power wheeling akan menaikkan porsi EBET dalam bauran pembangkit listrik nasional? Ketiga, apakah power wheeling dapat menjamin harga listrik yang terjangkau untuk konsumen?
Putusan MK menjawab pertanyaan pertama. BUMN listrik nasional, dhi. PLN, wajib diprioritaskan untuk menjalankan usaha ketenagalistrikan secara terintegrasi. Bahkan, dalam hal PLN belum bisa efisien, itu bukan alasan untuk meninggalkan PLN dan menyerahkan sektor ketenagalistrikan kepada swasta (MK, 2004: 348-49).
Jika power wheeling dipaksakan lolos, sangat mungkin klausul ini digugat ke MK dan dinyatakan inkonstitusional. Ini dapat mengacaukan kepastian hukum investasi EBET di Indonesia.
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030 yang disusun PLN adalah jawaban pertanyaan kedua. Porsi EBT dalam RUPTL direncanakan sebesar 20,9 GW atau 51,6% dari bauran ketenagalistrikan nasional. Dari jumlah itu, porsi IPP ditetapkan sebesar 11,8 GW atau 56,3%, lebih besar dibanding porsi PLN sendiri.
Artinya, PLN telah membuka seluasnya partisipasi IPP dalam pengembangan EBT, meski tetap dalam koridor skema Multi Buyers Single Seller (MBSS). Jika RUPTL dilaksanakan secara konsisten, ini lebih menjamin peningkatan EBT dalam bauran pembangkit, dibanding skenario power wheeling yang berpotensi merugikan PLN.
Studi kasus di berbagai negara terkait kenaikan tarif listrik akibat sistem unbundling adalah jawaban pertanyaan ketiga. Liberalisasi akan berakhir dengan pembentukan oligopoli swasta yang kekuatan pasarnya akan menyebabkan kenaikan tarif listrik. Ini terjadi di Perancis, Jerman, Belgia, dan Belanda (Percebois, 2008).
Tarif PLN dikonsolidasikan secara pro-rata dari berbagai sumber pembangkit. Dengan skala usaha terpadu secara vertikal (vertically integrated), dan dengan jaringan infrastruktur yang telah matang, tarif listrik PLN pasti akan lebih murah dibanding tarif IPP.
Karena itu, alih-alih dengan power wheeling yang berpotensi menimbulkan kegaduhan baru, Pemerintah dan DPR lebih baik mengawasi secara seksama pelaksanaan RUPTL menuju bauran pembangkit yang lebih hijau.
Lihat Juga: Kadin dan Pemerintah Indonesia Berpeluang Raih Pendanaan Transisi Energi hingga Rumah Murah dari Inggris
Putusan MK menjawab pertanyaan pertama. BUMN listrik nasional, dhi. PLN, wajib diprioritaskan untuk menjalankan usaha ketenagalistrikan secara terintegrasi. Bahkan, dalam hal PLN belum bisa efisien, itu bukan alasan untuk meninggalkan PLN dan menyerahkan sektor ketenagalistrikan kepada swasta (MK, 2004: 348-49).
Jika power wheeling dipaksakan lolos, sangat mungkin klausul ini digugat ke MK dan dinyatakan inkonstitusional. Ini dapat mengacaukan kepastian hukum investasi EBET di Indonesia.
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030 yang disusun PLN adalah jawaban pertanyaan kedua. Porsi EBT dalam RUPTL direncanakan sebesar 20,9 GW atau 51,6% dari bauran ketenagalistrikan nasional. Dari jumlah itu, porsi IPP ditetapkan sebesar 11,8 GW atau 56,3%, lebih besar dibanding porsi PLN sendiri.
Artinya, PLN telah membuka seluasnya partisipasi IPP dalam pengembangan EBT, meski tetap dalam koridor skema Multi Buyers Single Seller (MBSS). Jika RUPTL dilaksanakan secara konsisten, ini lebih menjamin peningkatan EBT dalam bauran pembangkit, dibanding skenario power wheeling yang berpotensi merugikan PLN.
Studi kasus di berbagai negara terkait kenaikan tarif listrik akibat sistem unbundling adalah jawaban pertanyaan ketiga. Liberalisasi akan berakhir dengan pembentukan oligopoli swasta yang kekuatan pasarnya akan menyebabkan kenaikan tarif listrik. Ini terjadi di Perancis, Jerman, Belgia, dan Belanda (Percebois, 2008).
Tarif PLN dikonsolidasikan secara pro-rata dari berbagai sumber pembangkit. Dengan skala usaha terpadu secara vertikal (vertically integrated), dan dengan jaringan infrastruktur yang telah matang, tarif listrik PLN pasti akan lebih murah dibanding tarif IPP.
Karena itu, alih-alih dengan power wheeling yang berpotensi menimbulkan kegaduhan baru, Pemerintah dan DPR lebih baik mengawasi secara seksama pelaksanaan RUPTL menuju bauran pembangkit yang lebih hijau.
Lihat Juga: Kadin dan Pemerintah Indonesia Berpeluang Raih Pendanaan Transisi Energi hingga Rumah Murah dari Inggris
(rca)