Power Wheeling, Pasal 33, dan Agenda Transisi Energi

Senin, 24 Juni 2024 - 17:34 WIB
loading...
Power Wheeling, Pasal 33, dan Agenda Transisi Energi
M. Kholid Syeirazi, Direktur Eksekutif Center for Energy Policy. Foto/Istimewa
A A A
M. Kholid Syeirazi
Direktur Eksekutif Center for Energy Policy

INDONESIA punya kekhasan, yang tidak dimiliki negara-negara lain. Kekhasan itu, antara lain, menjelma dalam Pasal 33 UUD 1945. Tidak semua negara menetapkan haluan ekonominya. Negara-negara Anglo-Saxon malah membatasi peran negara dalam perekonomian.

Doktrinnya minimal state: semakin sedikit aturan lebih baik daripada kebanyakan (the less regulation is better than more). Intervensi pemerintah yang berlebihan dapat mengacaukan keajaiban hukum pasar.

Indonesia mewarisi tradisi Rechtsstaat negara-negara Eropa Kontinental. Negara bukan sekadar wasit atau penjaga malam (Nachtwächterstaat), tetapi dirigen pembangunan.

Ekonomi tidak diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi dikontrol negara. Negara merencanakan pembangunan, menyiapkan anggaran, dan memproteksi sektor industri pelayan hajat hidup masyarakat.

Pasal 33 adalah penjelmaan dari welfare state ala Indonesia. Pasal ini menaungi resource nationalism, doktrin tentang kendali negara terhadap ekplorasi dan eksploitasi cabang-cabang produksi strategis.

Pasal ini pula yang melandasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam membatalkan sejumlah Undang-Undang pascareformasi. Di antara UU yang dibatalkan MK adalah UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.

Melalui Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, UU Ketenagalistrikan dibatalkan seluruhnya karena menganut sistem unbundling. Sistem ini memecah ranting usaha penyediaan tenaga listrik ke dalam pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan yang dilakukan secara terpisah oleh badan usaha yang berbeda.

Ini membuka keran liberalisasi: produsen listrik swasta (IPP) bisa jualan langsung kepada konsumen dengan harga bersaing. Skema ini disebut dengan MBMS (Multi Buyers Multi Sellers). Setelah dinyatakan inkonstitusional, pemerintah dan DPR menyusun ulang RUU Ketenagalistirkan yang disahkan menjadi UU No. 30 Tahun 2009.

Pasal 10 ayat (2) beleid ini kembali membuka peluang sistem unbundling. Pasal ini menyebutkan usaha penyediaan tenaga listrik dapat dilakukan secara terintegrasi, yang berarti boleh juga dilakukan secara tidak terintegrasi.

Ketentuan ini ‘lolos’ dalam putusan MK No. 149/PUU-VII/2009, tetapi dibatalkan oleh putusan MK No. 11/PUU-XIII/2015. MK menyebut ada kesengajaan menyimpangi maksud putusan MK sebelumnya untuk mengesahkan praktik unbundling dalam industri ketenagalistrikan. MK menegaskan konsep unbundling inkonstitusional, Pasal 10 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2009 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Pascaputusan MK, pasar tenaga listrik menganut skema Multi Buyers-Single Seller (MBSS). Pengembang listrik swasta (IPP) boleh membangun pembangkit listrik, tetapi seluruh setrum yang dihasilkan harus dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Skema ini sejalan dengan resource nationalism, putusan MK, dan Pasal 33. Tetapi, ada harga yang harus dibayar: beban biaya TOP (Take or Pay) yang harus ditanggung PLN. Kelebihan setrum IPP yang tidak terserap harus dibayar PLN, sekitar Rp3 triliun per GW. Jika sekarang ada 6 GW oversupply, PLN harus menganggarkan Rp18 triliun setiap tahun.

Power Wheeling


Dunia tengah berjuang mengurangi laju kenaikan suhu bumi, antara lain dengan energi rendah emisi. Bauran ‘pembangkit kotor’ akan dikurangi, bauran ‘pembangkit hijau’ dinaikkan. Saat ini bauran EBT baru 13,1% dari total kapasitas pembangkit.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0870 seconds (0.1#10.140)
pixels