Power Wheeling, Pasal 33, dan Agenda Transisi Energi
loading...
A
A
A
Ketentuan ini ‘lolos’ dalam putusan MK No. 149/PUU-VII/2009, tetapi dibatalkan oleh putusan MK No. 11/PUU-XIII/2015. MK menyebut ada kesengajaan menyimpangi maksud putusan MK sebelumnya untuk mengesahkan praktik unbundling dalam industri ketenagalistrikan. MK menegaskan konsep unbundling inkonstitusional, Pasal 10 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2009 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pascaputusan MK, pasar tenaga listrik menganut skema Multi Buyers-Single Seller (MBSS). Pengembang listrik swasta (IPP) boleh membangun pembangkit listrik, tetapi seluruh setrum yang dihasilkan harus dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Skema ini sejalan dengan resource nationalism, putusan MK, dan Pasal 33. Tetapi, ada harga yang harus dibayar: beban biaya TOP (Take or Pay) yang harus ditanggung PLN. Kelebihan setrum IPP yang tidak terserap harus dibayar PLN, sekitar Rp3 triliun per GW. Jika sekarang ada 6 GW oversupply, PLN harus menganggarkan Rp18 triliun setiap tahun.
Dunia tengah berjuang mengurangi laju kenaikan suhu bumi, antara lain dengan energi rendah emisi. Bauran ‘pembangkit kotor’ akan dikurangi, bauran ‘pembangkit hijau’ dinaikkan. Saat ini bauran EBT baru 13,1% dari total kapasitas pembangkit.
Atas nama agenda transisi energi, skenario unbundling diselundupkan kembali melalui RUU EBET (Energi Baru dan Energi Terbarukan). RUU EBET masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2019-2024 dan ditetapkan menjadi usul inisiatif DPR pada 2022.
Salah satu klausul yang alot dibahas adalah power wheeling. Ini adalah skema open acess atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik (PBJTL) untuk menyalurkan listrik berbasis EBET. Sempat beberapa kali keluar-masuk dalam DIM (Daftar Isian Masalah) karena pro-kontra di internal Pemerintah dan DPR, klausul ini akan dibahas kembali oleh Panja RUU EBET Komisi VII DPR pada Senin ini (24/6/2024).
Inti dari skema power wheeling adalah keharusan pemegang wilayah usaha (wilus) untuk memenuhi kebutuhan konsumen atas listrik yang bersumber dari EBET. Dalam hal pemegang wilus tidak dapat memenuhi mandat tersebut, konsumen dapat diberikan pasokan listrik melalui point-to-point kerja sama pemanfaatan sewa pembangkit atau perjanjian jual beli listrik dengan pemegang wilus lainnya.
Dengan kata lain, IPP produsen listrik berbasis EBET dapat langsung menjual setrumnya ke konsumen dengan ‘menyewa’ jaringan transmisi dan distribusi PLN. Mereka tidak harus menjual listriknya melalui PLN, tetapi langsung ke pelanggan dengan memanfaatkan fasilitas PLN.
Ini adalah praktik terselubung unbundling system untuk menciptakan pasar MBMS (Multi Buyers Multi Sellers). PLN akan dipaksa memisahkan unit usaha pembangkitan dengan unit usaha transmisi, distribusi, dan penjualan.
Skenario liberalisasi menunggangi RUU EBET melalui power wheeling atas nama transisi energi. Mekanismenya terselubung, tidak terbuka melalui revisi UU Ketenagalistrikan, tetapi melalui RUU EBET. Ada tiga pertanyaan yang patut diajukan.
Pascaputusan MK, pasar tenaga listrik menganut skema Multi Buyers-Single Seller (MBSS). Pengembang listrik swasta (IPP) boleh membangun pembangkit listrik, tetapi seluruh setrum yang dihasilkan harus dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Skema ini sejalan dengan resource nationalism, putusan MK, dan Pasal 33. Tetapi, ada harga yang harus dibayar: beban biaya TOP (Take or Pay) yang harus ditanggung PLN. Kelebihan setrum IPP yang tidak terserap harus dibayar PLN, sekitar Rp3 triliun per GW. Jika sekarang ada 6 GW oversupply, PLN harus menganggarkan Rp18 triliun setiap tahun.
Power Wheeling
Dunia tengah berjuang mengurangi laju kenaikan suhu bumi, antara lain dengan energi rendah emisi. Bauran ‘pembangkit kotor’ akan dikurangi, bauran ‘pembangkit hijau’ dinaikkan. Saat ini bauran EBT baru 13,1% dari total kapasitas pembangkit.
Atas nama agenda transisi energi, skenario unbundling diselundupkan kembali melalui RUU EBET (Energi Baru dan Energi Terbarukan). RUU EBET masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2019-2024 dan ditetapkan menjadi usul inisiatif DPR pada 2022.
Salah satu klausul yang alot dibahas adalah power wheeling. Ini adalah skema open acess atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik (PBJTL) untuk menyalurkan listrik berbasis EBET. Sempat beberapa kali keluar-masuk dalam DIM (Daftar Isian Masalah) karena pro-kontra di internal Pemerintah dan DPR, klausul ini akan dibahas kembali oleh Panja RUU EBET Komisi VII DPR pada Senin ini (24/6/2024).
Inti dari skema power wheeling adalah keharusan pemegang wilayah usaha (wilus) untuk memenuhi kebutuhan konsumen atas listrik yang bersumber dari EBET. Dalam hal pemegang wilus tidak dapat memenuhi mandat tersebut, konsumen dapat diberikan pasokan listrik melalui point-to-point kerja sama pemanfaatan sewa pembangkit atau perjanjian jual beli listrik dengan pemegang wilus lainnya.
Dengan kata lain, IPP produsen listrik berbasis EBET dapat langsung menjual setrumnya ke konsumen dengan ‘menyewa’ jaringan transmisi dan distribusi PLN. Mereka tidak harus menjual listriknya melalui PLN, tetapi langsung ke pelanggan dengan memanfaatkan fasilitas PLN.
Ini adalah praktik terselubung unbundling system untuk menciptakan pasar MBMS (Multi Buyers Multi Sellers). PLN akan dipaksa memisahkan unit usaha pembangkitan dengan unit usaha transmisi, distribusi, dan penjualan.
Skenario Liberalisasi
Skenario liberalisasi menunggangi RUU EBET melalui power wheeling atas nama transisi energi. Mekanismenya terselubung, tidak terbuka melalui revisi UU Ketenagalistrikan, tetapi melalui RUU EBET. Ada tiga pertanyaan yang patut diajukan.