Ada Tukar Guling Jasa di Balik Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masalah netralitas aparatur sipl negara (ASN) selalu saja muncul dalam setiap gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada). Namun, sejatinya yang yang menyebabkan ASN kerap tidak netral dan ditarik-tarik masuk “gelanggang” oleh kandidat.
Ada banyak faktor Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem ) Titi Anggraini mengatakan, netralitas ASN sangat dipengaruhi struktur birokrasi. ASN bisa berpihak pada salah satu calon karena tekanan struktural dan khawatir karirnya mandek.
Namun ada pula usaha untuk menukarkan jasa ketidaknetralan tersebut dengan sesuatu. Ini bukan hanya aktor politik yang aktif, tetapi ASN-nya juga aktif mendekati kandidat. Selain itu, hubungan kekerabatan, kepentingan pragmatis untuk keuntungan pribadi dan kelompok, dan kultur feodal juga turut memberikan andil pada masalah netralitas ASN .
“Ada rasa kebanggaan sosial jika bisa dekat dan mempunyai akses langsung ke kepala daerah,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema ”Netralitas dan Kewaspadaan Politisasi ASN dalam Pilkada Serentak Tahun 2020”, Senin (10/8/2020).
(Baca: Politisasi dan Mobilisasi ASN Masih Jadi Persoalan Krusial di Pilkada)
Dalam evaluasi Perludem, netralitas ASN ini masuk tiga besar masalah pilkada bersama politik uang dan akurasi dan validasi daftar pemilih tetap (DPT). Ketiganya terkait langsung dengan sumber suara.
“Politik uang itu ke sumber pemilih, tapi belakangan menyasar ke penyelenggara dan proses pencalonan. Karena dia problem yang kerap muncul, kita harus mengantisipasinya dengan tepat,” tutur Titi.
Lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menerangkan ASN itu harus menyadari mempunyai hal pilih dalam pemilihan umum (pemilu). Namun, ekspresi dna keberpihakannya hanya dilakukan dalam bilik suara.
(Baca: Data ASN Pelanggar Netralitas yang Tak Dijatuhi Sanksi Bakal Diblokir)
Netralitas ASN ini bisa dijaga dengan berbagai cara, seperti regulasi yang kuat serta memperkokoh integritas ASN dan calon. Yang tak kalah penting, peran partai politik untuk tidak mempolitisasi ASN.
Perludem mengapresiasi sikap terbuka dari pemerintah, terutama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpanrb). Tjahjo Kumolo selaku Menpanrb beberapa waktu lalu mengungkapkan ada 70 persen ASN yang tidak netral dalam pilkada dengan beragam pola.
“Isu-isu netralitas ASN seiring perjalanan reformasi birokrasi semakin mendapatkan tempat untuk dibicarakan terbuka. Pada masa awal, isu netralitas tidak terlalu terbuka. Ini terkait iklim demokrasi dan situasi daerah,” pungkasnya.
Ada banyak faktor Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem ) Titi Anggraini mengatakan, netralitas ASN sangat dipengaruhi struktur birokrasi. ASN bisa berpihak pada salah satu calon karena tekanan struktural dan khawatir karirnya mandek.
Namun ada pula usaha untuk menukarkan jasa ketidaknetralan tersebut dengan sesuatu. Ini bukan hanya aktor politik yang aktif, tetapi ASN-nya juga aktif mendekati kandidat. Selain itu, hubungan kekerabatan, kepentingan pragmatis untuk keuntungan pribadi dan kelompok, dan kultur feodal juga turut memberikan andil pada masalah netralitas ASN .
“Ada rasa kebanggaan sosial jika bisa dekat dan mempunyai akses langsung ke kepala daerah,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema ”Netralitas dan Kewaspadaan Politisasi ASN dalam Pilkada Serentak Tahun 2020”, Senin (10/8/2020).
(Baca: Politisasi dan Mobilisasi ASN Masih Jadi Persoalan Krusial di Pilkada)
Dalam evaluasi Perludem, netralitas ASN ini masuk tiga besar masalah pilkada bersama politik uang dan akurasi dan validasi daftar pemilih tetap (DPT). Ketiganya terkait langsung dengan sumber suara.
“Politik uang itu ke sumber pemilih, tapi belakangan menyasar ke penyelenggara dan proses pencalonan. Karena dia problem yang kerap muncul, kita harus mengantisipasinya dengan tepat,” tutur Titi.
Lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menerangkan ASN itu harus menyadari mempunyai hal pilih dalam pemilihan umum (pemilu). Namun, ekspresi dna keberpihakannya hanya dilakukan dalam bilik suara.
(Baca: Data ASN Pelanggar Netralitas yang Tak Dijatuhi Sanksi Bakal Diblokir)
Netralitas ASN ini bisa dijaga dengan berbagai cara, seperti regulasi yang kuat serta memperkokoh integritas ASN dan calon. Yang tak kalah penting, peran partai politik untuk tidak mempolitisasi ASN.
Perludem mengapresiasi sikap terbuka dari pemerintah, terutama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpanrb). Tjahjo Kumolo selaku Menpanrb beberapa waktu lalu mengungkapkan ada 70 persen ASN yang tidak netral dalam pilkada dengan beragam pola.
“Isu-isu netralitas ASN seiring perjalanan reformasi birokrasi semakin mendapatkan tempat untuk dibicarakan terbuka. Pada masa awal, isu netralitas tidak terlalu terbuka. Ini terkait iklim demokrasi dan situasi daerah,” pungkasnya.
(muh)