Politisasi dan Mobilisasi ASN Masih Jadi Persoalan Krusial di Pilkada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai berbagai potensi pelanggaran pemilu belum berhasil mengurai benang kusut peta kerawanan pemilu dalam Pilkada Serentak 2020 seperti politisasi dan mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk kepentingan politik elektoral.
Menurutnya, dari pilkada ke pilkada soal netralitas ASN ini menjadi salah satu persoalan krusial yang paling menjadi momok menakutkan dari praktik demokrasi lokal kita, selain juga masalah akurasi DPT dan politik uang yang sulit ditindak. (Baca juga: Kosulatnya Diperintahkan Ditutup, China Murka dan Ancam Balas AS)
"Meskipun politisasi dan mobilisasi ASN sudah banyak jadi sorotan tapi praktiknya terus berlanjut," ujar Titi saat dihubungi SINDOnews, Kamis (23/7/2020).
Titi mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, mentalitas birokrasi kita yang masih jauh dari semangat reformasi birokrasi yang mestinya mewujudkan ASN dan PNS yang loyal pada pelayanan publik dan kepentingan negara ketimbang atasan atau aktor politik lokal.
Kedua, kata dia, kepentingan politik partisan ASN yang punya irisan kekerabatan atau kesukuan dengan calon yang maju di pilkada juga menjadi faktor pemicu tidak netralnya ASN. Ketiga, digunakannya pilkada sebagai tukar guling untuk mencari promosi jabatan.
Keempat, intimidasi dan tekanan orang kuat lokal yang terlalu dominan kepada ASN yang berada dalam cengekraman ekosistem yang tidak menguntungkan. "Dan kelima, penegakan hukum yang masih birokratis, terlalu banyak melibatkan pihak dan belum sepenuhnya memberi efek jera pada para pelaku pelanggaran atas netralitas ASN di pilkada," tutur dia.
Lebih lanjut, Titi menjelaskan ASN selalu jadi sasaran politisasi karena memang suara dan akses yang dimiliki ASN selalu disasar untuk memberi efek elektoral bagi para oknum kandidat. Selain itu, ASN memiliki hak suara sekaligus juga akses pada fasilitas jabatan serta pengaruh terkait dengan kewenangan yang melekat pada jabatannya itu.
"Makanya kemampuan menggerakkan ASN dianggap sebagai keuntungan bagi para oknum kandidat yang pragmatis dan oportunis," paparnya.
Di sisi lain, lanjut Titi, pilkada di masa pandemi membiuat pengawasan netralitas ASN menjadi makin tidak mudah. Misalnya, banyaknya program penanganan COVID-19 memicu praktik politisasi bansos dan program pemulihan dampak COVID-19 oleh aktor politik yang berkompetisi.
Menurutnya, politisasi program COVID-19 ini kemungkinan besar juga akan melibatkan ASN daerah untuk menjadi operator dalam praktik penyimpangan politisasi program penanganan COVID-19 tersebut.
Menurutnya, dari pilkada ke pilkada soal netralitas ASN ini menjadi salah satu persoalan krusial yang paling menjadi momok menakutkan dari praktik demokrasi lokal kita, selain juga masalah akurasi DPT dan politik uang yang sulit ditindak. (Baca juga: Kosulatnya Diperintahkan Ditutup, China Murka dan Ancam Balas AS)
"Meskipun politisasi dan mobilisasi ASN sudah banyak jadi sorotan tapi praktiknya terus berlanjut," ujar Titi saat dihubungi SINDOnews, Kamis (23/7/2020).
Titi mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, mentalitas birokrasi kita yang masih jauh dari semangat reformasi birokrasi yang mestinya mewujudkan ASN dan PNS yang loyal pada pelayanan publik dan kepentingan negara ketimbang atasan atau aktor politik lokal.
Kedua, kata dia, kepentingan politik partisan ASN yang punya irisan kekerabatan atau kesukuan dengan calon yang maju di pilkada juga menjadi faktor pemicu tidak netralnya ASN. Ketiga, digunakannya pilkada sebagai tukar guling untuk mencari promosi jabatan.
Keempat, intimidasi dan tekanan orang kuat lokal yang terlalu dominan kepada ASN yang berada dalam cengekraman ekosistem yang tidak menguntungkan. "Dan kelima, penegakan hukum yang masih birokratis, terlalu banyak melibatkan pihak dan belum sepenuhnya memberi efek jera pada para pelaku pelanggaran atas netralitas ASN di pilkada," tutur dia.
Lebih lanjut, Titi menjelaskan ASN selalu jadi sasaran politisasi karena memang suara dan akses yang dimiliki ASN selalu disasar untuk memberi efek elektoral bagi para oknum kandidat. Selain itu, ASN memiliki hak suara sekaligus juga akses pada fasilitas jabatan serta pengaruh terkait dengan kewenangan yang melekat pada jabatannya itu.
"Makanya kemampuan menggerakkan ASN dianggap sebagai keuntungan bagi para oknum kandidat yang pragmatis dan oportunis," paparnya.
Di sisi lain, lanjut Titi, pilkada di masa pandemi membiuat pengawasan netralitas ASN menjadi makin tidak mudah. Misalnya, banyaknya program penanganan COVID-19 memicu praktik politisasi bansos dan program pemulihan dampak COVID-19 oleh aktor politik yang berkompetisi.
Menurutnya, politisasi program COVID-19 ini kemungkinan besar juga akan melibatkan ASN daerah untuk menjadi operator dalam praktik penyimpangan politisasi program penanganan COVID-19 tersebut.