Kekuasaan Cenderung Korup, Kekuasaan Absolut Korupsi Sangat Absolut

Senin, 27 November 2023 - 08:06 WIB
loading...
Kekuasaan Cenderung Korup, Kekuasaan Absolut Korupsi Sangat Absolut
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

JUDUL di atas terjemahan dari pendapat Lord Acton yakni power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely, bukan sekadar isapan jempol bagi masayarakat Indonesia karena hal tersebut terbukti dari sejarah kepemimpinan nasional.

Contoh konkret mantan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 (tiga puluh dua) tahun sejak mengambil alih kekuasaan dari Soekarno pada tahun 1966. Berakhirnya kekuasaan Soeharto pada tahun 1998 melalui demo besar-besaran yang dikenal dengan sebutan “people power”.

Sejarah Indonesia telah membuktikan secara konkret nyata pernyataan Lord Acton dan tidak mengherankan ketika Presiden Joko Widodo menanyakan kemungkinan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, tidak hanya dua periode. Berbeda dengan pendahulunya, Presiden Joko Widodo memahami hambatan yuridis atas kehendak masa jabatan tiga periode. Namun dia telah menggunakan strategi yang secara politis tidak dilarang akan tetapi secara hukum dan secara sosiologis dilarang, yaitu dengan menempatkan putranya Gibran Rakabuming Raka menjadi calon presiden mendampingi Capres Prabowo Subianto, langkah yang menunjukkan telah terjadi perbuatan yang disebut nepotisme.

Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara yang terdapat pada Pasal 1 angka (5) UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Larangan perbuatan nepotisme di dalam UU aquo diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).



Selain nepotisme, perbuatan kolusi juga diancam pidana maksimum dan pidana denda yang sama dengan nepotisme. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

Kolusi dan nepotisme sejak tahun 1999 telah dilarang dan diancam pidana di Indonesia. Sehingga agak mengejutkan penyelenggara negara pada umumnya yang tidak pernah membaca UU Nomor 28 Tahun 1999 mengetahui larangan tersebut karena dalam pemikiran pada umumnya masyarakat, khususnya penyelenggara negara di Indonesia, perkawanan atau berkolusi merupakan yang layak dan pantas terjadi dengan alasan memperpanjang "tali silaturahmi".

Dalam implementasiya, dua jenis perbuatan yang dilarang tersebut menyebabkan penyelenggara negara terutama penegak hukum tampak menjadi angkuh dan tidak bergaul sekalipun dengan kerabat/keluarga terutama dalam acara keluarga seperti penikahan, apalagi bertemu muka dengan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Sikap mental dan integritas seorang penegak hukum khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering menyebabkan sesungguhnya mereka tidak dapat bertahan lama dalam jabatan selaku pimpinan atau pegawai KPK. Begitu pula di lingkungan Kejaksaan dan Kepolisian termasuk hakim.



Pernyataan Lord Acton dalam kenyataan praktik penegakan hukum sejatinya dikembalikan kepada masalah moralitas dan disiplin serta tanggung jawab yang tinggi serta integritas personal yang didasarkan pada profesionalitas pimpinan maupun petugas di bawahnya. Masalah tersebut amat krusial dan dapat diperkirakan dan kita rasakan, akan tetapi sampai saat ini belum ada hasil penelitian mengenai masalah ini yang teramat penting dan menentukan tegaknya hukum memastikan kebenaran materiil, kepastian, dan keadilan dalam suatu perkara, khususnya perkara tindak pidana korupsi.

Namun demikian, kemungkinan kepastian adanya masalah-masalah tersebut telah terbukti dengan putusan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang telah membebaskan seorang terdakwa perkara tipikor di KPK maupun di Kejaksaan. Bahkan telah terbukti ada suap terjadi dalam proses penyidikan, penuntutan atau dalam pemeriksaan perkara di pengadilan sejak tahap pertama sampai tahap kasasi.

Pernyataan Lord Acton juga terjadi di lingkungan birokrasi dan pada level terendah dalam proses lelang barang/jasa pemerintah ketika pada proses pelelangan sejak penawaran sampai pada keputusan pemenang lelang; dalam hal ini lazim terjadi dalam praktik melibatkan Pejabat Pembuat Komitment (PPK) di Kementerian/Lembaga sebagai salah satu tersangka/terdakwa perkara tipikor. Pada level atas birokrasi di eksekutif dan legislatif pun terjadi ekses penyalahgunaan kekuasaan, khususnya menjadi sponsor atau backing pelaku bisnis untuk memuluskan keinginannya memenangkan tender suatu proyek infrastruktur seperti kasus BTS dan kasus korupsi pembangunan infrastruktur pemerintah.

Pada akhir-akhir ini telah terjadi peristiwa menggemparkan dunia politik dalam negeri menjelang pemilu, yakni putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 telah mengandung perbuatan nepotisme yang dilarang dan diancam pidana penjara dan pidana denda. Larangan nepotisme termasuk salah satu perbuatan yang merupakan embrio tindak pidana korupsi termasuk kolusi yang juga dilarang dan diancam pidana. Pernyataan Lord Acton ini juga terjadi pada tingkat kabupaten, kecamatan, dan kelurahan sampai pada tingkat desa di beberapa provinsi di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa korupsi di negeri ini tidak berkurang, bahkan sebaliknya meningkat secara kuantitas maupun kualitas nilai yang dikorupsi serta pelakunya. Solusi yang selama ini hanya pergantian pejabat yang korup telah terbukti tidak menyelesaikan masalahnya secara tuntas, sehingga korupsi dapat dikatakan merupakan bagian dari budaya bangsa ini (the culture of corruption).
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2002 seconds (0.1#10.140)