Dinasti Politik dan Implikasi Hukum Putusan MK Nomor 90

Senin, 06 November 2023 - 18:06 WIB
loading...
Dinasti Politik dan Implikasi Hukum Putusan MK Nomor 90
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

DINASTI politik adalah sebuah sebutan yang ditujukan terhadap elite politik, baik perorangan atau kelompok yang menghendaki dan merencanakan peralihan kekuasaan berada pada istri atau anak-anaknya dengan cara pewarisan (kekuasaan) tanpa harus menggantungkan pada proses pemilihan yang bersifat demokratis. Pola pewarisan kekuasaan semacam ini jelas bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis yaitu, jujur, adil, langsung, dan terbuka.

Implikasi sosial dan birokratis daripada dinasti politik ini adalah orang yang memiliki keahlian dan kompetensi mengelola pemerintahan menjadi tidak berguna sehingga di akhir masa jabatan dengan pola dinasti politik seperti itu berakhir secara tragis, yakni kesejahteraan rakyat menurun, sedangkan kesejahteraan keluarga dan kroninya semakin meningkat sebagaimana telah dicontohkan oleh mantan Presiden Marcos di Filipina dan mantan Presiden Soeharto di era Orde Baru.

Merujuk konsep dan luas lingkup dinasti politik tersebut sudah tentu memiliki implikasi terhadap eksistensi hukum dan penegakan hukum, dihubungkan dengan kekuasaan yaitu pilar hukum adanya kekuasaan di baliknya. Sebaliknya, hukum adalah pilar negara hukum agar kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-wenang. Dinasti politik dalam konteks menjelang pemilu telah menjadi kenyataan dalam Putusan MKRI Nomor 90/PUU-XXI/2023. Tampak terang, jelas, dan nyata bahwa amar putusan aquo telah mengubahnya dan memasukkan syarat tambahan batas usia capres/cawapres dari batas usia 40 tahun, kemudian dimasukkan tambahan syarat atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Berdasarkan penambahan frasa tersebut, Gibran Rakabuming Raka yang berusia 36 tahun, yang juga adalah keponakan Ketua MKRI Anwar Usman sebagai ketua majelis sidang MKRI, lolos dan dapat mencalonkan dirinya sebagai cawapres dalam Pemilu 2024.



Memang setiap warga negara Indonesia berhak untuk memilih atau dipilih, akan tetapi seharusnya hak tersebut dijalankan melalui proses hukum yang benar mematuhi syarat-syarat batas usia capres-cawapres berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Penjelasan Umum UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkaman Konstitusi RI menyatakan antara lain, bahwa sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan, di dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan dalam Pasal 17 (3) bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera atau jaksa, advokat, atau panitera.

Di persidangan MKRI dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, terbukti Hakim Ketua Anwar Usman yang juga adalah Ketua MKRI dan paman dari salah satu cawapres salah satu pasangan calon tidak mengundurkan diri dan tetap memimpin persidangan sampai diambilnya suatu putusan. Hal ini menunjukkan bahwa Ketua MK merangkap sebagai Ketua Majelis telah melakukan pelanggaran serius terhadap UU aquo. Selain itu juga telah melanggar larangan Nepotisme sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan bebas KKN (UU KKN).

Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara (Pasal 1 angka 21). Diketahui bahwa UU KKN dan UU MKRI adalah merupakan anak kandung reformasi Tahun 1998. Bukan saja pelanggaran pidana melainkan pengkhianatan terhadap UUD dan Peraturan Perundang-undangan serta sumpah sebagai seorang Hakim, putusan MKRI Nomor 90/PUU-XXI/2023 telah mempertontonkan bahwa Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara aquo merupakan cermin dari "The Conspiracy to corrupt the Morality of the 1945 Constitution”.

Dalam kekosongan hukum melakukan perlawanan atau upaya hukum terhadap setiap putusan MKRI aquo diperkuat oleh Pasal 47 UU MKRI yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, maka tidaklah mudah untuk membatalkannya. Namun demikian, di dalam Putusan MKRI Nomor 90/PUU-XXI/2023 terdapat bukti permulaan yang cukup terjadi tindak pidana nepotisme yang secara tegas dilarang dan diancam dengan sanksi pidana selama-lamanya 12 tahun, sehingga alasan pembatalan putusan aquo secara hukum kuat dan memadai serta sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat masa kini. Dan dalam keadaan kekosongan hukum tersebut maka adagium yang menyatakan bahwa ada benarnya adagium bahwa jika hakim dihadapkan kepada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mendahulukan keadilan.

Bagaimana seharusnya perlakuan hukum pidana terhadap tindak pidana nepotisme yang diduga telah dilakukan Hakim MKRI dalam perkara aquo? Doktrin Hukum Pidana yang telah diakui universal menganut konsep daad-dader strafrecht di mana pelaku hanya dapat dipidana jika perbuatannya dilarang dalam undang-undang dan telah terbukti kesalahannya melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Selain doktrin hukum tersebut, juga diakui konsep penyertaan dalam tindak pidana atau deelneming; yang meliputi siapa yang melakukan (dader), siapa yang turut serta melakukan (mede-dader), siapa yang disuruh melakukan (medepleger), dan siapa yang membantu melakukan (doen-pleger). Namun demikian, kajian hukum pidana tidak berhenti di situ, melainkan opsi tinjauan aspek hukum pidana “terpaksa” harus berhenti sementara karena ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU MKRI Tahun 2004 menyatakan bahwa, Hakim Konstitusi hanya dapat dikenakan tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis Presiden, kecuali dalam hal: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana, atau b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak kejahatan terhadap keamanan negara.

Merujuk ketentuan UU MKRI aquo, semakin jelas dan terang bahwa dinasti politik yang telah terjadi diperkuat oleh imunitas (kekebalan hukum) Hakim MKRI. Sehubungan dengan hal tersebut, sekalipun tampak langkah perlawanan atas putusan MKRI dalam perkara Nomor 90 (akan) sirna, namun putusan MKRI dalam perkara aquo tidak dapat dieksekusi (unexecutable decisions) dengan alasan setiap UU termasuk UU Perubahan tidak berlaku surut alias dia hanya berlaku sejak UU atau UU Perubahan diundangkan. Implikasi Putusan MKRI Nomor 90 dan UU Perubahan UU Pemilu hanya berlaku sejak diundangkannya.

Contoh UU MKRI pada BAB VIII KETENTUAN PENUTUP- Pasal 88 -Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dalam konteks hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kekuatan hukum mengikat suatu UU dalam sistem hukum Indonesia lebih menentukan berlakunya suatu ketentuan hukum tertulis daripada yurisprudensi.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1307 seconds (0.1#10.140)