Suara Waria untuk Siapa?
loading...
A
A
A
Kemudian “waria” adalah istilah khas Indonesia yang merupakan gabungan dari kata “wanita” dan “pria”. Istilah ini baru muncul pada 1980-an. Sebelumnya, ada istilah bencong, banci, wadam (hawa adam) atau wandu (wanita dudu/bukan wanita) di dalam bahasa Jawa. Sampai sekarang, istilah “becong” dan “banci” kadang masih tetap dipakai, tetapi terkesan merendahkan keberadaan waria.
Sejarah waria di Jakarta, terutama yang di jalan-jalan, memang lumayan panjang. Sebagian mereka datang dari daerah karena melarikan diri dari kota asalnya, atau mereka yang terusir dari keluarga. Menurut dua dedengkot waria di Jakarta, yaitu Netty dan Etty, ketika mereka mulai dipanggil oleh pemain orkes untuk ikut menyanyi atau sekadar berjoget pada tahun 1957, belum banyak waria yang melacurkan diri di jalan. “Itu anak-anak Gang Kancil, Kota, sana. Di jalan-jalan sih masih sedikit. Ketika Hotel Indonesia akan dibangun, kira-kira masih tahun lima tujuh-lima delapan, ya, mulai ada satu dua di situ.”
Selanjutnya, waria mulai bertebaran di tempat-tempat strategis seperti di Lawan Plein (sekarang Taman Lawang), atau di Jalan Diponegoro. Akhirnya, pada tahun 1968 waria-waria mendapat tempat berkumpul di salah satu stand di dalam lokasi Djakarta Fair (sekarang Pekan Raya Jakarta) yang diselenggarakan pada tahun 1968 di Monas. Di situ lahirlah Paradise Hall, semacam bar yang seluruh kegiatannya dikelola waria. Pada acara Djakarta Fair pertama itu diadakan pula pemilihan Ratu Waria yang diikuti 151 waria.
Kebebasan berkumpul dan melakukan aktivitas seni bagi waria dimungkinkan karena Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (1966-1976), peduli pada nasib waria di Jakarta. Beberapa kali ia mengadakan tatap muka dengan mereka. Tampaknya dia berusaha menyelami persoalan serta berupaya membimbing dan menyalurkan bakat-bakat para waria.
“Sebagai gubernur, saya merasa ikut bertanggung jawab atas segala yang terjadi pada warga saya. Saya berusaha menghayati bagaimana kehidupan dan penghidupan warga saya, siapa pun mereka. Saya kemudian melihat golongan ini (waria) dianggap seolah-olah tidak memiliki hak hidup. Mereka dijauhi masyarakat. Pemerintah waktu itu pasif saja. Masa bodoh. Kaum ini dianggap bukan permasalahan. Nah, saya kemudian sadar bahwa mereka juga warga kota. Lalu saya berusaha menghayati permasalahan mereka dan mencoba untuk memperbaiki keadaan,” kata Ali Sadikin kepada saya dalam suatu wawancara pada pertengahan 1980-an..
“Apa pun penyebabnya, waria harus ditolong. Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Saya melihat banyak di antara mereka yang berasal dari keluarga baik-baik. Urusan Pemerintah memang banyak, tapi itu sudah menjadi kewajibannya. Mereka jangan dianggap sampah terus-menerus, sebagai warga kota, sebagai warga Negara. Jadi, harus ada langkah-langkah yang diambil,” kata Ali Sadikin lagi.
Paradise Hall terpaksa ditutup karena kurang pengunjung. Setelahnya, beberapa waria mendirikan Wadam All Stars, grup penghibur yang beranggotakan waria-waria berbakat seni. Tapi ini pun tidak lama berjalan. Salah satu anggota dari Wadam All Stars, Myrna, mendirikan grup band, Bambang Brothers bersama saudara kembarnya. Grup band ini cukup sukses.
Sejak awal tahun 70-an, para waria mulai berkumpul di tiga tempat: Lapangan Banteng-Monas; Taman Suropati; dan Taman Lawang di mana terbentuknya organisasi waria pertama di Indonesia, yaitu Hiwad (Himpunan Wadam) pada tahun 1973 atas fasilitasi Ali Sadikin. Ketuanya Maya Puspa. Tapi organisasi baru ini pun tidak memiliki kegiatan yang berarti dan akhirnya mati suri.
Pada tahun 1977, Myrna mendirikan grup penghibur baru, namanya Fantastic Dolls, yang bergerak dalam bidang nyanyi, tari, sulap, serta lawak. Fantastic Dolls besama Bambang Brothers makin popular. Fantastic Dolls melakukan pertunjukkan Kabaret Show di Taman Ria Monas; Senayan; Ancol dan beberapa tempat rekreasi lainnya. Kelompok ini aktif sampai awal tahun 90-an. Fantastic Dolls menjadi kebanggaan para waria, dan prestasinya diakui masyarakat.
Menurut Chenny, salah satu anggota, Fantastic Dolls melakukan beberapa kegiatan sosial bagi waria seperti pemberian bantuan pada waria jompo, waria yang menderita sakit kronis, dan pembersihan kuburan waria yang tidak terawat, dan penguburan waria yang tidak punya keluarga. Kegiatan nyanyi dan tari di atas panggung merupakan sumber dana untuk mebiayai aksi sosial Fantastic Dolls.
Sejarah waria di Jakarta, terutama yang di jalan-jalan, memang lumayan panjang. Sebagian mereka datang dari daerah karena melarikan diri dari kota asalnya, atau mereka yang terusir dari keluarga. Menurut dua dedengkot waria di Jakarta, yaitu Netty dan Etty, ketika mereka mulai dipanggil oleh pemain orkes untuk ikut menyanyi atau sekadar berjoget pada tahun 1957, belum banyak waria yang melacurkan diri di jalan. “Itu anak-anak Gang Kancil, Kota, sana. Di jalan-jalan sih masih sedikit. Ketika Hotel Indonesia akan dibangun, kira-kira masih tahun lima tujuh-lima delapan, ya, mulai ada satu dua di situ.”
Selanjutnya, waria mulai bertebaran di tempat-tempat strategis seperti di Lawan Plein (sekarang Taman Lawang), atau di Jalan Diponegoro. Akhirnya, pada tahun 1968 waria-waria mendapat tempat berkumpul di salah satu stand di dalam lokasi Djakarta Fair (sekarang Pekan Raya Jakarta) yang diselenggarakan pada tahun 1968 di Monas. Di situ lahirlah Paradise Hall, semacam bar yang seluruh kegiatannya dikelola waria. Pada acara Djakarta Fair pertama itu diadakan pula pemilihan Ratu Waria yang diikuti 151 waria.
Kebebasan berkumpul dan melakukan aktivitas seni bagi waria dimungkinkan karena Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (1966-1976), peduli pada nasib waria di Jakarta. Beberapa kali ia mengadakan tatap muka dengan mereka. Tampaknya dia berusaha menyelami persoalan serta berupaya membimbing dan menyalurkan bakat-bakat para waria.
“Sebagai gubernur, saya merasa ikut bertanggung jawab atas segala yang terjadi pada warga saya. Saya berusaha menghayati bagaimana kehidupan dan penghidupan warga saya, siapa pun mereka. Saya kemudian melihat golongan ini (waria) dianggap seolah-olah tidak memiliki hak hidup. Mereka dijauhi masyarakat. Pemerintah waktu itu pasif saja. Masa bodoh. Kaum ini dianggap bukan permasalahan. Nah, saya kemudian sadar bahwa mereka juga warga kota. Lalu saya berusaha menghayati permasalahan mereka dan mencoba untuk memperbaiki keadaan,” kata Ali Sadikin kepada saya dalam suatu wawancara pada pertengahan 1980-an..
“Apa pun penyebabnya, waria harus ditolong. Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Saya melihat banyak di antara mereka yang berasal dari keluarga baik-baik. Urusan Pemerintah memang banyak, tapi itu sudah menjadi kewajibannya. Mereka jangan dianggap sampah terus-menerus, sebagai warga kota, sebagai warga Negara. Jadi, harus ada langkah-langkah yang diambil,” kata Ali Sadikin lagi.
Paradise Hall terpaksa ditutup karena kurang pengunjung. Setelahnya, beberapa waria mendirikan Wadam All Stars, grup penghibur yang beranggotakan waria-waria berbakat seni. Tapi ini pun tidak lama berjalan. Salah satu anggota dari Wadam All Stars, Myrna, mendirikan grup band, Bambang Brothers bersama saudara kembarnya. Grup band ini cukup sukses.
Sejak awal tahun 70-an, para waria mulai berkumpul di tiga tempat: Lapangan Banteng-Monas; Taman Suropati; dan Taman Lawang di mana terbentuknya organisasi waria pertama di Indonesia, yaitu Hiwad (Himpunan Wadam) pada tahun 1973 atas fasilitasi Ali Sadikin. Ketuanya Maya Puspa. Tapi organisasi baru ini pun tidak memiliki kegiatan yang berarti dan akhirnya mati suri.
Pada tahun 1977, Myrna mendirikan grup penghibur baru, namanya Fantastic Dolls, yang bergerak dalam bidang nyanyi, tari, sulap, serta lawak. Fantastic Dolls besama Bambang Brothers makin popular. Fantastic Dolls melakukan pertunjukkan Kabaret Show di Taman Ria Monas; Senayan; Ancol dan beberapa tempat rekreasi lainnya. Kelompok ini aktif sampai awal tahun 90-an. Fantastic Dolls menjadi kebanggaan para waria, dan prestasinya diakui masyarakat.
Menurut Chenny, salah satu anggota, Fantastic Dolls melakukan beberapa kegiatan sosial bagi waria seperti pemberian bantuan pada waria jompo, waria yang menderita sakit kronis, dan pembersihan kuburan waria yang tidak terawat, dan penguburan waria yang tidak punya keluarga. Kegiatan nyanyi dan tari di atas panggung merupakan sumber dana untuk mebiayai aksi sosial Fantastic Dolls.