Suara Waria untuk Siapa?

Senin, 25 September 2023 - 17:23 WIB
loading...
Suara Waria untuk Siapa?
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Saat ini sudah ada ratusan kelompok relawan yang menjadi pendukung ketiga pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres). Juga sudah puluhan deklarasi dukungan dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat. Tetapi, hingga akhir September 2023, saya belum mendengar deklarasi resmi dari “kelompok kecil” atau “minoritas”, khususnya kaum waria (transgender), yang ikut membuat deklarasi untuk menyatakan dukungannya.

Padahal, dalam sejarah perjalanan organisasi waria, beberapa kali mereka melakukan deklarasi terbuka, baik untuk mendukung pemilihan presiden atau kepemimpinan di tingkat lokal. Pada Pemilihan calon Gubernur DKI Jakarta pada 2012, misalnya, para waria menyatakan dukungannya kepada pasangan Joko Widodo dan Basuki Cahya Purnama. Dua tahun kemudian kemudian (2014), dalam Pemilihan Presiden, dukungan waria kembali diperuntukkan kepada pasangan Jokowi-Jusuf Kala.

Pada Pemilihan Presiden 2014 itu, mereka membawa spanduk Jokowi-JK dan berorasi untuk mendukung pasangan tersebut. Ada juga sebagian waria yang pro-Prabowo-Hatta, tetapi mayoritas waria pada waktu itu cenderung mendukung Jokowi. Dukungan waria pada Jokowi-JK tidah hanya terjadi di Jakarta, tetapi di beberapa kota besar seperti Palembang, Pangkalpinang, Makassar, Malang, Jogjakarta, Surabaya.

Bagaimana dengan Pemilu 2024? Ke mana atau kepada siapa kira-kira suara mereka akan diberikan pada pemilihan presiden tahun depan?

Jumlah mereka memang tidak terlalu besar. Kini, data di Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI), tercatat ada sekitar 1.300.000 (satu juta tiga ratus ribu) orang anggota di seluruh Indonesia. Sedangkan di DKI Jakarta tercatat ada 4.000 orang. Sebelum Covid, konon mencapai 7.000 orang. “Kami belum melakukan data ulang tahun ini. Itu masih data lama,” kata Yuli, sang ketua.Sebelum bicara dukung-mendukung, kita lihat sekilas siapa sebenarnya mereka. Setelah itu kita tengok apa yang pernah mereka lakukan di masa lalu dalam konteks politik dan pemilihan kepemimpinan baik di tingkat lokal maupun nasional.

Transgender adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai jenis kelamin yang berbeda dari jenis kelamin ketika mereka dilahirkan. Ini berarti bahwa seorang transgender merasa bahwa identitas gendernya tidak sesuai dengan jenis kelamin biologis mereka.

Misalnya, seseorang yang lahir dengan tubuh fisik laki-laki, tetapi merasa bahwa dirinya sebenarnya adalah seorang perempuan. Atau sebaliknya, seseorang yang lahir dengan tubuh fisik perempuan, tetapi merasa bahwa dirinya adalah seorang laki-laki.
Identitas gender adalah bagian penting dari seseorang yang mereka rasakan dalam dirinya dan mungkin berbeda dari konsep gender yang masyarakat berikan padanya. Identitas gender seseorang dapat mencakup bagaimana mereka memilih untuk mengenakan pakaian, berbicara, dan berperilaku.

Sebagai individu, semua orang berhak untuk dihormati dan diakui identitas gender mereka. Diskriminasi terhadap seorang transgender adalah masalah serius yang bisa memengaruhi banyak aspek, termasuk kesejahteraan mereka. Sudah banyak negara yang telah memiliki undang-undang untuk melindungi hak-hak orang transgender dan mendorong penerimaan serta inklusi dalam masyarakat.

Sedangkan transeksual adalah istilah yang sering digunakan dalam konteks kesehatan dan identitas gender yang merujuk kepada seseorang yang mengalami disforia gender atau ketidakcocokan antara identitas gender mereka dengan jenis kelamin ketika dilahirkan. Kedua istilah (transgender dan transeksual) sering dipakai secara bergantian. Namun, kini kata transgender lebih umum dipakai.

Kemudian “waria” adalah istilah khas Indonesia yang merupakan gabungan dari kata “wanita” dan “pria”. Istilah ini baru muncul pada 1980-an. Sebelumnya, ada istilah bencong, banci, wadam (hawa adam) atau wandu (wanita dudu/bukan wanita) di dalam bahasa Jawa. Sampai sekarang, istilah “becong” dan “banci” kadang masih tetap dipakai, tetapi terkesan merendahkan keberadaan waria.

Sejarah waria di Jakarta, terutama yang di jalan-jalan, memang lumayan panjang. Sebagian mereka datang dari daerah karena melarikan diri dari kota asalnya, atau mereka yang terusir dari keluarga. Menurut dua dedengkot waria di Jakarta, yaitu Netty dan Etty, ketika mereka mulai dipanggil oleh pemain orkes untuk ikut menyanyi atau sekadar berjoget pada tahun 1957, belum banyak waria yang melacurkan diri di jalan. “Itu anak-anak Gang Kancil, Kota, sana. Di jalan-jalan sih masih sedikit. Ketika Hotel Indonesia akan dibangun, kira-kira masih tahun lima tujuh-lima delapan, ya, mulai ada satu dua di situ.”

Selanjutnya, waria mulai bertebaran di tempat-tempat strategis seperti di Lawan Plein (sekarang Taman Lawang), atau di Jalan Diponegoro. Akhirnya, pada tahun 1968 waria-waria mendapat tempat berkumpul di salah satu stand di dalam lokasi Djakarta Fair (sekarang Pekan Raya Jakarta) yang diselenggarakan pada tahun 1968 di Monas. Di situ lahirlah Paradise Hall, semacam bar yang seluruh kegiatannya dikelola waria. Pada acara Djakarta Fair pertama itu diadakan pula pemilihan Ratu Waria yang diikuti 151 waria.

Kebebasan berkumpul dan melakukan aktivitas seni bagi waria dimungkinkan karena Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (1966-1976), peduli pada nasib waria di Jakarta. Beberapa kali ia mengadakan tatap muka dengan mereka. Tampaknya dia berusaha menyelami persoalan serta berupaya membimbing dan menyalurkan bakat-bakat para waria.

“Sebagai gubernur, saya merasa ikut bertanggung jawab atas segala yang terjadi pada warga saya. Saya berusaha menghayati bagaimana kehidupan dan penghidupan warga saya, siapa pun mereka. Saya kemudian melihat golongan ini (waria) dianggap seolah-olah tidak memiliki hak hidup. Mereka dijauhi masyarakat. Pemerintah waktu itu pasif saja. Masa bodoh. Kaum ini dianggap bukan permasalahan. Nah, saya kemudian sadar bahwa mereka juga warga kota. Lalu saya berusaha menghayati permasalahan mereka dan mencoba untuk memperbaiki keadaan,” kata Ali Sadikin kepada saya dalam suatu wawancara pada pertengahan 1980-an..

“Apa pun penyebabnya, waria harus ditolong. Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Saya melihat banyak di antara mereka yang berasal dari keluarga baik-baik. Urusan Pemerintah memang banyak, tapi itu sudah menjadi kewajibannya. Mereka jangan dianggap sampah terus-menerus, sebagai warga kota, sebagai warga Negara. Jadi, harus ada langkah-langkah yang diambil,” kata Ali Sadikin lagi.

Paradise Hall terpaksa ditutup karena kurang pengunjung. Setelahnya, beberapa waria mendirikan Wadam All Stars, grup penghibur yang beranggotakan waria-waria berbakat seni. Tapi ini pun tidak lama berjalan. Salah satu anggota dari Wadam All Stars, Myrna, mendirikan grup band, Bambang Brothers bersama saudara kembarnya. Grup band ini cukup sukses.

Sejak awal tahun 70-an, para waria mulai berkumpul di tiga tempat: Lapangan Banteng-Monas; Taman Suropati; dan Taman Lawang di mana terbentuknya organisasi waria pertama di Indonesia, yaitu Hiwad (Himpunan Wadam) pada tahun 1973 atas fasilitasi Ali Sadikin. Ketuanya Maya Puspa. Tapi organisasi baru ini pun tidak memiliki kegiatan yang berarti dan akhirnya mati suri.

Pada tahun 1977, Myrna mendirikan grup penghibur baru, namanya Fantastic Dolls, yang bergerak dalam bidang nyanyi, tari, sulap, serta lawak. Fantastic Dolls besama Bambang Brothers makin popular. Fantastic Dolls melakukan pertunjukkan Kabaret Show di Taman Ria Monas; Senayan; Ancol dan beberapa tempat rekreasi lainnya. Kelompok ini aktif sampai awal tahun 90-an. Fantastic Dolls menjadi kebanggaan para waria, dan prestasinya diakui masyarakat.

Menurut Chenny, salah satu anggota, Fantastic Dolls melakukan beberapa kegiatan sosial bagi waria seperti pemberian bantuan pada waria jompo, waria yang menderita sakit kronis, dan pembersihan kuburan waria yang tidak terawat, dan penguburan waria yang tidak punya keluarga. Kegiatan nyanyi dan tari di atas panggung merupakan sumber dana untuk mebiayai aksi sosial Fantastic Dolls.

Kesuksesan Myrna itu membuat dia dijadikan ketua waria seluruh DKI pada 1979. Berkat kegigihan mengurus kematian Susi dan Iin, yang tenggelam di Kali Malang, dia menggantikan posisi Maya Puspa di Hiwad dan mengubah nama Hiwad menjadi Hiwaria (Himpunan Waria).

Organisasi waria kedua yang lumayan besar adalah Persatuan Waria Kota Surabaya (Purwakos) yang didirikan pada Oktober 1978. Selanjutnya ada juga Ikatan Waria Malang (Iwama) dan Waria DIY. Waria DIY, yang didirikan pada 1980 di Daerah Istimewa Yogyakarta dan setahun kemudian beganti nama dengan Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo).

Waria memang termasuk yang menonjol dibanding kaum gay atau lesbian dalam hal pengorganisasian diri. Demikian juga dengan keberanian mereka untuk tampil di tengah masyarakat. Gay atau lesbian masih bisa menyembunyikan identitas mereka sebagai gay atau lesbian karena sekilas tak bisa dibedakan antara lelaki/perempuan yang suka cewek/cowok dan lelaki/perempuan yang suka cowok/cewek dari segi penampilan.

Gay tetap memakai baju laki-laki dan lesbian tetap pakai baju perempuan. Sedangkan waria adalah laki-laki yang tidak hanya cenderung berperilaku perempuan, tetapi juga berpenampilan, berdandan, dan berpakaian perempuan. Identitas mereka sebagai waria cenderung lebih jelas di mata publik dan waria siap tampil di depan publik.

Di era Orde Baru, pada pertengahan 80-an, organisasi waria Hiwaria, bergabung dengan MKGR, salah satu underbow dari Golkar. Akhirnya, setiap waria yang ada di DKI Jakarta, langsung atau tidak, menjadi anggota Hiwaria. Organisasi ini mencoba bersuara dan menyampaikan aspirasi untuk melindungi kaum waria. Misalnya, sebelum konferensi APEC diselenggarakan di Jakarta pada 1994, Hiwaria membuat pernyataan untuk memprotes perilaku Satpol PP dan tentara di Jakarta yang diskriminatif dan tidak manusiawi kepada waria.

Tetapi hubungan Hiwaria dengan MKGR itu terkesan sekadar legalistas dan formalitas saja. Kelompok ini sendiri tidak pernah menjadi kelompok yang kukuh dengan administrasi yang rapi. Kelompok ini tidak memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, daftar anggota, kop surat, stempel atau persyaratan lain sebagai organisasi. Bahkan Hiwaria cenderung hanya sekadar nama.

Model lain keterlibatan waria dalam politik pada zaman Orde Baru adalah mereka kerap diminta untuk menjadi penghibur, penari atau penyanyi di panggung pada saat kampanye. Di antara 3 (tiga) organisasi peserta pemilu (Golkar-PDI-PPP), PDI-lah yang sering menggunakan jasa waria pada saat kampanye. Tentu waria-waria itu ikut kampanye bukan karena kesadaran politik atau strategi untuk menuntut hak mereka, tetapi karena kebutuhan uang. PDI juga mengikutsertakan waria untuk meramaikan kampanye bukan untuk mendengar aspirasi waria.

Adapun gerakan yang lumayan menonjol pernah dilakukan di Surabaya pada 1999. Perwakos bersama Gaya Nusantara dan Pusat Kebudayaan Perancis menyelenggarakan Gay Pride Parade di Surabaya pada Juni 1999. Ini merupakan Gay Pride Parade pertama di Indonesia. Ini sebuah tanda bahwa kaum waria, gay, lesbian menguatkan kerjasama secara kelembagaan dan bersama-sama menuntut hak azasi manusia secara terbuka. Mereka mendukung Megawati Sukarnoputri menjadi presiden pertama di era Reformasi. Bahkan ada sekitar 200-an waria yang tergabung di dalam Perwakos di Surabaya melakukan aksi cap jempol darah pada Juli 1999.

“Ini adalah aksi dukungan kami buat Mbak Mega yang terus diganjal oleh penguasa. Kami siap jika harus di-dar dor polisi," kata Pangky. Menurutnya, dukungan itu tidak bisa dipisahkan dengan status Mega sebagai perempuan yang "sama" dengan status mereka. "Aksi ini didasari oleh rasa kemanusiaan. Kami punya perasaan wanita dan tidak rela bila wanita disia-siakan," tambah Pangky Kenthut, Ketua Perwakos.

Namun, merasa kecewa karena merasa tak dihargai dan nasib mereka juga tidak berubah, maka ajakan tim sukses Megawati-Hasyim Muzadi pada 2004 untuk membentuk Barisan Komitmen Pendukung Megawati di Surabaya untuk merangkul kaum minoritas seperti mantan penderita kusta, pengamen jalanan dan para waria, tidak disambut dengan antusias oleh Pangky.

Singkat cerita, kini muncul Yulianus Ratublaut (Yuli) dari Merauke, Papua. Setelah lebih dari 17 tahun menjalani kehidupan malam, kini dia menjadi ketua Forum Komunikasi Waria se-Indonesia (FKWI). Tujuan FKWI adalah untuk membantu kehidupan waria dan memperjuangkan hak-hak waria. Yuli bahkan konon pernah mencoba mencalonkan diri sebagai calon komisioner Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2007, tetapi tidak lolos fit and proper test oleh DPR.

Rasa kecewa dan ditinggalkan seperti yang pernah dialami Pangky di Surabaya itu rupanya kini juga dialami oleh Yuli di Jakarta. Itu sebabnya, ketika saya tanya, hingga September 2023, mereka belum terpikir untuk melakukan gerakan deklarasi untuk mendukung salah satu pasangan capres-cawapres. “Kita sebenarnya senang dengan Pak Ganjar dan Pak Prabowo. Tapi untuk melakukan deklarasi resmi, kita lihat aja dulu,” katanya
(wur)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1501 seconds (0.1#10.140)