RUU Cipta Kerja dan Tindakan Semena-Mena Terhadap Tiga Aktivis Kaltim

Senin, 03 Agustus 2020 - 06:30 WIB
loading...
RUU Cipta Kerja dan Tindakan Semena-Mena Terhadap Tiga Aktivis Kaltim
Demo menolak RUU Cipta Kerja. Foto: SINDOnews
A A A
JAKARTA - RUU Cipta Kerja yang sungguh kontroversial itu akhirnya selesai juga dibahas oleh tim tripartit yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah. Kabar itu disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah melalui keterangan pers, Minggu (2.8). "Hasil rumusan penyempurnaan ini akan segera disampaikan ke DPR,” katanya.

Pembentukan tim tripartit ini sebagai tindak lanjut dari pertemuan tanggal 3 Juli 2020 yang dihadiri seluruh pimpinan Kadin/Apindo dan pimpinan Serikat pekerja/buruh. Tim ini telah melakukan 9 (sembilan) kali pertemuan dalam kurun waktu waktu dari tanggal 8 Juli s.d 23 Juli 2020.

Dari hasil pembahasan tim tripartit, kata Menaker, memang tidak semua materi yang dibahas mencapai kesepahaman bersama. Namun, perlu digarisbawahi bersama bahwa sepaham atau tidak, semua anggota tim mempunyai komitmen dan niat yang sama untuk menyelesaikan pembahasan. “Perbedaan pendapat adalah soal biasa dalam pembahasan. Ini mencerminkan tidak ada kekangan dari pihak manapun karena semua anggota diberikan kesempatan yang sama untuk berpendapat meskipun berbeda pandangan," ujarnya.

Pemerintah akan mendalami dan mencermati kembali masukan-masukan dari Tim dan mencari jalan tengah atas beberapa perbedaan pandangan baik dari unsur pekerja/buruh, unsur pengusaha maupun unsur pemerintah.

Selanjutnya,”Saya selaku penerima amanat dari Menko Perekonomian akan menyampaikan laporan hasil pembahasan RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan dari Tim Tripartit ini kepada Menko Perekonomian. Untuk kemudian diserahkan ke DPR untuk proses pembahasan berikutnya,” ujar Menaker.

Kabar tak sedap dari Kalimantan Timur

Toh faktanya perbedaan pandangan itu tak semulus seperti yang tertuang di atas kertas. Di lapangan ditemui ada upaya kriminalisasi serta pembungkaman terhadap aktivis yang menentang RUU tersebut.

Seperti yang terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim). Memanfaatkan momentum pandemi corona, sejumlah orang yang mengaku sebagai petugas kesehatan dari gugus tugas Covid-19 pada Rabu pekan lalu (29/7) melakukan swab test acak tanpa diawali dengan tracing kluster dari suspect yang telah positif.

Menurut siaran pers yang dirilis oleh Walhi Kaltim, Jumat (31/7) lalu, dengan dalih sample acak (random sampling) oknum petugas kesehatan ini bersikeras agar pihak kantor menjalani proses uji test tersebut.

Singkat cerita, lantas diangkutlah tiga aktivis pembela HAM dan Lingkungan Hidup ke Rumah Sakit I. A. Moeis. Mereka dibawa setelah menjalani swab test abal-abal yang hasilnya prematur serta terburu-buru. Ketiga aktivis itu adalah Yohana Tiko (Direktur Eksekutif Walhi Kaltim) Bernard Marbun dan Fathul Huda dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda.

"Kami tidak merasa apapun, tidak ada gejala apapun. Terus kondisi sosial ini yang kami bingungkan. Tidak ada tamu yang datang ke Walhi karena posisi lockdown. Kami taati protokol kesehatan," ucap Bernard.

Sudah begitu, swab test hasilnya tidak jelas. Oknum petugas yang mengaku dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda hanya menyampaikan secara lisan tanpa dibuktikan seara tertulis. Lazimnya dalam dokumen hasil tes berisi antara lain informasi apakah positif atau negatif, menyebutkan asal laboratorium dan nama serta tanda tangan pihak yang bertanggung terhadap hasil laboratorium tersebut.

Oknum Petugas Kesehatan Kota Samarinda dalam menjalankan aksinya ketika mengambil sampel pada tanggal 29 Juli 2020 secara nyata mengabaikan sejumlah protokol Kesehatan yang telah diatur dalam sejumlah peraturan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan berikut aturan turunannya.

Begitu pula pada saat melakukan penyemprotan desinfektan dan puncaknya ketika melakukan penjemputan secara paksa tidak dilengkapi dengan APD lengkap berdasarkan standar protokol penanganan suspek covid-19.

Tak hanya itu. Seluruh petugas yang beroperasi pada tanggal 29-31 Juli 2020 menolak menunjukkan identitas pribadi, jabatan, serta instansi asal mereka. Mereka juga tidak bersedia didokumentasikan dengan alasan tidak mengenakan APD lengkap.

Sebenarnya sebelum memasuki ruang isolasi di RSUD I.A. Moeis Samarinda pasca penjemputan secara paksa ke ruang isolasi itu, ketiga aktivis meminta ditempatkan di ruang perawatan terpisah dari pasien Covid-19 lainnya dan bersedia membayar biaya perawatan secara mandiri serta menolak biaya perawatan yang berasal dari Pemerintah.

Bersamaan dengan itu mereka juga meminta hasil swab test yang dijanjikan akan diberikan sesampainya di RSUD. I.A.Moeis. Namun pihak rumah sakit menyatakan tidak mengetahui mengenai hasil swab test tersebut.
Apa boleh buat, pihak BPBD serta satpol PP yang melakukan penjemputan berlalu begitu saja sehingga membiarkan tiga orang tersebut terbengkalai luntang-lantung di halaman parkir rumah sakit.

Walhi Kaltim menilai upaya-upaya ini mendekati suatu tindakan yang dapat dikategorikan sebagai operasi hitam aparatur keamanan dan intelijen dengan cara menunggangi dan memanfaatkan pemeriksaan kesehatan melalui swab test covid-19 untuk merampas data-data pribadi maupun kelompok secara melanggar hukum terhadap para aktivis pejuang ham dan lingkungan hidup. “Apakah memang ada kerjasama kementerian Kesehatan/Satgas Covid-19 dengan Intelejen/reskrim/polisi untuk melakukan pelecehan terhadap hak-hak warga negara dan rakyat sipil seperti yang terjadi saat ini, pada rabu 29-30 Juli 2020 ?” tulis Walhi Kaltim dalam keterangan persnya.

Walhi Klatim pun menyimpulkan penjemputan paksa ini sebagai cara kotor persekongkolan antara pemerintah dan aparat keamanan mulai dari intelejen/reskrim/polisi yang dengan berbagai cara menggunakan manipulasi penyamaran melalui satgas covid-19 guna melemahkan, membuyarkan konsentrasi konsolidasi gerakan sipil dan mahasiswa sekaligus untuk membungkam gerakan pro demokrasi yang sedang menguat saat ini untuk menghadang omnibus law cipta kerja.

Jika RUU disahkan, mereka berpendapat, hanya akan menyesengsarakan rakyat dan melipatgandakan kerusakan lingkungan hidup, membungkam penolakan terhadap uu pertambangan minerba hingga gangguan atas penegakan demokrasi indonesia yang saat ini dijerat oleh oligarki politik.

Karantina paksa terhadap ketiga aktivis tentu bertentangan dengan aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat. Jubir penanganan covid-19 Achmad Yurianto saat jumpa pers di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (18/7/2020) silam mengatakan orang sifatnya berstatus positif tanpa gejala pun tidak perlu dirawat di rumah sakit.

"Konfirmasi positif tanpa gejala kita tidak akan dirawat di rumah sakit karena memang tidak ada gejala dan tidak ada indikasi untuk dirawat di rumah sakit. Beberapa daerah sudah membuat isolasi secara kelompok dengan pengawasan yang ketat karena dikhawatirkan ini menjadi sumber penularan di tengah-tengah masyarakat. Namun di beberapa daerah ada yang masih memberi kebebasan untuk melaksanakan isolasi secara mandiri," katanya.

Terkait aktivitas advokasi?
Komnas HAM berjanji segera menindaklanjuti kasus ini. Kepada SINDOnews, Komisioner bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam, menyatakan ada beberapa persoalan serius dalam kasus ini. Pertama, ada indikasi kuat terdapat pelanggaran protokol kesehatan. Kedua, terdapat indikasi pemaksaan proses walau hasil tes swab, baik yang positif dan negatif tidak diperoleh Walhi dan Pokja 30. Dan ketiga, proses tersebut diindikasikan kuat tanpa tujuan untuk kesehatan.

Sebab itu, Komnas menduga proses yang dilakukan, antara lain, pemilihan random sampling, penjemputan dan hasil swab positif atau negatif yang belum ada, bahkan setelah sampai di rumah sakit, adalah model penjemputan paksa.

Mengacu pada latar belakang Walhi dan pokja 30 sebagai NGO yang selama ini bekerja kritis dan konstruktif dalam Gerakan HAM, khususnya di wilayah Kaltim,”Komnas HAM curiga penjemputan itu terkait aktivitas advokasi yang mereka lakukan,” kata Choirul.

Lebih lanjut ia menyampaikan pihaknya akkan mendalami, memantau dan melakukan penyelidikan. Dan jika ditemukan bukti-bukti adabya penyalahgunaan kewenangan dengan menggunakan instrumen penanganan Covid-19,”Kami akan teruskan kepada mekanisme penegakan hukum dan Gugus Tugas Covid-19 Nasional untuk mengambil tindakan tegas.”
(rza)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5986 seconds (0.1#10.140)