RUU Cipta Kerja dan Tindakan Semena-Mena Terhadap Tiga Aktivis Kaltim
loading...
A
A
A
"Kami tidak merasa apapun, tidak ada gejala apapun. Terus kondisi sosial ini yang kami bingungkan. Tidak ada tamu yang datang ke Walhi karena posisi lockdown. Kami taati protokol kesehatan," ucap Bernard.
Sudah begitu, swab test hasilnya tidak jelas. Oknum petugas yang mengaku dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda hanya menyampaikan secara lisan tanpa dibuktikan seara tertulis. Lazimnya dalam dokumen hasil tes berisi antara lain informasi apakah positif atau negatif, menyebutkan asal laboratorium dan nama serta tanda tangan pihak yang bertanggung terhadap hasil laboratorium tersebut.
Oknum Petugas Kesehatan Kota Samarinda dalam menjalankan aksinya ketika mengambil sampel pada tanggal 29 Juli 2020 secara nyata mengabaikan sejumlah protokol Kesehatan yang telah diatur dalam sejumlah peraturan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan berikut aturan turunannya.
Begitu pula pada saat melakukan penyemprotan desinfektan dan puncaknya ketika melakukan penjemputan secara paksa tidak dilengkapi dengan APD lengkap berdasarkan standar protokol penanganan suspek covid-19.
Tak hanya itu. Seluruh petugas yang beroperasi pada tanggal 29-31 Juli 2020 menolak menunjukkan identitas pribadi, jabatan, serta instansi asal mereka. Mereka juga tidak bersedia didokumentasikan dengan alasan tidak mengenakan APD lengkap.
Sebenarnya sebelum memasuki ruang isolasi di RSUD I.A. Moeis Samarinda pasca penjemputan secara paksa ke ruang isolasi itu, ketiga aktivis meminta ditempatkan di ruang perawatan terpisah dari pasien Covid-19 lainnya dan bersedia membayar biaya perawatan secara mandiri serta menolak biaya perawatan yang berasal dari Pemerintah.
Bersamaan dengan itu mereka juga meminta hasil swab test yang dijanjikan akan diberikan sesampainya di RSUD. I.A.Moeis. Namun pihak rumah sakit menyatakan tidak mengetahui mengenai hasil swab test tersebut.
Apa boleh buat, pihak BPBD serta satpol PP yang melakukan penjemputan berlalu begitu saja sehingga membiarkan tiga orang tersebut terbengkalai luntang-lantung di halaman parkir rumah sakit.
Walhi Kaltim menilai upaya-upaya ini mendekati suatu tindakan yang dapat dikategorikan sebagai operasi hitam aparatur keamanan dan intelijen dengan cara menunggangi dan memanfaatkan pemeriksaan kesehatan melalui swab test covid-19 untuk merampas data-data pribadi maupun kelompok secara melanggar hukum terhadap para aktivis pejuang ham dan lingkungan hidup. “Apakah memang ada kerjasama kementerian Kesehatan/Satgas Covid-19 dengan Intelejen/reskrim/polisi untuk melakukan pelecehan terhadap hak-hak warga negara dan rakyat sipil seperti yang terjadi saat ini, pada rabu 29-30 Juli 2020 ?” tulis Walhi Kaltim dalam keterangan persnya.
Walhi Klatim pun menyimpulkan penjemputan paksa ini sebagai cara kotor persekongkolan antara pemerintah dan aparat keamanan mulai dari intelejen/reskrim/polisi yang dengan berbagai cara menggunakan manipulasi penyamaran melalui satgas covid-19 guna melemahkan, membuyarkan konsentrasi konsolidasi gerakan sipil dan mahasiswa sekaligus untuk membungkam gerakan pro demokrasi yang sedang menguat saat ini untuk menghadang omnibus law cipta kerja.
Jika RUU disahkan, mereka berpendapat, hanya akan menyesengsarakan rakyat dan melipatgandakan kerusakan lingkungan hidup, membungkam penolakan terhadap uu pertambangan minerba hingga gangguan atas penegakan demokrasi indonesia yang saat ini dijerat oleh oligarki politik.
Sudah begitu, swab test hasilnya tidak jelas. Oknum petugas yang mengaku dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda hanya menyampaikan secara lisan tanpa dibuktikan seara tertulis. Lazimnya dalam dokumen hasil tes berisi antara lain informasi apakah positif atau negatif, menyebutkan asal laboratorium dan nama serta tanda tangan pihak yang bertanggung terhadap hasil laboratorium tersebut.
Oknum Petugas Kesehatan Kota Samarinda dalam menjalankan aksinya ketika mengambil sampel pada tanggal 29 Juli 2020 secara nyata mengabaikan sejumlah protokol Kesehatan yang telah diatur dalam sejumlah peraturan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan berikut aturan turunannya.
Begitu pula pada saat melakukan penyemprotan desinfektan dan puncaknya ketika melakukan penjemputan secara paksa tidak dilengkapi dengan APD lengkap berdasarkan standar protokol penanganan suspek covid-19.
Tak hanya itu. Seluruh petugas yang beroperasi pada tanggal 29-31 Juli 2020 menolak menunjukkan identitas pribadi, jabatan, serta instansi asal mereka. Mereka juga tidak bersedia didokumentasikan dengan alasan tidak mengenakan APD lengkap.
Sebenarnya sebelum memasuki ruang isolasi di RSUD I.A. Moeis Samarinda pasca penjemputan secara paksa ke ruang isolasi itu, ketiga aktivis meminta ditempatkan di ruang perawatan terpisah dari pasien Covid-19 lainnya dan bersedia membayar biaya perawatan secara mandiri serta menolak biaya perawatan yang berasal dari Pemerintah.
Bersamaan dengan itu mereka juga meminta hasil swab test yang dijanjikan akan diberikan sesampainya di RSUD. I.A.Moeis. Namun pihak rumah sakit menyatakan tidak mengetahui mengenai hasil swab test tersebut.
Apa boleh buat, pihak BPBD serta satpol PP yang melakukan penjemputan berlalu begitu saja sehingga membiarkan tiga orang tersebut terbengkalai luntang-lantung di halaman parkir rumah sakit.
Walhi Kaltim menilai upaya-upaya ini mendekati suatu tindakan yang dapat dikategorikan sebagai operasi hitam aparatur keamanan dan intelijen dengan cara menunggangi dan memanfaatkan pemeriksaan kesehatan melalui swab test covid-19 untuk merampas data-data pribadi maupun kelompok secara melanggar hukum terhadap para aktivis pejuang ham dan lingkungan hidup. “Apakah memang ada kerjasama kementerian Kesehatan/Satgas Covid-19 dengan Intelejen/reskrim/polisi untuk melakukan pelecehan terhadap hak-hak warga negara dan rakyat sipil seperti yang terjadi saat ini, pada rabu 29-30 Juli 2020 ?” tulis Walhi Kaltim dalam keterangan persnya.
Walhi Klatim pun menyimpulkan penjemputan paksa ini sebagai cara kotor persekongkolan antara pemerintah dan aparat keamanan mulai dari intelejen/reskrim/polisi yang dengan berbagai cara menggunakan manipulasi penyamaran melalui satgas covid-19 guna melemahkan, membuyarkan konsentrasi konsolidasi gerakan sipil dan mahasiswa sekaligus untuk membungkam gerakan pro demokrasi yang sedang menguat saat ini untuk menghadang omnibus law cipta kerja.
Jika RUU disahkan, mereka berpendapat, hanya akan menyesengsarakan rakyat dan melipatgandakan kerusakan lingkungan hidup, membungkam penolakan terhadap uu pertambangan minerba hingga gangguan atas penegakan demokrasi indonesia yang saat ini dijerat oleh oligarki politik.