Batas Waktu Anak Perkawinan Campur Menjadi WNI Tinggal Setahun Lagi
loading...
A
A
A
Ia berharap talkshow ini dapat menjadi media sosialisasi penerapan PP Nomor 21 Tahun 2022, sehingga anak-anak hasil perkawinan campur yang belum mendaftar atau sudah mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan Indonesia segera mengajukan permohonan untuk menjadi WNI kepada Presiden melalui Menkumham.
Permohonan diajukan melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM sesuai dengan tempat tinggal pemohon. "Mohon diingat bahwa kesempatan ini hanya sampai 31 Mei 2024, satu tahun lagi," kata Baroto.
Sementara itu, Bilal Dewansyah menilai PP Nomor 21 Tahun 2022 bukan skema ideal untuk melindungi status kewarganegaraan keluarga perkawinan campuran. Negara tetangga, Thailand dan Filipina, bahkan membolehkan dwi kewarganegaraan secara permanen, bukan hanya bagi anak, tetapi juga orang tuanya.
"Namun untuk saat ini, PP 21/2022 setidaknya telah memberikan alternatif perlindungan bagi anak dari perkawinan campuran untuk mendapatkan haknya kembali menjadi WNI berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan 2006," ujarnya.
Patricia Rinwigati menyampaikan apresiasinya terhadap terobosan ini sebagai salah satu langkah yang berani dari AHU. Namun dia khawatir dengan terbatasnya waktu yang diberikan. Sebab, kelengkapan persyaratan untuk mengajukan kewarganegaraan sangat beragam serta belum mengakomodasi anak di luar negeri yang ingin kembali menjadi WNI.
Dosen FHUI ini mengatakan, setelah hampir 20 tahun, sudah waktunya untuk merevisi UU Nomor 12 Tahun 2006, setidaknya untuk mengakomodir dampak dari globalisasi. Dalam konteks tersebut, dia mengimbau agar dapat dipertimbangkan lagi kewarganegaraan ganda untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat yang semakin mobile.
Pendapat menarik disampaikan Richard Kyle yang memiliki ibu WNI dan ayah WNA Australia. Sebagai anak dari keluarga perkawinan campuran, Richard merasakan keterbatasan peraturan, apalagi karena sekarang lebih banyak berada di Indonesia.
Richard menyadari dia tidak termasuk menjadi subjek PP 21/2022 karena usianya yang sudah melewati batas. Namun dia berharap pemerintah dapat memikirkan solusi terbaik dan terjangkau, terlebih dia yang lahir dari ibu WNI, agar tidak disamakan dengan WNA murni.
Richard yang menyelesaikan pendidikan dari RMIT University ini mengimbau kepada anak-anak berkewarganegaraan ganda lainnya untuk bisa memanfaatkan waktu setahun jika mereka ingin menjadi WNI.
Nia Schumacher mengapresiasi PP 21/2022 sebagai bagian dari upaya perlindungan pemerintah terhadap anak-anak dari keluarga perkawinan campuran. Namun ia melihat, sisa waktu yang tinggal setahun, mungkin tidak cukup, mengingat pemahaman terhadap PP ini belum begitu menyeluruh.
Permohonan diajukan melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM sesuai dengan tempat tinggal pemohon. "Mohon diingat bahwa kesempatan ini hanya sampai 31 Mei 2024, satu tahun lagi," kata Baroto.
Sementara itu, Bilal Dewansyah menilai PP Nomor 21 Tahun 2022 bukan skema ideal untuk melindungi status kewarganegaraan keluarga perkawinan campuran. Negara tetangga, Thailand dan Filipina, bahkan membolehkan dwi kewarganegaraan secara permanen, bukan hanya bagi anak, tetapi juga orang tuanya.
"Namun untuk saat ini, PP 21/2022 setidaknya telah memberikan alternatif perlindungan bagi anak dari perkawinan campuran untuk mendapatkan haknya kembali menjadi WNI berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan 2006," ujarnya.
Patricia Rinwigati menyampaikan apresiasinya terhadap terobosan ini sebagai salah satu langkah yang berani dari AHU. Namun dia khawatir dengan terbatasnya waktu yang diberikan. Sebab, kelengkapan persyaratan untuk mengajukan kewarganegaraan sangat beragam serta belum mengakomodasi anak di luar negeri yang ingin kembali menjadi WNI.
Dosen FHUI ini mengatakan, setelah hampir 20 tahun, sudah waktunya untuk merevisi UU Nomor 12 Tahun 2006, setidaknya untuk mengakomodir dampak dari globalisasi. Dalam konteks tersebut, dia mengimbau agar dapat dipertimbangkan lagi kewarganegaraan ganda untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat yang semakin mobile.
Pendapat menarik disampaikan Richard Kyle yang memiliki ibu WNI dan ayah WNA Australia. Sebagai anak dari keluarga perkawinan campuran, Richard merasakan keterbatasan peraturan, apalagi karena sekarang lebih banyak berada di Indonesia.
Richard menyadari dia tidak termasuk menjadi subjek PP 21/2022 karena usianya yang sudah melewati batas. Namun dia berharap pemerintah dapat memikirkan solusi terbaik dan terjangkau, terlebih dia yang lahir dari ibu WNI, agar tidak disamakan dengan WNA murni.
Richard yang menyelesaikan pendidikan dari RMIT University ini mengimbau kepada anak-anak berkewarganegaraan ganda lainnya untuk bisa memanfaatkan waktu setahun jika mereka ingin menjadi WNI.
Nia Schumacher mengapresiasi PP 21/2022 sebagai bagian dari upaya perlindungan pemerintah terhadap anak-anak dari keluarga perkawinan campuran. Namun ia melihat, sisa waktu yang tinggal setahun, mungkin tidak cukup, mengingat pemahaman terhadap PP ini belum begitu menyeluruh.