Politisasi Barat tentang Isu HAM di Xinjiang dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia

Rabu, 12 Oktober 2022 - 15:33 WIB
Pada tahun 2019, indeks potensi radikalisme di Indonesia berada pada angka 38,4%. Kemudian pada tahun 2021 turun di angka 12.2%. Dengan parameter-parameter tertentu, aparat keamanan, kepolisian maupun intelijen, dapat menggunakan data tersebut sebagai latar belakang kontra-terorisme dan kontra-radikalisme yang ada di Indonesia.

Salah satu gejala yang sangat jelas dari kelompok-kelompok radikal itu tadi adalah karena menolak Pancasila sebagai ideologi negara, dan cenderung menginginkan agama sebagai asas tunggal kenegaraan. Kelompok-kelompok radikal itu juga cenderung menghasut dan memfitnah kelompok-kelompok lain yang dianggap tidak sejalan dengan mereka.

Di Indonesia, penanggulangan terorisme diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori. Kategori pencegahan, kategori penindakan, dan kategori pembimbingan. Kategori pencegahan ini secara kontinu dilakukan dan dikampanyekan umumnya untuk kalangan generasi muda dan ekosistem yang kondusif seperti sekolah, kampus, atau komunitas-komunitas kebudayaan.

Untuk orang-orang yang masih teridentifikasi moderat, masih dapat didekati sehingga nilai-nilai radikalisme itu tidak sampai berubah menjadi aksi/gerakan. Namun, untuk orang-orang yang ternyata sudah terpapar dan melancarkan aksi-aksi, akan kemudian dikategorikan dalam penindakan hukum.

Dalam penindakan hukum penanggulangan terorisme itu, eksekutornya umumnya adalah Detasemen Khusus 88 yang berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Terorisme Nasional (BNPT). Sering kali penindakan Densus 88 ini juga berujung pada perlawanan, sehingga korban jiwa dari pihak teroris tidak dapat dihindari. Untuk para tersangka terorisme yang tidak melawan kemudian akan dituntut sesuai dengan aksi dan konsekuensi hukum yang berlaku. Penjara atau lembaga pemasyarakatan kasus terorisme ini juga memiliki spesifikasi khusus yang tidak dicampur oleh para terpidana kasus non terorisme.

Setelah para terpidana tadi selesai menjalani masa tahanan mereka, maka proses pembinaan dilakukan agar menjamin ideologi radikal yang tadinya ada di benak para terpidana bisa hilang atau terkikis secara signifikan. Masyarakat secara umum juga tidak menghendaki adanya eks terpidana terorisme yang tinggal di lingkungan mereka. Namun, karena aparat kepolisian bersama-sama dengan segenap elemen masyarakat madani lainnya, berupaya agar terjadinya kesepahaman bahwasanya para eks terpidana tadi dapat diterima kembali ke lingkungan masyarakat.

Aparat keamanan dan intelijen Indonesia juga memahami bahwa aksi-aksi teror yang ada di Indonesia maupun di seluruh dunia bukanlah merupakan motif keagamaan, tetapi motif politik dan kekuasaan. Buktinya, banyak juga aksi terorisme seperti penembakan yang terjadi di New Zealand pada Maret 2019 pelakunya merupakan warga negara Australia dan kebetulan beragama Kristen.

Atau misalnya gerakan-gerakan seperatis Macan Tamil, kasus kekerasan ekstremis Hindu di India, serta perlakuan ekstremis Buddha di Myanmar, menunjukkan bahwa kesalahan bukan pada nilai agamanya. Namun, lebih kepada distorsi dan politisasi dari keluhuran nilai-nilai agama yang suci untuk dijadikan alasan berlaku teror.

Indonesia juga melihat bahwa paham seperti Liberalisme, Sekularisme, Kapitalisme, Khilafah-isme, Wahabisme, dan lain sebagainya merupakan ancaman yang nyata di kemudian hari. Ideologi-ideologi yang menyimpang dari Pancasila merupakan potensi bahaya yang suatu waktu akan mencemarkan pemikiran masyarakat Indonesia untuk saling beradu dan berpecah belah.

Masyarakat Indonesia sendiri melihat polemik isu di Xinjiang sebetulnya juga menyadari bahwa lebih banyak kasus riil pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS dan sekutunya di negara-negara muslim. Sehingga, melihat isu Xinjiang, masyarakat Indonesia cenderung bergantung pada ekspos pemberitaan yang ada semata.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More