Yurisdiksi ICC terhadap Pelanggaran HAM

Sabtu, 04 Mei 2024 - 13:27 WIB
loading...
Yurisdiksi ICC terhadap Pelanggaran HAM
Guru Besar Hukum (Em) Pidana Internasional Unpad, Romli Atmasamita. FOTO/IST
A A A
Romli Atmasamita
Guru Besar Hukum (Em) Pidana Internasional Unpad

MENANGGAPItulisan Syarifudin ( Sindonews.com ,3 Mei 2024) tentang Yurisdiksi ICC (Mahkamah Pidana Internasional) perlu diklarifikasi karena tidak seluruhnya mengandung kebenaran secara materiil. Statuta ICC disetujui Sidang Majelis Umum PBB pada 17 Juli 1998 di Roma, dan sampai kini keanggotan Statuta ICC hanya 120 negara tanpa satu pun dari negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia yang meratifikasi Statuta ICC tersebut.

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah ada niat pemerintah untuk meratifikasi Statuta ICC akan tetapi tidak dilakukan dengan pertimbangan, pertama, yurisdiksi ICC sangat luas tidak dibatasi oleh wilayah negara dan berlaku terhadap siapa pun, pelakunya terlepas dari kewarganegaraannya, sehingga yurisdiksi ICC bersifat (universal jurisdiction) dengan dua pendekatan yaitu opting-in approach (consent yurisdiction), dan opting-out approach (inhaerent yurisdiction).

Statuta ICC memiliki ketentuan yang bersifat represif dan tidak mengakui masa daluwarsa penuntutan (Pasal 29), sehingga setiap saat dan kapan pun ICC dapat memeriksa dan mengadili kasus pelanggaran oleh warga negara terlepas dari asal kewarganegaraanya. Selain hal tersebut, bagi yurisdiksi ICC tidak berlaku ketentuan mengenai daluwarsa penuntutan (non-apllication of satute of limitation) - Pasal 29; sehingga dapat diperdebatkan apakah ketentuan universal mengenai prinsip Non-retroactivity (Pasal 24) masih dapat berlaku efekftif dalam praktik ICC.



Pertimbangan kedua, Statuta ICC secara khusus ditujukan terhadap seorang Komandan Militer atau seorang Atasan/Pejabat Negara yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM di negara mana pun, dan inisiatif penuntutan berasal bukan saja dari negara korban (State’s victim), akan tetapi juga dapat berasal dari inistiatif Jaksa ICC seperti contoh kasus Presiden Afrika Selatan atau Rusia.

Pertimbangan ketiga, memahami kekuatan hukum ICC di dalam forum internasional sejalan dengan perkembangan pelindungan HAM sejak tahun 1966 dan Indonesia telah meratifikasi dengan UU Nomor 12 Tahun 2005, maka tidak mudah bagi Indonesia untuk segera dan tidak berhati-hati meratifikasi Statuta ICC dengan memperhatikan sikap negara-negara pemegang Hak Veto di PBB seperti AS, China, dan Rusia tidak (akan) pernah meratifikasinya sampai saat ini. Ratifikasi Statuta ICC oleh Indonesia sangat rentan, jika terdapat dugaan pelanggaran HAM (genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi), maka Indonesia memiliki posisi sangat lemah, baik secara hukum maupun secara politis.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pemerintah telah memberlakukan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketika pemerintahan Orde Reformasi, BJ Habibie, Komisi HAM PBB pernah akan melakukan klarifikasi dan verifikasi informasi telah terjadi pelanggaran HAM di Timor Timur ketika Indonesia menguasai wilayah tersebut. Akan tetapi dengan adanya kesungguhan dan niat baik pemerintah Indonesia memeriksa dan mengadili pelaku-pelakunya dengan memberlakukan kedua UU tersebut, maka rencana Mary Robinsin, Ketua Komisi HAM PBB untuk tujuan tersebut tidak dilanjutkan.

Pertimbangan keempat, sekali pun pemerintah Indonesia berniat meratifikasi Statuta Roma, menjadi pertanyaan penting dan strategis, seberapa jauhkah kekuatan diplomasi Indonesia di forum PBB untuk mencegah atau mengatasi pemeriksaan oleh ICC terhadap beberapa pelaku pelanggaran di TimTim, dan seberapa mampukah Indonesia melakukan lobi-lobi diplomatik kepada pemegang Hak Veto?

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab dari niatan pemerintah tersebut apakah tidak perlu dipertimbangkan secara serius, bahwa dengan ratifikasi Statuta ICC kelak, jika Pemerintah dan DPR mengakui keberadaan Mahkamah ICC, apakah tidak bertentangan dengan UUD 45 yang hanya mengakui Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah ditetapkan dalam UUD45.

Pertimbangan kelima, adalah jika pun ratifikasi diilakukan pemerintah Indonesia dan Mahkamah ICC di Den Haag berhasil memeriksa dan mengadili pelaku pelanggaran HAM beberapa orang warga negara Indonesia, maka dapat dipastikan akan menjadi catatan kelam sejarah pelanggaran HAM bagi NKRI.

Pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah dengan terbentuknya Pengadilan HAM di Indonesia menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia serius dan sungguh-sungguh melaksanakan ketentuan internasional tentang Pelindungan HAM di negeri sendiri oleh majelis hakim bangsa Indonesia. Kini telah saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk mulai melanjutkan penyelidikan atas berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM sejak masa pemerintahan Sukarno, Suharto sampai pemerintahan Joko Widodo, sehingga bangsa ini terbebas dari prasangka buruk, baik di dalam maupun di luar negeri, terutama di forum PBB terhadap kesungguhan dan komitmen NKRI untuk secara optimal bukan saja menegakkan Keadilan Retributif akan tetapi juga Keadilan Restoratif, khususnya pelaksanaan ketentuan mengenai reparation of victims, termasuk pemberian kompensasi dan rehabilitasi kepada korban atau keluarganya, khususnya dalam peristiwa tragedi Trisakti, Semanggi pada 1998.

Upaya yang sama telah mulai dilaksanakan oleh pemerintahan Joko Widodo, akan tetapi tidak terdengar lagi kelanjutannya. Undang-undang sebagai produk hukum sekaligus produk hukum merupakan dikatakan baik dan bermanfaat serta berkeadilan Jika memenuhi aspirasi dan kesadaran hukum masyarakat luas.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1098 seconds (0.1#10.140)