Mengembalikan Moralitas Universal Lembaga Pendidikan

Selasa, 04 Oktober 2022 - 14:53 WIB
Pengalaman paling mengesankan saat belajar di pesantren adalah hukuman ta'zir bagi mereka yang melanggar aturan pondok, seperti membersihkan toilet karena keluar pondok tanpa izin atau nonton layar tancap di luar, dll.

Ta'zir paling tinggi yang didapatkan adalah cukur gundul (botak) karena beberapa kali melanggar aturan. Artinya, penerapan hukuman tersebut tidak ada kekerasan (violence) yang membuat trauma, tetapi lebih bersifat hukuman sosial yang diharapkan dapat membuat jera santri/anak didik agar tidak mengulanginya.

Rasulullah adalah teladan sangat penting yang mengajarkan umatnya bagaimana mendidik anak dengan "hati". Beliau mengarahkan para orang tua agar anak-anak terbiasa menjalankan ibadah salat. Saat anak berusia di bawah 7 tahun, mereka cukup diajarkan untuk memahami tata cara sholat, dan tidak perlu memberikan hukuman jika tidak sholat.

Sedangkan bagi anak yang sudah berusia 10 tahu ke atas dan meninggalkan salat, maka perlu diberikan "pukulan" kecil di kaki sebagai bagian dari proses pendidikan. Hukuman ini sangat terukur untuk memberikan penyadaran tanpa trauma psikologis.

Dalam konteks ini, anak perlu mendapatkan perhatian penuh, ditumpahkan kasih sayang, dengan memenuhi kebutuhan dasarnya. Pendekatan ini agar saat dewasa kelak, anak memiliki keasadaran bahwa mereka merasa dihargai, disayang, dipedulikan, sehingga akan muncul sikap empatik, toleran, memiliki sikap positif bagi diri dan orang lain saat nanti anak menjadi dewasa.

Kedua, anak dengan usia di atas 7 hingga 14 tahun agar diperlakukan seperti "tawanan". Yang dimaksud "tawanan" di sini digambarkan perlunya pengawasan yang ketat karena memasuki usia remaja. Watak psikologis yang bergejolak karena pertumbuhan hormon yang sangat aktif, anak remaja diperlukan pendampingan yang intens dari orang tua, sekolah, dan lingkungan.

Remaja tidak suka "digurui", ditekan dengan berbagai aturan, tetapi mereka akan respek terhadap perilaku yang mau menghargai eksistensi mereka. Orang-orang di sekitar remaja harus memahami tugas perkembangan mereka yang memang membutuhkan kepedulian (caring) dan respek.

Sebaliknya, kenakalan remaja muncul lebih karena longgarnya pengawasan dari keluarga, kurang pedulinya dari lingkungan dan lembaga pendidikan, atau masyarakat, sehingga mereka sering mengekspresikan jiwanya untuk hal-hal yang kurang produktif, seperti nongkrong, klubing, dan bergerombol yang rentan terhadap perilaku negatif, sepeti pergaulan bebas, terjebak narkoba, dan tawuran. Di sinilah urgensi remaja harus selalu dianggap "ada", dan jangan mudah dihukumi negatif.

Ketiga, usia anak di atas 14 tahun agar diperlakukan sebagai "sahabat". Pada usia perkembangan ini anak sudah mulai beranjak dewasa muda yang sangat memerlukan "peer group". Mereka butuh teman ngobrol untuk didengar dan diperhatikan. Usia remaja akhir dan dewasa awal sangat nyaman bersama dengan orang-orang yang mengapresiasi dan mendukung terhadap perkembangan jiwanya.

Memperlakukan anak didik pada usia 14 tahun ke atas sebagaimana layaknya sahabat akan menguatkan imunitas jiwa yang bersahabat. Keluh kesah yang didengar, curhat yang dipedulikan, harapan yang diapresiasi membuat optimisme untuk terus tumbuh dan berkembang secara baik. Hadirnya "sahabat-sahabat" yang baik akan membuat mereka semakin yakin menatap masa depan.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More