Mengembalikan Moralitas Universal Lembaga Pendidikan

Selasa, 04 Oktober 2022 - 14:53 WIB
loading...
Mengembalikan Moralitas Universal Lembaga Pendidikan
Thobib Al-Asyhar
A A A
Thobib Al-Asyhar
Dosen Pascasarjana SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Kelembagaan dan Kerja Sama DIKTIS Kementerian Agama

MARAKNYA kasus kekerasan (violence) di lembaga pendidikan akhir-akhir ini sungguh sangat memprihatinkan. Hal ini mengingatkan kasus serupa beberapa tahun lalu yang terjadi di sekolah-sekolah kedinasan yang menerapkan pola pembinaan semi militer. Demikian juga kasus bullying di sekolah dan perguruan tinggi saat pengenalan sekolah atau kampus bagi siswa atau mahasiswa baru hingga memakan korban jiwa.

Baca Juga: koran-sindo.com

Secara psikologis, masih adanya fenomena kekerasan di lembaga pendidikan dengan dalih pembinaan mental dan ketangguhan menandakan belum adanya pemahaman yang utuh terhadap misi universal pendidikan. Demikian juga masih kuatnya pemahaman bahwa anak didik ditempatkan sebagai objek pendidikan, sehingga mereka sering dalam posisi sangat lemah.

Pendidikan sejatinya sebagai sebuah proses yang bertujuan untuk membentuk pengetahuan, sikap, dan perilaku positif dan keunggulan dengan perlakuan dan capaian tertentu. Dalam konteks ini, anak didik sepatutnya ditempatkan sebagai subjek, sehingga proses pendidikan menjadi semakin dinamis.

Anak didik tidak selalu dipandang seperti gelas kosong yang harus diisi, tetapi mereka memiliki potensi-potensi jiwa yang perlu ditambah insight dan didorong agar memaksimalkan fitrah belajarnya.

Oleh karena itu, sebagai sebuah proses, pendidikan sama sekali tidak boleh menyisakan trauma psikologis dan ketakutan bagi anak didik, apalagi hilangnya nyawa. Klaim pembentukan ketangguhan mental tidak perlu dilakukan dengan cara-cara kasar, intimidatif, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya oleh siapapun, baik dosen, guru, ustadz, atau sesama anak didik.

Dalam konsepsi Islam, proses pembentukan karakter anak di antaranya dilakukan dengan pendekatan ta'zir (hukuman terukur untuk mendidik) yang mampu memberi pemahaman, sikap, dan perilaku positif tanpa menyisakan trauma. Saat trauma didapati pada waktu anak didik menjalani proses pembentukan, yang terjadi justru kontra-produktif dari capaian pendidikan.

Pengalaman paling mengesankan saat belajar di pesantren adalah hukuman ta'zir bagi mereka yang melanggar aturan pondok, seperti membersihkan toilet karena keluar pondok tanpa izin atau nonton layar tancap di luar, dll.

Ta'zir paling tinggi yang didapatkan adalah cukur gundul (botak) karena beberapa kali melanggar aturan. Artinya, penerapan hukuman tersebut tidak ada kekerasan (violence) yang membuat trauma, tetapi lebih bersifat hukuman sosial yang diharapkan dapat membuat jera santri/anak didik agar tidak mengulanginya.

Rasulullah adalah teladan sangat penting yang mengajarkan umatnya bagaimana mendidik anak dengan "hati". Beliau mengarahkan para orang tua agar anak-anak terbiasa menjalankan ibadah salat. Saat anak berusia di bawah 7 tahun, mereka cukup diajarkan untuk memahami tata cara sholat, dan tidak perlu memberikan hukuman jika tidak sholat.

Sedangkan bagi anak yang sudah berusia 10 tahu ke atas dan meninggalkan salat, maka perlu diberikan "pukulan" kecil di kaki sebagai bagian dari proses pendidikan. Hukuman ini sangat terukur untuk memberikan penyadaran tanpa trauma psikologis.

Dalam konteks ini, anak perlu mendapatkan perhatian penuh, ditumpahkan kasih sayang, dengan memenuhi kebutuhan dasarnya. Pendekatan ini agar saat dewasa kelak, anak memiliki keasadaran bahwa mereka merasa dihargai, disayang, dipedulikan, sehingga akan muncul sikap empatik, toleran, memiliki sikap positif bagi diri dan orang lain saat nanti anak menjadi dewasa.

Kedua, anak dengan usia di atas 7 hingga 14 tahun agar diperlakukan seperti "tawanan". Yang dimaksud "tawanan" di sini digambarkan perlunya pengawasan yang ketat karena memasuki usia remaja. Watak psikologis yang bergejolak karena pertumbuhan hormon yang sangat aktif, anak remaja diperlukan pendampingan yang intens dari orang tua, sekolah, dan lingkungan.

Remaja tidak suka "digurui", ditekan dengan berbagai aturan, tetapi mereka akan respek terhadap perilaku yang mau menghargai eksistensi mereka. Orang-orang di sekitar remaja harus memahami tugas perkembangan mereka yang memang membutuhkan kepedulian (caring) dan respek.

Sebaliknya, kenakalan remaja muncul lebih karena longgarnya pengawasan dari keluarga, kurang pedulinya dari lingkungan dan lembaga pendidikan, atau masyarakat, sehingga mereka sering mengekspresikan jiwanya untuk hal-hal yang kurang produktif, seperti nongkrong, klubing, dan bergerombol yang rentan terhadap perilaku negatif, sepeti pergaulan bebas, terjebak narkoba, dan tawuran. Di sinilah urgensi remaja harus selalu dianggap "ada", dan jangan mudah dihukumi negatif.

Ketiga, usia anak di atas 14 tahun agar diperlakukan sebagai "sahabat". Pada usia perkembangan ini anak sudah mulai beranjak dewasa muda yang sangat memerlukan "peer group". Mereka butuh teman ngobrol untuk didengar dan diperhatikan. Usia remaja akhir dan dewasa awal sangat nyaman bersama dengan orang-orang yang mengapresiasi dan mendukung terhadap perkembangan jiwanya.

Memperlakukan anak didik pada usia 14 tahun ke atas sebagaimana layaknya sahabat akan menguatkan imunitas jiwa yang bersahabat. Keluh kesah yang didengar, curhat yang dipedulikan, harapan yang diapresiasi membuat optimisme untuk terus tumbuh dan berkembang secara baik. Hadirnya "sahabat-sahabat" yang baik akan membuat mereka semakin yakin menatap masa depan.

Perkembangan Moral Pendidik
Dalam proses pendidikan, memahami setiap usia perkembangan anak didik tentu sangat penting, khususnya pengelola lembaga pendidikan. Munculnya kekerasan dalam proses pendidikan yang belakangan marak lebih karena minimnya kapasitas sebagian dosen, guru, ustadz, kaka senior atau sebutan lain yang membina dalam memahami perkembangan psikologi anak didik.

Penting bagi mereka mengikuti pelatihan bagaimana mendidik dan membina anak didik agar tidak menimbulkan kekerasan. Seorang pendidik, apalagi yang melibatkan kakak senior, harus memiliki psikologi yang stabil.

Lawrence Kohlberg, seorang psikolog asal Amerika menawarkan teori perkembangan moral sebagai lanjutan teori perkembangan kognitif Jean Piaget yang cocok untuk memahami perkembangan moral pendidik. Menurut Kohlberg, terdapat 3 tahapan perkembangan moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya.

Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral merupakan landasan dari perilaku etis. Jika dirinci, ada enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Namun secara garis umum terdapat 3 tahapan, yaitu tahap pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.

Pertama, tahap pra konvensional, yakni seseorang menilai perihal yang baik dan buruk berdasarkan faktor-faktor di luar dirinya, seperti hubungan sebab-akibat, ganjaran dan hukuman, serta yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pada tahapan ini seseorang memahi sikap moral berdasarkan kepada ketakutan dan harapan dari unsur dirinya.

Satu contoh konkret adalah perkembangan moral seseorang dalam menyikapi lampu merah untuk pengaturan lalu lintas. Tahapan moral dengan menaati untuk berhenti lampu lalu lintas yang menyala merah didasarkan faktor karena takut pada penegak hukum (polisi) yang akan menilang bagi yang melanggar. Atas alasan itu, lalu kemudian orang mau menaati aturan lalu lintas. Ketaatan ini merupakan level moral paling rendah.

Kedua, tahap konvensional. Seseorang mulai menyesuaikan sikapnya dengan kasadaran tertib sosial yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Ia mulai keluar dari sikap egois yang mementingkan diri sendiri dan mulai melihat kebahagiaan dan kenyamanan orang lain sebagai sesuatu yang patut diperjuangkan. Di sini seseorang juga mulai menaruh orientasi tata tertib sosial atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Pada tahapan ini, seseorang menaati lampu lalu lintas karena adanya undang-undang yang mengatur demi kenyamanan bersama. Ada atau tidak ada polisi dia tetap taat terhadap aturan yang diorientasikan pada ketertiban dan keteraturan masyarakat antarsesama pengguna jalan.

Ketiga tahap pasca konvensional. Seseorang memandang hidup baik dimulai sebagai tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Di sini seseorang mulai menyadari bahwa hukum tidak dapat diterima secara mentah-mentah. Hukum bukanlah sesuatu yang harus ditaati secara mutlak melainkan sesuatu yang terlebih dahulu harus melalui proses penilaian-penilaian berdasarkan prinsip yang muncul didalam hati nurani.

Perkembangan moral ketiga ini merupakan tahapan paling tinggi, di mana seseorang menaati lampu lalu lintas bukan karena ada polisi atau adanya ancaman hukum yang diatur oleh undang-undang, tetapi karena kesadaran tertinggi atas dasar nilai-nilai universal yang muncul dari hati nurani. Dia menaati lampu lalu lintas karena adanya kesadaran pentingnya menghargai orang lain berdasarkan nilai-nilai luhur universal.

Dalam konteks proses pendidikan, pemahaman terhadap perkembangan moral bagi para pendidik, baik dosen, guru, ustadz, kakak senior, atau sebutan lain menjadi sangat penting. Mendidik anak bukan karena ingin membuat mereka takut agar disiplin atau bukan karena aturan rigit yang diterapkan sekolah, pesantren, atau kampus, tapi adanya kesadaran mutlak mereka bahwa pendidikan adalah tugas mulia kemanusiaan.

Pendidikan harus dipandang sebagai proses penggemblengan jiwa yang ramah terhadap jiwa anak agar tetap disiplin, santun, menghargai sesama, respek atas perbedaan, taat atas dasar nurani kemanusiaan, dan memiliki ilmu yang mendalam. Jadi anak didik harus diperlakukan sebagai subjek yang suci, memiliki fitrah belajar yang harus didorong untuk maju tanpa kekerasan yang membuat luka batin dan trauma, apalagi kehilangan nyawa. Inilah moralitas universal yang harus dipahami oleh lembaga pendidikan.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1824 seconds (0.1#10.140)