Masalah Perselisihan Prayudisial (Pre-Judicial Geschil)
Rabu, 07 September 2022 - 14:18 WIB
Namun, dari sisi pencari keadilan yang menghadapi masalah hukum tersebut di atas akan terasa sangat merugikan kepentingan hukum mereka karena terdapat dua kemungkinan akibat hukum, yaitu dalam pemeriksaan perkara perdata menang dan dalam pemeriksaan perkara pidana kalah, atau sebaliknya. Dalam hal inilah telah terjadi ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.
Berdasarkan peraturan dan surat edaran MA mengenai perselisihan prayudisial dapat disimpulkan, masalah dalam satu perkara terdapat dua aspek hukum, perdata dan pidana merupakan masalah biasa/lazim. Penguatan keberadaan dua aspek hukum dalam satu perkara ini pun telah diperkuat sejak lama di dalam Pasal 1.321, 1.328, dan Pasal 1.335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta Pasal 155 dan Pasal 138 ayat (3) huruf c UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas telah terbukti bahwa KUHPerdata tidak menganut prinsip pemisahan (separation) melainkan diakui prinsip pembedaan (differentiation) antara disiplin hukum perdata dan hukum pidana. Contoh, salah satu ketentuan, yaitu Pasal 155 UU Perseroan Terbatas menyatakan, ketentuan mengenai tanggung jawab direksi dan/atau dewan komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur di dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur di dalam undang-undang tentang hukum pidana. Bahkan, di dalam Pasal 138 ayat (3) huruf c ditentukan bahwa jaksa penuntut umum, demi kepentingan umum, dengan inisiatif sendiri dapat melakukan pemeriksaan terhadap perseroan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan prinsip ultimum remedium (modderman) yang menyatakan bahwa sanksi pidana harus digunakan sebagai sarana terakhir (ultimum remedium) dalam menyelesaikan masalah konflik hukum antara sarana sanksi hukum perdata dan sanksi hukum pidana.
Dalam hal ini perlu dirujuk pendapat J Remmelink (2003) yang menyatakan bahwa jika terdapat beberapa alternatif penyelesaian perkara maka hakim wajib bertumpu pada dua asas, yaitu asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas yang disebut fundamentalnormen des Rechtstaats. Asas pertama mensyaratkan adanya keseimbangan antara cara dan tujuan; sedangkan asas kedua, mensyaratkan bahwa jika muncul beberapa alternatif penyelesaian hakim wajib memilih alternatif yang paling sedikit menimbulkan risiko.
Merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan MA, dan doktrin hukum di atas, sekilas terdapat perbedaan mencolok disebabkan di satu sisi ada perintah undang-undang dan surat edaran MA bahwa kedua aspek hukum dapat diterapkan dan berjalan berbarengan, sedangkan terdapat doktrin hukum yang menegaskan bahwa sarana hukum pidana merupakan sarana terakhir setelah sarana hukum perdata diterapkan dan tidak efektif.
Dalam hal ini, praktik hukum tetap kedua sarana hukum tersebut harus diutamakan. Dampak hukum yang sangat dirasakan dari perbarengan dua aspek hukum ini adalah ketika terjadi proses pemeriksaan perkara perdata terhadap gugatan perdata dalam perkara korporasi di mana praktik hukum membuktikan bahwa korporasi menghadapi dua masalah hukum, perdata, dan pidana sekaligus.
Dalam banyak perkara seperti itu telah banyak korporasi terpaksa “gulung tikar” karena tidak mampu menghadapi dan mengatasi kedua masalah hukum tersebut, dan dalam kenyataan sangat merugikan perekonomian nasional di mana korporasi khusus di era globalisasi merupakan tulang punggung perekonomian (the backbone) nasional.
Pemerintah, khususnya aparatur penegak hukum, termasuk kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perlu menahan diri untuk tidak segera menempatkan korporasi sebagai tersangka/terdakwa sebelum mempertimbangkan selain aspek hukum juga aspek lain yang menyertainya, di antaranya pertimbangan dari sudut cost and benefit dengan merujuk pada tujuan ekonomis yaitu maksimisasi, keseimbangan, dan efisiensi.
Kinerja Penegakan Hukum
Berdasarkan peraturan dan surat edaran MA mengenai perselisihan prayudisial dapat disimpulkan, masalah dalam satu perkara terdapat dua aspek hukum, perdata dan pidana merupakan masalah biasa/lazim. Penguatan keberadaan dua aspek hukum dalam satu perkara ini pun telah diperkuat sejak lama di dalam Pasal 1.321, 1.328, dan Pasal 1.335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta Pasal 155 dan Pasal 138 ayat (3) huruf c UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas telah terbukti bahwa KUHPerdata tidak menganut prinsip pemisahan (separation) melainkan diakui prinsip pembedaan (differentiation) antara disiplin hukum perdata dan hukum pidana. Contoh, salah satu ketentuan, yaitu Pasal 155 UU Perseroan Terbatas menyatakan, ketentuan mengenai tanggung jawab direksi dan/atau dewan komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur di dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur di dalam undang-undang tentang hukum pidana. Bahkan, di dalam Pasal 138 ayat (3) huruf c ditentukan bahwa jaksa penuntut umum, demi kepentingan umum, dengan inisiatif sendiri dapat melakukan pemeriksaan terhadap perseroan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan prinsip ultimum remedium (modderman) yang menyatakan bahwa sanksi pidana harus digunakan sebagai sarana terakhir (ultimum remedium) dalam menyelesaikan masalah konflik hukum antara sarana sanksi hukum perdata dan sanksi hukum pidana.
Dalam hal ini perlu dirujuk pendapat J Remmelink (2003) yang menyatakan bahwa jika terdapat beberapa alternatif penyelesaian perkara maka hakim wajib bertumpu pada dua asas, yaitu asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas yang disebut fundamentalnormen des Rechtstaats. Asas pertama mensyaratkan adanya keseimbangan antara cara dan tujuan; sedangkan asas kedua, mensyaratkan bahwa jika muncul beberapa alternatif penyelesaian hakim wajib memilih alternatif yang paling sedikit menimbulkan risiko.
Merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan MA, dan doktrin hukum di atas, sekilas terdapat perbedaan mencolok disebabkan di satu sisi ada perintah undang-undang dan surat edaran MA bahwa kedua aspek hukum dapat diterapkan dan berjalan berbarengan, sedangkan terdapat doktrin hukum yang menegaskan bahwa sarana hukum pidana merupakan sarana terakhir setelah sarana hukum perdata diterapkan dan tidak efektif.
Dalam hal ini, praktik hukum tetap kedua sarana hukum tersebut harus diutamakan. Dampak hukum yang sangat dirasakan dari perbarengan dua aspek hukum ini adalah ketika terjadi proses pemeriksaan perkara perdata terhadap gugatan perdata dalam perkara korporasi di mana praktik hukum membuktikan bahwa korporasi menghadapi dua masalah hukum, perdata, dan pidana sekaligus.
Dalam banyak perkara seperti itu telah banyak korporasi terpaksa “gulung tikar” karena tidak mampu menghadapi dan mengatasi kedua masalah hukum tersebut, dan dalam kenyataan sangat merugikan perekonomian nasional di mana korporasi khusus di era globalisasi merupakan tulang punggung perekonomian (the backbone) nasional.
Pemerintah, khususnya aparatur penegak hukum, termasuk kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perlu menahan diri untuk tidak segera menempatkan korporasi sebagai tersangka/terdakwa sebelum mempertimbangkan selain aspek hukum juga aspek lain yang menyertainya, di antaranya pertimbangan dari sudut cost and benefit dengan merujuk pada tujuan ekonomis yaitu maksimisasi, keseimbangan, dan efisiensi.
Kinerja Penegakan Hukum
tulis komentar anda