Kompleksitas Harmonisasi dan Sinkronisasi Regulasi di Daerah
Jum'at, 24 Desember 2021 - 13:23 WIB
Hal ini dikarenakan penitikberatan pada proses pembuatan peraturan yang jumlahnya sangat banyak setiap tahunnya. Sementara proses analisis atau evaluasi terhadap dampak regulasi sangat jarang dilakukan karena waktu yang habis untuk proses pembuatan peraturan.
Kedua, lambannya penerbitan peraturan teknis pelaksana UU Cipta Kerja, utamanya dalam bentuk peraturan menteri (permen). Banyaknya penarikan kewenangan dari daerah ke pusat di UU Cipta Kerja tidak diikuti dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan teknis pelaksanaan dengan segera. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan hukum di tingkat pemda yang justru menghambat implementasi UU tersebut, seperti proses perizinan.
Ketiga, ketiadaan pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk mempermudah pemda secara cepat melakukan proses penyesuaian regulasinya dengan UU Cipta Kerja. Banyak aturan yang berubah dalam UU Cipta Kerja membuat pemda harus mengubah begitu banyak regulasinya yang terdampak. Sementara, UU memberikan jangka waktu yang sangat singkat bagi pemda untuk menyesuaikan regulasi mereka.
Penguatan Kapasitas
Pemda memiliki peran yang sangat besar bagi kesuksesan implementasi UU Cipta Kerja. Hal ini mengingat penyelenggaraan investasi berada di daerah. Merujuk pada persoalan dalam harmonisasi regulasi di daerah, langkah perbaikan perlu dilakukan oleh pemerintah dengan menitikberatkan pada penguatan kapasitas serta proses kelembagaan untuk memperkuat implementasi UU Cipta Kerja.
Pertama, pemerintah perlu memperkuat kapasitas SDM di unit penyelenggara hukum di daerah. Caranya dapat melalui rekrutmen, rotasi, hingga pengembangan kompetensi SDM. Jika pemerintah peduli dengan perbaikan regulasi, maka menempatkan SDM yang berkualitas menjadi kunci utamanya. Selama ini, menurut Pemda, rekrutmen CPNS untuk formasi di unit hukum jumlahnya sangat sedikit. Begitu pula dengan sedikitnya minat PNS untuk ditempatkan di unit hukum dikarenakan beban kerjanya (workload) yang terbilang besar.
Kedua, perbaikan proses regulasi di tingkat pusat. Sumber overregulated selama ini tidak berasal dari PP atau perpres sebagai peraturan pelaksana UU. Justru di level peraturan menteri (permen). Membludaknya permen ini bukan hanya disebabkan karena pembentukan peraturannya yang diperintahkan oleh peraturan lebih tinggi, tetapi juga karena kewenangan yang dimiliki oleh Menteri dan/atau kementerian tersebut. Dengan kuasa pembentukan yang sangat terbuka, materi muatan permen sangat mungkin begitu tak terkendali karena mengabaikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, salah satunya proses harmonisasi. Hal ini yang kerap menyebabkan ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan regulasi yang berdampak bagi daerah. Maka, dalam mengeluarkan peraturan teknis pelaksana, kementerian juga perlu memperhatikan kesesuaian peraturan yang dikeluarkan dengan ketentuan pengaturan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian di tingkat bawah.
Ketiga, pemda perlu didorong untuk melakukan proses secara mandiri melalui executive review terhadap regulasi yang terdampak. Pemerintah perlunya menerbitkan sebuah pedoman yang mempermudah pemda untuk melakukan review dengan pengaturan yang begitu banyak dalam UU Cipta Kerja. PK2AN (2021) menyampaikan gagasan dalam penyusunan pedoman harmonisasi dan sinkronisasi peraturan daerah dengan metode MAVA (Mapping-Analysis-Validation-Agenda).
Dari penjelasan di atas, harmonisasi regulasi daerah dengan UU Cipta Kerja bukanlah hal yang mudah dilakukan daerah. Namun, dengan melakukan pembenahan terhadap persoalan-persoalan kultural dalam proses regulasi serta penguatan kapasitas pemda bisa menjadi awal bagi perbaikan kualitas regulasi di Indonesia.
Kedua, lambannya penerbitan peraturan teknis pelaksana UU Cipta Kerja, utamanya dalam bentuk peraturan menteri (permen). Banyaknya penarikan kewenangan dari daerah ke pusat di UU Cipta Kerja tidak diikuti dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan teknis pelaksanaan dengan segera. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan hukum di tingkat pemda yang justru menghambat implementasi UU tersebut, seperti proses perizinan.
Ketiga, ketiadaan pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk mempermudah pemda secara cepat melakukan proses penyesuaian regulasinya dengan UU Cipta Kerja. Banyak aturan yang berubah dalam UU Cipta Kerja membuat pemda harus mengubah begitu banyak regulasinya yang terdampak. Sementara, UU memberikan jangka waktu yang sangat singkat bagi pemda untuk menyesuaikan regulasi mereka.
Penguatan Kapasitas
Pemda memiliki peran yang sangat besar bagi kesuksesan implementasi UU Cipta Kerja. Hal ini mengingat penyelenggaraan investasi berada di daerah. Merujuk pada persoalan dalam harmonisasi regulasi di daerah, langkah perbaikan perlu dilakukan oleh pemerintah dengan menitikberatkan pada penguatan kapasitas serta proses kelembagaan untuk memperkuat implementasi UU Cipta Kerja.
Pertama, pemerintah perlu memperkuat kapasitas SDM di unit penyelenggara hukum di daerah. Caranya dapat melalui rekrutmen, rotasi, hingga pengembangan kompetensi SDM. Jika pemerintah peduli dengan perbaikan regulasi, maka menempatkan SDM yang berkualitas menjadi kunci utamanya. Selama ini, menurut Pemda, rekrutmen CPNS untuk formasi di unit hukum jumlahnya sangat sedikit. Begitu pula dengan sedikitnya minat PNS untuk ditempatkan di unit hukum dikarenakan beban kerjanya (workload) yang terbilang besar.
Kedua, perbaikan proses regulasi di tingkat pusat. Sumber overregulated selama ini tidak berasal dari PP atau perpres sebagai peraturan pelaksana UU. Justru di level peraturan menteri (permen). Membludaknya permen ini bukan hanya disebabkan karena pembentukan peraturannya yang diperintahkan oleh peraturan lebih tinggi, tetapi juga karena kewenangan yang dimiliki oleh Menteri dan/atau kementerian tersebut. Dengan kuasa pembentukan yang sangat terbuka, materi muatan permen sangat mungkin begitu tak terkendali karena mengabaikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, salah satunya proses harmonisasi. Hal ini yang kerap menyebabkan ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan regulasi yang berdampak bagi daerah. Maka, dalam mengeluarkan peraturan teknis pelaksana, kementerian juga perlu memperhatikan kesesuaian peraturan yang dikeluarkan dengan ketentuan pengaturan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian di tingkat bawah.
Ketiga, pemda perlu didorong untuk melakukan proses secara mandiri melalui executive review terhadap regulasi yang terdampak. Pemerintah perlunya menerbitkan sebuah pedoman yang mempermudah pemda untuk melakukan review dengan pengaturan yang begitu banyak dalam UU Cipta Kerja. PK2AN (2021) menyampaikan gagasan dalam penyusunan pedoman harmonisasi dan sinkronisasi peraturan daerah dengan metode MAVA (Mapping-Analysis-Validation-Agenda).
Dari penjelasan di atas, harmonisasi regulasi daerah dengan UU Cipta Kerja bukanlah hal yang mudah dilakukan daerah. Namun, dengan melakukan pembenahan terhadap persoalan-persoalan kultural dalam proses regulasi serta penguatan kapasitas pemda bisa menjadi awal bagi perbaikan kualitas regulasi di Indonesia.
(bmm)
tulis komentar anda