Menyoal RPP Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Laut
Senin, 20 Desember 2021 - 21:54 WIB
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan Dan Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Indonesia Dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia yang dibuat oleh Kemenkopolhukam bersama-sama Bakamla, bertentangan dengan perintah UUD 45 dan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Mengingat Peraturan Pemerintah itu ditetapkan oleh Presiden, sehingga dapat dikatakan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Peraturan Pemerintah yang tidak menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya. Ini artinya bertentangan dengan perintah UUD 45, sehingga sangat berpotensi bergeser kearah Politik. Dikhawatirkan hal ini dapat dikatakan bahwa Presiden telah melanggar UUD 45. Bila hal ini terjadi, diperkirakan dapat mengakibatkan kegaduhan Politik.
Hal inilah salah satu penyebab RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan Dan Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Indonesia Dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia ditolak oleh Panitia Antar Kementrian dan sudah pasti akan ditolak oleh KSAL juga. Tapi entah mengapa Menkopolhukam justru menyarankan kepada Presiden untuk menetapkan RPP itu melalui mekansime rapat. Padahal apabila saran ini dilaksanakan berpotensi mengakibatkan kegaduhan politik dimana Presiden akan dituduh sebagai pelanggar UUD 45. Apakah ada kesengajaan untuk menimbulkan kegaduhan politik ? Wallahualam.
Sudah pasti KSAL akan menolak saran seperti ini. Penolakan itu untuk melindungi agar Presiden agar tidak dituduh sebagai pelanggar UUD 45. Oleh karena diperkirakan saran ini akan ditolak oleh KSAL, oleh sebab itulah maka KSAL tidak diundang dalam rapat itu. Saran kedua yang akan muncul dari Ratas, memberikan kewenangan Bakamla sebagai Indonesia Coast Guard dan sebagai penyidik melalui pembentukan UU Keamanan Laut atau revisi terbatas UU Kelautan yang sudah masuk Prolegnas tahun 2020 - 2024.
Ini juga saran yang sangat aneh bin ajaib. Mengalir dari saran ini ada dua hal yang mengemuka. Pertama, Memberikan "kewenangan sebagai Indonesia Coast Guard" kepada Bakamla melalui Pembuatan UU Keaman laut. Itu artinya Dalam UU Keamanan Laut akan dibuatkan kewenangan Indonesia Coast Guard. Padahal kewenangan Indonesia Coast Guard sekarang ini sudah tertulis dengan lengkap didalam UU 17/2008 tentang Pelayaran. Bahkan pada pejelasan UU 17/2008 tentang Pelayaran ditulis dengan jelas bahwa UU No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran adalah UU tentang Pembentukan Coast Guard.
Bunyi dari paragraf penjelasan UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah sebagai berikut : "Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang ini adalah pembentukan institusi di bidang penjagaan laut dan pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.” Lalu untuk apa membuat UU Keamanan Laut lagi kalau hanya untuk membentuk Coast Guard ?
Untuk membentuk Indonesia Coast Guard itu sangat mudah, tinggal membuat RPP tentang Sea and Coast Guard (Penjagaan Laut dan Pantai). RPP ini dibuat atas perintah dari Pasal 281 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Muatan materi dari Pasal 281 UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran selengkapnya berbunyi : “Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan serta organisasi dan tata kerja penjaga laut dan pantai (Sea and Coast Guard) sebagaimana dimaksuddalam Pasal 276 diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Kedua, Memberikan kewenangan sebagai penyidik kepada Bakamla melalui Pembuatan UU Keamanan Laut. Artinya akan dibentuk lagi Bakamla yang berstatus Penyidik oleh UU Kelautan. Lagi-lagi ini saran yang aneh bin ajaib. Lahirnya Bakamla diatur oleh UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Dalam UU Kelautan tersebut, Bakamla tidak diberikan status sebagai Penyidik. Tidak diberikannya status penyidik kepada Bakamla tentunya sudah melalui pembahasan yang Panjang, lalu sekarang tiba-tiba disarankan Bakamla diberikan status Penyidik hanya berdasarkan keputusan rapat ?
Untuk diketahui bahwa Bakamla Tidak mendapat status sebagai penyidik karena tidak ada tempat lagi bagi Bakamla untuk melakukan penyidikan di laut. Kenapa begitu? Lihat saja, di wilayah laut Teritorial, penyidiknya adalah Kepolisian RI sebagaimana yang diatur oleh UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Lalu di wilayah laut Yurisdiksi penyidiknya adalah TNI AL berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang TNI. Artinya seluruh wilayah laut Indonesia mulai dari wilayah laut Teritorial sampai dengan wilayah laut Yurisdiksi sudah ada penyidiknya.
Itulah sebabnya bila Bakamla diberikan status Penyidik, maka di laut teritorial akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan Polri, sedangkan di wilayah laut yurisdiksi akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan TNI AL. Itulah sebabnya maka UU 32/2014 tentang Kelautan tidak memberikan status Penyidik kepada Bakamla.
Mengingat Peraturan Pemerintah itu ditetapkan oleh Presiden, sehingga dapat dikatakan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Peraturan Pemerintah yang tidak menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya. Ini artinya bertentangan dengan perintah UUD 45, sehingga sangat berpotensi bergeser kearah Politik. Dikhawatirkan hal ini dapat dikatakan bahwa Presiden telah melanggar UUD 45. Bila hal ini terjadi, diperkirakan dapat mengakibatkan kegaduhan Politik.
Hal inilah salah satu penyebab RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan Dan Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Indonesia Dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia ditolak oleh Panitia Antar Kementrian dan sudah pasti akan ditolak oleh KSAL juga. Tapi entah mengapa Menkopolhukam justru menyarankan kepada Presiden untuk menetapkan RPP itu melalui mekansime rapat. Padahal apabila saran ini dilaksanakan berpotensi mengakibatkan kegaduhan politik dimana Presiden akan dituduh sebagai pelanggar UUD 45. Apakah ada kesengajaan untuk menimbulkan kegaduhan politik ? Wallahualam.
Sudah pasti KSAL akan menolak saran seperti ini. Penolakan itu untuk melindungi agar Presiden agar tidak dituduh sebagai pelanggar UUD 45. Oleh karena diperkirakan saran ini akan ditolak oleh KSAL, oleh sebab itulah maka KSAL tidak diundang dalam rapat itu. Saran kedua yang akan muncul dari Ratas, memberikan kewenangan Bakamla sebagai Indonesia Coast Guard dan sebagai penyidik melalui pembentukan UU Keamanan Laut atau revisi terbatas UU Kelautan yang sudah masuk Prolegnas tahun 2020 - 2024.
Ini juga saran yang sangat aneh bin ajaib. Mengalir dari saran ini ada dua hal yang mengemuka. Pertama, Memberikan "kewenangan sebagai Indonesia Coast Guard" kepada Bakamla melalui Pembuatan UU Keaman laut. Itu artinya Dalam UU Keamanan Laut akan dibuatkan kewenangan Indonesia Coast Guard. Padahal kewenangan Indonesia Coast Guard sekarang ini sudah tertulis dengan lengkap didalam UU 17/2008 tentang Pelayaran. Bahkan pada pejelasan UU 17/2008 tentang Pelayaran ditulis dengan jelas bahwa UU No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran adalah UU tentang Pembentukan Coast Guard.
Bunyi dari paragraf penjelasan UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah sebagai berikut : "Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang ini adalah pembentukan institusi di bidang penjagaan laut dan pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.” Lalu untuk apa membuat UU Keamanan Laut lagi kalau hanya untuk membentuk Coast Guard ?
Untuk membentuk Indonesia Coast Guard itu sangat mudah, tinggal membuat RPP tentang Sea and Coast Guard (Penjagaan Laut dan Pantai). RPP ini dibuat atas perintah dari Pasal 281 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Muatan materi dari Pasal 281 UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran selengkapnya berbunyi : “Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan serta organisasi dan tata kerja penjaga laut dan pantai (Sea and Coast Guard) sebagaimana dimaksuddalam Pasal 276 diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Kedua, Memberikan kewenangan sebagai penyidik kepada Bakamla melalui Pembuatan UU Keamanan Laut. Artinya akan dibentuk lagi Bakamla yang berstatus Penyidik oleh UU Kelautan. Lagi-lagi ini saran yang aneh bin ajaib. Lahirnya Bakamla diatur oleh UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Dalam UU Kelautan tersebut, Bakamla tidak diberikan status sebagai Penyidik. Tidak diberikannya status penyidik kepada Bakamla tentunya sudah melalui pembahasan yang Panjang, lalu sekarang tiba-tiba disarankan Bakamla diberikan status Penyidik hanya berdasarkan keputusan rapat ?
Untuk diketahui bahwa Bakamla Tidak mendapat status sebagai penyidik karena tidak ada tempat lagi bagi Bakamla untuk melakukan penyidikan di laut. Kenapa begitu? Lihat saja, di wilayah laut Teritorial, penyidiknya adalah Kepolisian RI sebagaimana yang diatur oleh UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Lalu di wilayah laut Yurisdiksi penyidiknya adalah TNI AL berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang TNI. Artinya seluruh wilayah laut Indonesia mulai dari wilayah laut Teritorial sampai dengan wilayah laut Yurisdiksi sudah ada penyidiknya.
Itulah sebabnya bila Bakamla diberikan status Penyidik, maka di laut teritorial akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan Polri, sedangkan di wilayah laut yurisdiksi akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan TNI AL. Itulah sebabnya maka UU 32/2014 tentang Kelautan tidak memberikan status Penyidik kepada Bakamla.
tulis komentar anda