Ke(tidak)teraturan Bangsa
Kamis, 04 Juni 2020 - 04:23 WIB
Dalam bahasa yang lain, keteraturan bisa disebut sebagai konsekuensi dari hubungan seimbang antara masyarakat dan
Pemerintah atas dasar saling percaya dan saling mendukung.
Dari sisi masyarakat, mereka percaya terhadap pemerintah bahwa pemerintah akan melakukan segala upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama. Sementara dari sisi pemerintah, mereka percaya bahwa masyarakat akan mengikuti peraturan yang dibuat juga untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Dalam pengantar salah satu bukunya yang sangat monumental berjudul As-Siyasah As-Syar’iyyah fi Ishlâhi Ar-Râ’îy wa Ara’iyah, ulama sekaligus pemikir kenamaan Ibnu Taymiyah menyebut hal ini sebagai hubungan yang seimbang antara amanah (kepercayaan) dari sisi pemerintah dan at-tha’ah (ketaatan) dari sisi masyarakat.
Sementara cita-cita bersama dalam bernegara salah satu bentuknya adalah kemaslahatan publik atau kemaslahatan bersama. Cita-cita ini tidak akan bisa diwujudkan oleh masyarakat secara pribadi-pribadi. Oleh karenanya, hidup bernegara dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita bersama ini.
Karena terkait dengan kepentingan bersama, cita-cita ataupun kepentingan ini harus diutamakan daripada cita-cita atau kepen tingan yang sifatnya tidak bersama-sama (di antara segenap warga-bangsa), termasuk cita-cita yang bersifat keagamaan.
Dilihat dari penanganan Covid-19, esensi bernegara seperti di atas tampaknya masih dalam proses pembentukannya di Indonesia. Mengingat di satu sisi belum ada keteraturan, terlebih lagi kesatuan langkah, dalam menghadapi masalah ini.
Meminjam analogi tubuh, cara gerak dan kerja elemen-elemen bangsa ini masih jauh dari satu butuh dengan pembagian tugas yang jelas. Yang tampak nyata terlihat adalah justru segenap elemen bangsa tak ubahnya masing-masing tubuh yang memiliki perencanaan, pembagian tugas, dan pelaksanaan masing-masing.
Ini adalah masalah bangsa yang sangat serius ke depan. Indonesia tidak dimaksudkan hanya untuk menjadi “kumpulan” dari aku yang banyak, tapi dimaksudkan untuk menyatukan aku yang banyak menjadi kita, menjadi Indonesia. Sementara
di sisi lain, hal-hal yang bersifat kemaslahatan publik juga belum menjadi kesadaran bersama untuk diwujudkan, tidak hanya oleh pemerintah, melainkan juga oleh masyarakat luas.
Pemerintah atas dasar saling percaya dan saling mendukung.
Dari sisi masyarakat, mereka percaya terhadap pemerintah bahwa pemerintah akan melakukan segala upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama. Sementara dari sisi pemerintah, mereka percaya bahwa masyarakat akan mengikuti peraturan yang dibuat juga untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Dalam pengantar salah satu bukunya yang sangat monumental berjudul As-Siyasah As-Syar’iyyah fi Ishlâhi Ar-Râ’îy wa Ara’iyah, ulama sekaligus pemikir kenamaan Ibnu Taymiyah menyebut hal ini sebagai hubungan yang seimbang antara amanah (kepercayaan) dari sisi pemerintah dan at-tha’ah (ketaatan) dari sisi masyarakat.
Sementara cita-cita bersama dalam bernegara salah satu bentuknya adalah kemaslahatan publik atau kemaslahatan bersama. Cita-cita ini tidak akan bisa diwujudkan oleh masyarakat secara pribadi-pribadi. Oleh karenanya, hidup bernegara dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita bersama ini.
Karena terkait dengan kepentingan bersama, cita-cita ataupun kepentingan ini harus diutamakan daripada cita-cita atau kepen tingan yang sifatnya tidak bersama-sama (di antara segenap warga-bangsa), termasuk cita-cita yang bersifat keagamaan.
Dilihat dari penanganan Covid-19, esensi bernegara seperti di atas tampaknya masih dalam proses pembentukannya di Indonesia. Mengingat di satu sisi belum ada keteraturan, terlebih lagi kesatuan langkah, dalam menghadapi masalah ini.
Meminjam analogi tubuh, cara gerak dan kerja elemen-elemen bangsa ini masih jauh dari satu butuh dengan pembagian tugas yang jelas. Yang tampak nyata terlihat adalah justru segenap elemen bangsa tak ubahnya masing-masing tubuh yang memiliki perencanaan, pembagian tugas, dan pelaksanaan masing-masing.
Ini adalah masalah bangsa yang sangat serius ke depan. Indonesia tidak dimaksudkan hanya untuk menjadi “kumpulan” dari aku yang banyak, tapi dimaksudkan untuk menyatukan aku yang banyak menjadi kita, menjadi Indonesia. Sementara
di sisi lain, hal-hal yang bersifat kemaslahatan publik juga belum menjadi kesadaran bersama untuk diwujudkan, tidak hanya oleh pemerintah, melainkan juga oleh masyarakat luas.
tulis komentar anda