Ke(tidak)teraturan Bangsa

Kamis, 04 Juni 2020 - 04:23 WIB
Di level mereka yang mengatur, contohnya, ada sejumlah persoalan serius yang berdampak pada wibawa dan karisma

mereka di hadapan masyarakat, di antaranya, penguasaan dan keseriusan pihak terkait dalam menghadapi masalah ini (setidaknya pada masa-masa awal munculnya pandemi ini).

Begitu juga dengan masalah tidak kompaknya satu elemen pemimpin dengan elemen yang lain, khususnya antara pusat

dan daerah. Semua ini telah membuat berkurangnya wibawa kepemimpinan di hadapan masyarakat.

Sementara di level peraturan yang diberlakukan, contohnya, tidak ada kesamaan aturan maupun hukuman bagi yang melanggar peraturan yang ada. Hal ini terjadi karena peraturan yang ada hanya bersifat imbauan, bukan sebuah keharusan. Akibatnya adalah ada sebagian pihak yang mungkin sudah sejak awal melakukan segala aktivitasnya di dalam rumah (sesuai dengan arahan pemerintah).

Sementara sebagian pihak yang lain justru masih terus beraktivitas di kantornya seperti biasa (mengingat kantornya belum libur). Nihilnya dua prasyarat keteraturan di atas berakibat pada hilangnya ketaatan dari mereka yang diatur. Dilihat dari aktivitas masyarakat sejauh ini, nyaris tak ada keteraturan terkait dengan upaya mengurangi penularan Covid-19.

Sebagian masyarakat mungkin sudah mengurangi aktivitasnya. Sementara sebagian masyarakat yang lain tetap beraktivitas seperti biasa. Di satu sisi, hal ini disebabkan oleh adanya peraturan dari pemerintah yang tidak tegas. Di sisi lain, aktivitas yang ada untuk mencukupi segala kebutuhan harian, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah.

Esensi Bernegara

Keteraturan adalah salah satu esensi utama bernegara untuk mewujudkan cita-cita bersama yang tak bisa dilakukan hanya oleh pribadi-pribadi warga negara. Apalah arti bernegara tanpa adanya keteraturan di dalamnya sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Dalam bahasa yang lain, keteraturan bisa disebut sebagai konsekuensi dari hubungan seimbang antara masyarakat dan

Pemerintah atas dasar saling percaya dan saling mendukung.

Dari sisi masyarakat, mereka percaya terhadap pemerintah bahwa pemerintah akan melakukan segala upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama. Sementara dari sisi pemerintah, mereka percaya bahwa masyarakat akan mengikuti peraturan yang dibuat juga untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Dalam pengantar salah satu bukunya yang sangat monumental berjudul As-Siyasah As-Syar’iyyah fi Ishlâhi Ar-Râ’îy wa Ara’iyah, ulama sekaligus pemikir kenamaan Ibnu Taymiyah menyebut hal ini sebagai hubungan yang seimbang antara amanah (kepercayaan) dari sisi pemerintah dan at-tha’ah (ketaatan) dari sisi masyarakat.

Sementara cita-cita bersama dalam bernegara salah satu bentuknya adalah kemaslahatan publik atau kemaslahatan bersama. Cita-cita ini tidak akan bisa diwujudkan oleh masyarakat secara pribadi-pribadi. Oleh karenanya, hidup bernegara dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita bersama ini.

Karena terkait dengan kepentingan bersama, cita-cita ataupun kepentingan ini harus diutamakan daripada cita-cita atau kepen tingan yang sifatnya tidak bersama-sama (di antara segenap warga-bangsa), termasuk cita-cita yang bersifat keagamaan.

Dilihat dari penanganan Covid-19, esensi bernegara seperti di atas tampaknya masih dalam proses pembentukannya di Indonesia. Mengingat di satu sisi belum ada keteraturan, terlebih lagi kesatuan langkah, dalam menghadapi masalah ini.

Meminjam analogi tubuh, cara gerak dan kerja elemen-elemen bangsa ini masih jauh dari satu butuh dengan pembagian tugas yang jelas. Yang tampak nyata terlihat adalah justru segenap elemen bangsa tak ubahnya masing-masing tubuh yang memiliki perencanaan, pembagian tugas, dan pelaksanaan masing-masing.

Ini adalah masalah bangsa yang sangat serius ke depan. Indonesia tidak dimaksudkan hanya untuk menjadi “kumpulan” dari aku yang banyak, tapi dimaksudkan untuk menyatukan aku yang banyak menjadi kita, menjadi Indonesia. Sementara

di sisi lain, hal-hal yang bersifat kemaslahatan publik juga belum menjadi kesadaran bersama untuk diwujudkan, tidak hanya oleh pemerintah, melainkan juga oleh masyarakat luas.

Dalam krisis menghadapi Covid-19, contohnya, masih ada kepentingan pribadi, golongan, atau kelompok yang lebih ditonjolkan daripada kepentingan bersama; membatasi penularan sebagai langkah awal penyelesaian pandemi ini. Mulai dari kepenting an pribadi atau golongan yang bersifat bisnis, sosial, atau bahkan keagamaan.

Tentu ini juga menjadi persoalan bangsa yang sangat serius ke depan. Rasanya tak ada masa depan bangsa yang bisa dibayangkan bila kemaslahatan publik tidak menjadi niat pembangunan yang ada. Tanpa visi kemaslahatan publik maka pembangunan yang ada tak lebih dari sekadar untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More