Ke(tidak)teraturan Bangsa

Kamis, 04 Juni 2020 - 04:23 WIB
Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar Kairo Mesir, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam. Foto: Ist
Hasibullah Satrawi

Alumnus Al-Azhar Kairo Mesir, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

SEJAUH ini, persoalan Covid-19 tak hanya bisa dianggap sebagai masalah virus, penyakit, atau bahkan pandemi. Covid-19 telah menjelma sebagai hal yang lebih besar sekaligus lebih kompleks dari semua itu. Covid-19 telah menjadi senjata paling canggih yang berhasil menaklukkan hampir seluruh negara di bumi ini.

Covid-19 juga telah menjadi tesa yang acap meruntuhkan segala tesa yang ada selama ini, baik terkait dengan sosial-politik, sosial-kemasyarakatan, atau bahkan terkait dengan penyelenggaraan negara.

Namun demikian, di sisi yang lain, Covid-19 juga bisa menjadi cermin untuk melihat kondisi faktual sebuah bangsa, baik dari sisi soliditas, sinergi unsur-unsur kepemimpinan, penanganan kesehatan, hingga kesiapan menghadapi masalah.



Pada awalnya, sebagaimana Indonesia masih bisa membahas masalah ini dengan sambil tersenyum, mengingat tak ada

satu pun yang dinyatakan terkena virus ini (awal tahun 2020). Pelan-pelan situasi berubah setelah ada orang Indonesia dinyatakan positif terkena virus ini.

Angka demi angka terus bertambah setiap hari, tak hanya 30-an seperti di masa-masa awal, tapi mulai menyentuh angka 300-an, 400-an, bahkan 500-an dalam setiap hari. Hingga akhirnya mungkin saat ini sudah tak ada lagi orang yang bisa membahas tentang Covid-19 di Indonesia sambil melempar senyum ke sana kemari, khususnya di kalangan para pengambil kebijakan.

Melihat Indonesia

Ada beberapa problem di Indonesia yang terlihat jelas melalui masalah Covid-19. Pertama, problem penggambaran Covid-19 sebagai masalah. Pada masa-masa awal, segenap pejabat terkait di Indonesia gagal menangkap keseriusan masalah Covid-19 beserta sejumlah masalah sosial-kemasyarakatan yang timbul dari virus ini.

Alih-alih melakukan langkah-langkah antisipatif yang cukup, masyarakat acap disuguhi pandangan-pandangan yang menekankan bahwa Indonesia kebal dari virus ini.

Perubahan sikap Indonesia ke arah yang lebih serius mulai terjadi setelah ada warga Indonesia yang dinyatakan terkena

virus ini (awal Maret). Sejak saat itu sikap Indonesia lebih serius dalam menghadapi problem Covid-19, khususnya setelah jumlah korban yang dinyatakan positif terkena virus ini (atau bahkan sampai pada tahap meninggal) semakin bertambah banyak.

Semoga perubahan sikap pemerintah ini tidak terlambat. Adalah sangat penting bagi masyarakat untuk mendukung langkah-langkah pemerintah saat ini.

Hingga virus ini tidak terus memakan korban. Kedua, problem sinergi antarelemen kepemimpinan, mulai dari kepemimpinan di level nasional, provinsi, hingga kabupaten.

Sejatinya, elemen kepemimpinan yang ada telah memiliki batas wilayah dan otoritas yang jelas, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, batas-batas yang ada acap menjadi kabur ketika menghadapi masalah besar seperti Covid-19.

Alih-alih saling bekerjasama untuk mengedepankan kepentingan masyarakat luas, antarelemen kepemimpinan yang ada terkesan saling bersaing, berebut panggung, bahkan berebut otoritas (minimal pada masa-masa awal terjadinya masalah ini).

Ironisnya adalah ketika segenap elemen kepemimpinan sibuk memperebutkan hal-hal yang seakan tak jelas (padahal sebenarnya jelas), masyarakat justru semakin banyak yang terkena virus ini.

Ketiga, problem keteraturan sebagai satu bangsa. Istilah keteraturan minimal mengharuskan adanya tiga hal, yaitu adanya mereka yang mengatur, aturan yang diberlakukan, dan adanya mereka yang diatur. Dalam menghadapi Covid-19, tiga

prasyarat keteraturan di atas terlihat menjadi masalah yang sangat serius.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More