Taliban di Antara Aspirasi dan Kekhawatiran Dunia
Kamis, 19 Agustus 2021 - 05:56 WIB
Afghanistan pun tidak pernah pulih dari luka-luka lama akibat peperangan panjang. Pembunuhan dan saling membunuh, kerap juga atas nama membela agama dan kemuliaan seolah menjadi biasa. Kekuasaan juga silih berganti dari Sayyaf, Rabbani, Mujaddidi, hingga ke Hikmatyar, dan lain-lain berlalu tanpa ada dampak positif bagi kehidupan orang-orang Afghan.
Bangsa Afghan memang bangsa yang hebat. Masih terbayang wajah anak-anak Afghan yang saya ajar di sekolah "Al-Hilal al-Ahmar As-Saudi" di pinggiran-pinggiran kampung Peshawar. Kerap di wajah mereka masih penuh dengan debu-debu bahkan tanah. Maklum rumah-rumah mereka hanya dari tanah liat, dan seringkali tanpa air untuk mandi. Air begitu mahal untuk sekedar minum dan masak. Tapi dengan semua kesulitan itu mereka hadir di kelas setiap hari dengan ceria dan senyuman.
Hingga akhirnya dua dekade lalu, di saat pemerintahan dan kehidupan di Afghanistan mulai menggeliat. Tiba-tiba timbul lagi sebuah kelompok, konon dari sekolah-sekolah Islam (madrasah) di kawasan perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan. Mereka mayoritasnya dari kalangan suku Pushtu yang berbahasa Pukhtun. Itu terjadi ketika yang pemerintahan Pakistan ada di bawah Presiden Musharraf yang sangat dekat dengan CIA.
Kelompok Taliban (arti literalnya pelajar) itu tiba-tiba secara misterius menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu menaklukkan beberapa propinsi Afghanistan. Intinya mereka membentuk pemerintahan tersendiri di luar dari pemerintahan Afghanistan yang berpusat di Kabul lbukota negara.
Sementara itu Amerika terus merasa terancam dengan keberadaan Osama bin Laden di Afghanistan. Sosok yang dibesarkan oleh Amerika sendiri. Kini punya pengaruh besar di kalangan mereka yang kecewa dan marah dengan dominasi Amerika di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah pasca perang Irak pertama.
Karenanya dijadikannya kelompok Taliban ini dengan harapan untuk mengeliminir sosok Osama. Kenyataannya Taliban tidak merasa itu kewajiban dan juga tidak etis secara iman untuk menghabisi Saudara sendiri. Karenanya mereka justeru memberikan perlindungan kepada Bin Laden dan groupnya.
Akhirnya Amerika berbalik menjadikan Taliban sebagai musuh, bahkan dengan segela kemampuannya, termasuk kekuatan media, menjadikan kelompok Taliban sebagai kelompok terroris. Taliban pun menjadi musuh yang harus dieliminir. Tapi Pakistan yang punya kepentingan dengan eksistensi Taliban setengah hati menjadi untuk menjadi kaki tangan Amerika menghabisi Taliban. Taliban di Afghanistan berhasil diruntuhkan di beberapa wilayah. Tapi mereka yang di Pakistan justeru membangun kekuatan. Tidak mengherankan belakangan justeru Bin Laden lebih nyaman tinggal di Pakistan.
Sementara itu di Afghanistan pemerintahan yang terpilih harus sejalan dengan keinginan Amerika. Mungkin dalam bahasa lain harus dari boneka-boneka Amerika. Hal ini menjadikan Taliban semakin termotivasi untuk mengambil alih kekuasaan di Afghanistan. Maka sepanjang dua dekade terakhir, Taliban kerap membuktikan eksistensinya tidak jarang dengan wajah yang buruk. Termasuk melalui ragam bunuh diri yang telah menelan banyak nyawa dari kalangan sipil.
Dengan keputusan Amerika untuk meninggalkan Afghanistan, kini Taliban membuktikan bahwa mereka eksis. Bukan saja eksis. Tapi memiliki kekuatan dan ada di hati sebagian besar rakyat Afghanistan. Kalau tidak memiliki kekuatan dan tidak ada di hati mayoritas rakyat Afghanistan tentu pemerintahan Kabul tidak secepat itu terjatuh.
Amerika sendiri sesungguhnya telah lama ingin keluar dari Afghanistan. Hanya saja memang selama ini harus mencari cara untuk menutup muka agar “shamefulness” (rasa malu) itu dapat tertutupi. Hingga naiklah seorang Presiden yang tidak peduli. Selain karena memang tidak ada rasa malu, juga karena berotak hitung-hitung ekonomi. Tidak memiliki kalkulasi-kalkulasi pengaruh politik dan dominasi global. Itulah kelebihan dan sisi positifnya Donald Trump. Dialah yang mengeksekusi persetujuan dengan Taliban untuk meninggalkan Afghanistan melalui perjanjian Doha di Qatar.
Bangsa Afghan memang bangsa yang hebat. Masih terbayang wajah anak-anak Afghan yang saya ajar di sekolah "Al-Hilal al-Ahmar As-Saudi" di pinggiran-pinggiran kampung Peshawar. Kerap di wajah mereka masih penuh dengan debu-debu bahkan tanah. Maklum rumah-rumah mereka hanya dari tanah liat, dan seringkali tanpa air untuk mandi. Air begitu mahal untuk sekedar minum dan masak. Tapi dengan semua kesulitan itu mereka hadir di kelas setiap hari dengan ceria dan senyuman.
Hingga akhirnya dua dekade lalu, di saat pemerintahan dan kehidupan di Afghanistan mulai menggeliat. Tiba-tiba timbul lagi sebuah kelompok, konon dari sekolah-sekolah Islam (madrasah) di kawasan perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan. Mereka mayoritasnya dari kalangan suku Pushtu yang berbahasa Pukhtun. Itu terjadi ketika yang pemerintahan Pakistan ada di bawah Presiden Musharraf yang sangat dekat dengan CIA.
Kelompok Taliban (arti literalnya pelajar) itu tiba-tiba secara misterius menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu menaklukkan beberapa propinsi Afghanistan. Intinya mereka membentuk pemerintahan tersendiri di luar dari pemerintahan Afghanistan yang berpusat di Kabul lbukota negara.
Sementara itu Amerika terus merasa terancam dengan keberadaan Osama bin Laden di Afghanistan. Sosok yang dibesarkan oleh Amerika sendiri. Kini punya pengaruh besar di kalangan mereka yang kecewa dan marah dengan dominasi Amerika di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah pasca perang Irak pertama.
Karenanya dijadikannya kelompok Taliban ini dengan harapan untuk mengeliminir sosok Osama. Kenyataannya Taliban tidak merasa itu kewajiban dan juga tidak etis secara iman untuk menghabisi Saudara sendiri. Karenanya mereka justeru memberikan perlindungan kepada Bin Laden dan groupnya.
Akhirnya Amerika berbalik menjadikan Taliban sebagai musuh, bahkan dengan segela kemampuannya, termasuk kekuatan media, menjadikan kelompok Taliban sebagai kelompok terroris. Taliban pun menjadi musuh yang harus dieliminir. Tapi Pakistan yang punya kepentingan dengan eksistensi Taliban setengah hati menjadi untuk menjadi kaki tangan Amerika menghabisi Taliban. Taliban di Afghanistan berhasil diruntuhkan di beberapa wilayah. Tapi mereka yang di Pakistan justeru membangun kekuatan. Tidak mengherankan belakangan justeru Bin Laden lebih nyaman tinggal di Pakistan.
Sementara itu di Afghanistan pemerintahan yang terpilih harus sejalan dengan keinginan Amerika. Mungkin dalam bahasa lain harus dari boneka-boneka Amerika. Hal ini menjadikan Taliban semakin termotivasi untuk mengambil alih kekuasaan di Afghanistan. Maka sepanjang dua dekade terakhir, Taliban kerap membuktikan eksistensinya tidak jarang dengan wajah yang buruk. Termasuk melalui ragam bunuh diri yang telah menelan banyak nyawa dari kalangan sipil.
Dengan keputusan Amerika untuk meninggalkan Afghanistan, kini Taliban membuktikan bahwa mereka eksis. Bukan saja eksis. Tapi memiliki kekuatan dan ada di hati sebagian besar rakyat Afghanistan. Kalau tidak memiliki kekuatan dan tidak ada di hati mayoritas rakyat Afghanistan tentu pemerintahan Kabul tidak secepat itu terjatuh.
Amerika sendiri sesungguhnya telah lama ingin keluar dari Afghanistan. Hanya saja memang selama ini harus mencari cara untuk menutup muka agar “shamefulness” (rasa malu) itu dapat tertutupi. Hingga naiklah seorang Presiden yang tidak peduli. Selain karena memang tidak ada rasa malu, juga karena berotak hitung-hitung ekonomi. Tidak memiliki kalkulasi-kalkulasi pengaruh politik dan dominasi global. Itulah kelebihan dan sisi positifnya Donald Trump. Dialah yang mengeksekusi persetujuan dengan Taliban untuk meninggalkan Afghanistan melalui perjanjian Doha di Qatar.
tulis komentar anda