Taliban di Antara Aspirasi dan Kekhawatiran Dunia
Kamis, 19 Agustus 2021 - 05:56 WIB
Presiden Biden yang kini harus menanggung serangan kritikan, khususnya dari kalangan Republikan, hanya melaksanakan hasil persetujuan pemerintahan Trump dan Taliban. Biden tentunya tidak mengatakan jika keputusannya menarik tentara US dari Afganistan itu sekedar melaksanakan keputusan pendahulunya. Agar nampak tegas Biden mengatakan “this the right decision for America” (ini keputusan yang benar untuk Amerika).
Apapun itu kini Taliban telah sepenuhnya menguasai Afghanistan. Media dan banyak pihak pun tidak berhenti menggonggong, menampilkan aspek-aspek kekurangan atau dipaksakan dinampakan sebagai ancaman. Kekacauan bandara Kabul misalnya ditampilkan berkali-kali seolah mewakili wajah negeri. Padahal pasukan Taliban masuk Afghan tanpa pertumpahan darah. Kenapa dunia tidak membuka mata dengan realita ini?
Tidak mudah memang bagi Taliban ke depan. Selain telah terlanjur terbangun narasi yang buruk, termasuk perlakuan yang tidak baik kepada wanita, dan lain-lain, juga dibangun narasi jika Taliban itu “violent group” (kelompok yang senang melakukan kekerasan). Narasi atau persepsi yang dibangun ini Sesungguhnya terbantah dengan realita kemenangannya tanpa pertumpahan darah.
Di saat-saat seperti inilah saya menantang kejujuran dunia internasional, termasuk Amerika, dalam menjunjung demokrasi di mana saja. Senang atau tidak, merasa mendapat manfaat atau tidak, Taliban adalah pemenang pertarungan di Afghanistan. Pertarungan yang sejatinya diapresiasi karena tidak terjadi secara destruktif yang berlebihan.
Kenapa dunia tidak memberikan ruang kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk membuktikan jika mereka mampu mengelolah negara mereka sendiri? Bahwa mereka punya paham dan jalan tersendiri dalam pengelolahan itu, kenapa negara-negara lain harus peduli dan ribut karenanya?
Masalah penafsiran dan pemahaman agama itu masalah domestik yang akan mengalami dinamika dan transformasi tersendiri. Jika selama ini ada pemahaman atau penafsiran agama yang kita tidka setujui, termasuk dalam hal pendidikan wanita, hal itu mungkin karena sekedar ekspresi resistensi dengan tendensi sosial yang dilihat sebagai titipan orang luar (baca Barat).
Boleh juga karena memang latar pendidikan mereka yang perlu diarahkan ke arah yang lebih baik. Di Amerika sendiri ada kelompok-kelompok agama yang tendensinya “talibanisme”. Yang parah kemudian jika pemahaman agama ini didukung oleh kepentingan politik. Apalagi jika pemahaman atau sentimen agama itu terpakai sebagai alat resistensi kepada kekuatan luar (Amerika dan Barat).
Karenanya Amerika dan dunia internasional harus jujur dengan nilai demokrasi yang dijunjungnya. Berikan hak kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk bekerja dengan baik dan maksimal. Siapa tahu di bawah pemerintahan Taliban Afghanistan akan lebih baik dibanding pemerintahan boneka yang selama ini terbentuk.
Pada akhirnya saya berharap bahkan yakin bahwa negara Islam terbesar dunia Indonesia, diharapkan memainkan perananan untuk menjembatani berbagai kesalah pahaman yang ada. Di satu siai saya yakin Indonesia tidak punya banyak kepentingan di Afghanistan. Di sisi lain Taliban melihat Indonesia sebagai negara netral secara politik. Sekaligus sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia.
Karenanya perananan Indonesia akan banyak membantu menetralisir keadaan dan cara pandang dari berbagai kutub yang bertolak belakang. Dari yang melihat Taliban sebagai ancaman. Tapi sekaligus menetralisir cara pandang Taliban kepada mereka yang berbeda paham.
Apapun itu kini Taliban telah sepenuhnya menguasai Afghanistan. Media dan banyak pihak pun tidak berhenti menggonggong, menampilkan aspek-aspek kekurangan atau dipaksakan dinampakan sebagai ancaman. Kekacauan bandara Kabul misalnya ditampilkan berkali-kali seolah mewakili wajah negeri. Padahal pasukan Taliban masuk Afghan tanpa pertumpahan darah. Kenapa dunia tidak membuka mata dengan realita ini?
Tidak mudah memang bagi Taliban ke depan. Selain telah terlanjur terbangun narasi yang buruk, termasuk perlakuan yang tidak baik kepada wanita, dan lain-lain, juga dibangun narasi jika Taliban itu “violent group” (kelompok yang senang melakukan kekerasan). Narasi atau persepsi yang dibangun ini Sesungguhnya terbantah dengan realita kemenangannya tanpa pertumpahan darah.
Di saat-saat seperti inilah saya menantang kejujuran dunia internasional, termasuk Amerika, dalam menjunjung demokrasi di mana saja. Senang atau tidak, merasa mendapat manfaat atau tidak, Taliban adalah pemenang pertarungan di Afghanistan. Pertarungan yang sejatinya diapresiasi karena tidak terjadi secara destruktif yang berlebihan.
Kenapa dunia tidak memberikan ruang kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk membuktikan jika mereka mampu mengelolah negara mereka sendiri? Bahwa mereka punya paham dan jalan tersendiri dalam pengelolahan itu, kenapa negara-negara lain harus peduli dan ribut karenanya?
Masalah penafsiran dan pemahaman agama itu masalah domestik yang akan mengalami dinamika dan transformasi tersendiri. Jika selama ini ada pemahaman atau penafsiran agama yang kita tidka setujui, termasuk dalam hal pendidikan wanita, hal itu mungkin karena sekedar ekspresi resistensi dengan tendensi sosial yang dilihat sebagai titipan orang luar (baca Barat).
Boleh juga karena memang latar pendidikan mereka yang perlu diarahkan ke arah yang lebih baik. Di Amerika sendiri ada kelompok-kelompok agama yang tendensinya “talibanisme”. Yang parah kemudian jika pemahaman agama ini didukung oleh kepentingan politik. Apalagi jika pemahaman atau sentimen agama itu terpakai sebagai alat resistensi kepada kekuatan luar (Amerika dan Barat).
Karenanya Amerika dan dunia internasional harus jujur dengan nilai demokrasi yang dijunjungnya. Berikan hak kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk bekerja dengan baik dan maksimal. Siapa tahu di bawah pemerintahan Taliban Afghanistan akan lebih baik dibanding pemerintahan boneka yang selama ini terbentuk.
Pada akhirnya saya berharap bahkan yakin bahwa negara Islam terbesar dunia Indonesia, diharapkan memainkan perananan untuk menjembatani berbagai kesalah pahaman yang ada. Di satu siai saya yakin Indonesia tidak punya banyak kepentingan di Afghanistan. Di sisi lain Taliban melihat Indonesia sebagai negara netral secara politik. Sekaligus sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia.
Karenanya perananan Indonesia akan banyak membantu menetralisir keadaan dan cara pandang dari berbagai kutub yang bertolak belakang. Dari yang melihat Taliban sebagai ancaman. Tapi sekaligus menetralisir cara pandang Taliban kepada mereka yang berbeda paham.
Lihat Juga :
tulis komentar anda