Etika Pancasila
Kamis, 22 Juli 2021 - 13:20 WIB
Etika adalah sebuah rambu-rambu bagi siapa saja, antar orang, dan mereka dalam kesendirian dan kebersamaan dalam berbangsa. Etika mengikat secara batiniyah.
Persoalan etika sudah lama diajarkan dan dipikirkan oleh manusia kuno. Filosof Yunani kuno, Aristoteles, 2500 tahun yang lalu, secara khusus membahas ethos ini. Apa itu kebaikan, kebahagiaan, keadilan, dan nilai-nilai mulia yang dikembangkan.
Keutamaan laku dan sikap, serta nilai kebajikan yang mempengaruhi individu dan yang membawa masing-masing meraih kebahagiaan dan kebajikan bermasyarakat. Itulah etika yang hendaknya terkait dengan Pancasila, dan bagian utama darinya.
Dalam berbagai sastra kuno kita dalam berbagai bahasa daerah, terutama sumber utamanya adalah bahasa Sansekerta lama, misalnya genre babad atau serat, dan berbagai fragmen dari berbagai suku, terdapat berbagai rumusan etika. Tentu terlalu berlebihan, jika kita harus membaca secara harfiyah, adat yang berlaku di semua suku dan etnis di kepualauan Nusantara itu.
Namun, semangat akomodasi sudah lama dipikirkan oleh para ahli hukum lama kita, seperti Hazairin Harahap (1906-1975). Hukum adat, agama, dan negara saling berkelindan dan memperkaya. Etika ada di sana, tata laku yang mengatur agar anggota masyarakat menjadi warga yang baik untuk meraih kebahagiaan.
Etika lebih dari hukum, lebih dari sekadar formalitas dan tata aturan negara. Etika lebih luas mencakup kebahagiaan masyarakat dan individu. Etika mencakup sikap, perilaku, dan tindakan kita. Etika terkait dengan laku batin.
Etika Pancasila sudah lama juga menjadi bahan perbincangan cerdik dan cendikia kita, era Orde Baru hingga Reformasi. Namun implementasi dan pengembangan tampaknya perlu perenungan lebih mendalam lagi. Bagaimana kita membuat etika Pancasila itu menjadi sederhana dan mudah difahami.
Berbagai tulisan dari para pengamat dan peneliti menggagas pembumian sekaligus penterjemahan dalam nilai-nilai Pancasila dari segi keseharian. Usaha itu akan menjaga agar Pancasila tetap hidup dalam tindakan masyarakat kita.
Etika itu bermula dari pendidikan kita. Para siswa sekolah dasar, menengah, atas dan perguruan tinggi selama ini terlalu ditekan dengan proses pembentukan untuk menghafal materi, dan terus dicetak untuk mengejar profesi formal yang dipandang bergengsi.
Imajinasi mereka, mimpi mereka, dan pandangan hidup mereka, ditunjukkan pada benda-benda formalitas. Mereka akan mengejar hal-hal zahiriyah. Tetapi pengajaran etika, keutamaan batiniyah, tampaknya sering dilupakan.
Persoalan etika sudah lama diajarkan dan dipikirkan oleh manusia kuno. Filosof Yunani kuno, Aristoteles, 2500 tahun yang lalu, secara khusus membahas ethos ini. Apa itu kebaikan, kebahagiaan, keadilan, dan nilai-nilai mulia yang dikembangkan.
Keutamaan laku dan sikap, serta nilai kebajikan yang mempengaruhi individu dan yang membawa masing-masing meraih kebahagiaan dan kebajikan bermasyarakat. Itulah etika yang hendaknya terkait dengan Pancasila, dan bagian utama darinya.
Dalam berbagai sastra kuno kita dalam berbagai bahasa daerah, terutama sumber utamanya adalah bahasa Sansekerta lama, misalnya genre babad atau serat, dan berbagai fragmen dari berbagai suku, terdapat berbagai rumusan etika. Tentu terlalu berlebihan, jika kita harus membaca secara harfiyah, adat yang berlaku di semua suku dan etnis di kepualauan Nusantara itu.
Namun, semangat akomodasi sudah lama dipikirkan oleh para ahli hukum lama kita, seperti Hazairin Harahap (1906-1975). Hukum adat, agama, dan negara saling berkelindan dan memperkaya. Etika ada di sana, tata laku yang mengatur agar anggota masyarakat menjadi warga yang baik untuk meraih kebahagiaan.
Etika lebih dari hukum, lebih dari sekadar formalitas dan tata aturan negara. Etika lebih luas mencakup kebahagiaan masyarakat dan individu. Etika mencakup sikap, perilaku, dan tindakan kita. Etika terkait dengan laku batin.
Etika Pancasila sudah lama juga menjadi bahan perbincangan cerdik dan cendikia kita, era Orde Baru hingga Reformasi. Namun implementasi dan pengembangan tampaknya perlu perenungan lebih mendalam lagi. Bagaimana kita membuat etika Pancasila itu menjadi sederhana dan mudah difahami.
Berbagai tulisan dari para pengamat dan peneliti menggagas pembumian sekaligus penterjemahan dalam nilai-nilai Pancasila dari segi keseharian. Usaha itu akan menjaga agar Pancasila tetap hidup dalam tindakan masyarakat kita.
Etika itu bermula dari pendidikan kita. Para siswa sekolah dasar, menengah, atas dan perguruan tinggi selama ini terlalu ditekan dengan proses pembentukan untuk menghafal materi, dan terus dicetak untuk mengejar profesi formal yang dipandang bergengsi.
Imajinasi mereka, mimpi mereka, dan pandangan hidup mereka, ditunjukkan pada benda-benda formalitas. Mereka akan mengejar hal-hal zahiriyah. Tetapi pengajaran etika, keutamaan batiniyah, tampaknya sering dilupakan.
tulis komentar anda