Heboh Polemik Pasal Penghinaan Presiden, Masih Relevankah?
Sabtu, 12 Juni 2021 - 10:29 WIB
Setara Institute pun menentang keras terhadap pasal-pasal RKHUP yang justru menciderai hak-hak konstitusional warga negara. Kemudian, Setara Institute mendesak agar DPR bersama pemerintah meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak pada kriminalisasi warga negara. "Mendorong DPR bersama Pemerintah untuk kembali mematuhi amanah putusan MK dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan pemerintah dalam substansi RKUHP," pungkasnya.
Kritikan lain pun datang dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Mereka yang tergabung dalam aliansi itu diantaranya adalah ICJR, ELSAM, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, Jatam, YPHA, Ecpat Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi.
Kemudian, PKNI, PUSKAPA, AMAN Indonesia, AMAN Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, JKP3, OPSI, Pusat Kajian Gender dan Seks UI, Institut Perempuan, Lintas Feminis Jakarta, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Pusham UII, OHANA, SEHATI Sukoharjo, Greenpeace Indonesia, SAFEnet, IJRS, Pamflet.
"Terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP. Pasal ini sejatinya ditujukan untuk Kepala Negara bukan kepada Kepala Pemerintahan atau disebut lesse majeste. Rumusan pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda," kata perwakilan aliansi yang juga merupakan Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga.
Dia melanjutkan, pasal tersebut pun sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006, dimana MK menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat Pasal Penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
"Rumusan pasal tersebut juga bertentangan dengan Konvenan Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 tahun 2005, dimana berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar," pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Omar Sharief Hiariej sebelumnya mengatakan, pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden merupakan delik aduan. Dia menjelaskan, pasal penghinaan terhadap kepala negara itu berbeda dengan pasal yang pernah dicabut oleh MK.
"Kalau dalam pembagian delik, pasal penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa. Sementara dalam RUU KHUP itu merupakan delik aduan," kata Eddy usai Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Karena sudah menjadi delik aduan, Eddy menegaskan, presiden dan wapres harus membuat laporannya sendiri. "Kalau delik aduan, itu yang harus melapor sendiri adalah presiden atau wakil presiden," ujarnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menilai jika penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (wapres) ini dibiarkan maka Indonesia akan menjadi sangat liberal. Apalagi di sejumlah negara penghinaan itu dianggap lumrah.
Kritikan lain pun datang dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Mereka yang tergabung dalam aliansi itu diantaranya adalah ICJR, ELSAM, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, Jatam, YPHA, Ecpat Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi.
Kemudian, PKNI, PUSKAPA, AMAN Indonesia, AMAN Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, JKP3, OPSI, Pusat Kajian Gender dan Seks UI, Institut Perempuan, Lintas Feminis Jakarta, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Pusham UII, OHANA, SEHATI Sukoharjo, Greenpeace Indonesia, SAFEnet, IJRS, Pamflet.
"Terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP. Pasal ini sejatinya ditujukan untuk Kepala Negara bukan kepada Kepala Pemerintahan atau disebut lesse majeste. Rumusan pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda," kata perwakilan aliansi yang juga merupakan Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga.
Dia melanjutkan, pasal tersebut pun sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006, dimana MK menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat Pasal Penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
"Rumusan pasal tersebut juga bertentangan dengan Konvenan Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 tahun 2005, dimana berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar," pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Omar Sharief Hiariej sebelumnya mengatakan, pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden merupakan delik aduan. Dia menjelaskan, pasal penghinaan terhadap kepala negara itu berbeda dengan pasal yang pernah dicabut oleh MK.
"Kalau dalam pembagian delik, pasal penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa. Sementara dalam RUU KHUP itu merupakan delik aduan," kata Eddy usai Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Karena sudah menjadi delik aduan, Eddy menegaskan, presiden dan wapres harus membuat laporannya sendiri. "Kalau delik aduan, itu yang harus melapor sendiri adalah presiden atau wakil presiden," ujarnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menilai jika penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (wapres) ini dibiarkan maka Indonesia akan menjadi sangat liberal. Apalagi di sejumlah negara penghinaan itu dianggap lumrah.
Lihat Juga :
tulis komentar anda