Heboh Polemik Pasal Penghinaan Presiden, Masih Relevankah?

Sabtu, 12 Juni 2021 - 10:29 WIB
Dia menjelaskan dalam ketentuan yang sekarang diubah menjadi delik aduan. Hal ini untuk melindungi harkat dan martabat orang itu dan bukan sebagai pejabat publik. Dia pun mencontohkan kalau dirinya dikritik sebagai Menkumham yang tidak becus mengatasi lapas atau Imigrasi baginya itu tidak apa-apa.

"Tapi kalau sekali menyerang harkat bartabat saya, saya dikatakan anak haram jadah, wah itu di kampung saya enggak bisa lah, anak PKI lah, kau tunjukkan sama saya bahwa saya anak PKI. Kalau enggak bisa gua jorokin luh. Enggak bisa, kebebasan yang sebebas-bebasnya bukan sebuah kebebasn, itu anarki pak," ujarnya dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021).

Dia menegaskan bahwa pasal penghinaan itu bukan untuk orang yang mengkritisi kinerja presiden, wapres dan pejabat negara. Tapi untuk menghindari Indonesia menjadi negara demokrasi liberal yang terlalu bebas.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menceritakan, sebelum menjabat Menko Polhukam, dirinya pernah menanyakan langsung kepada Presiden Jokowi terkait sikapnya terhadap pasal penghinaan kepada presiden yang masuk dalam KUHP.

"Jawabnya, terserah legislatif, mana yg bermanfaat bg negara. Kalau bg sy pribadi, masuk atau tak masuk sama saja, toh saya sering dihina tapi tak pernah memperkarakan," cuit Mahfud MD melalui akun Twitter pribadinya, @mohmahfudmd, Rabu (9/6/2021) malam.

Dari jawaban tersebut, Mahfud MD menyimpulkan, Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada pembahasan di legislatif apakah mau memasukkan atau tidak pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. "Bagi Pak Jokowi sebagai pribadi masuk atau tidak sama saja, sering dihina juga tak pernah mengadu/memperkarakan," cuitnya lagi.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(dam)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More