Heboh Polemik Pasal Penghinaan Presiden, Masih Relevankah?

Sabtu, 12 Juni 2021 - 10:29 WIB
loading...
Heboh Polemik Pasal Penghinaan Presiden, Masih Relevankah?
Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali menjadi polemik. Prokontra muncul menyikapi rancangan aturan tersebut. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali menjadi polemik. Terlebih, pasal tersebut pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) saat dipimpin Mahfud MD pada tahun 2006 lalu melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

MK pada saat itu menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi. Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tertuang dalam Pasal 218 hingga 220 bagian kedua penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden wakil presiden di BAB II Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam draf RKUHP terbaru.

Berikut bunyi sejumlah pasal tersebut:

Pasal 218
(1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempatkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 220
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

Munculnya kembali pasal penghinaan terhadap presiden itu menuai kritikan dari banyak pihak. Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan bahwa dalam jabatan publik terkandung tiga aspek.

Pertama, jabatannya. Kedua, orang yang menjabat sebagai pejabat publik. Ketiga, pribadi pejabat publik. "Artinya pada terminologi presiden dan wakil presiden itu sepenuhnya ada di ranah publik yang kehadirannya sepenuhnya sebagai lembaga yang menangani urusan publik," kata Abdul Fickar Hadjar kepada SINDOnews, Sabtu (11/6/2021).

Sehingga, kata dia, jika ada keluhan keberatan atau bahkan cacian terhadap jabatan presiden dan wakil presiden itu harus dipandang sebagai keluhan ketidakpuasan atau kritik pada jabatan yang diciptakan untuk melayani publik. "Jadi, sudah tidak relevan, dalam negara demokrasi yang perkembangan masyarakatnya sudah terbuka ada pasal yang melindungi jabatan," katanya.

Dia pun kemudian mengkritisi pasal tersebut. "Jika orang yang menjabat jabatan publik presiden merasa dirugikan, ukurannya adalah apakah keberatan itu ditujukan kepada jabatan atau pribadi, misalnya presiden hidungnya pesek, tangannya cacat dan sebagainya yang bersifat pribadi," tuturnya.

Dia melanjutkan, jika hal tersebut masuk ranah pribadi, maka orang yang menjabat presiden bisa mempersoalkan dengan mengadukan pencemaran nama baik yang secara umum ada pengaturannya, bukan aturan untuk presiden. "Yang dilupakan adalah bahwa KUHP itu peninggalan penjajah Belanda yang sistem pemerintahannya kerajaan (monarchi) yang hanya bisa diganti jika meninggal dunia. Karena itu lahirlah pasal yang melindungi Ratu yang kemudian diterjemahkan sebagai presiden yang jelas-jelas dipilih lima tahun sekali. Jadi, pasal ini jelas-jelas tidak relevan dan bertentangan dengan iklim demokrasi," tuturnya.

Direktur Eksekutif SETARA Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani mengatakan dalam sejarah ketatanegaraan, MK telah mencabut pasal tentang penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. "Melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," katanya.

Demikian pula, kata dia, dengan pasal penghinaan terhadap pemerintah, MK melalui putusannya Nomor 6/PUU-V/2007 memutus bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah telah bertentangan dengan UUD NRI 1945. "Oleh karenanya, penghidupan kembali pasal penghinaan, baik terhadap presiden-wakil presiden maupun pemerintah adalah suatu bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK, yang berarti pembangkangan pula terhadap konstitusi. Terlebih, penghidupan kembali pasal-pasal tersebut semakin melegitimasi adanya pembungkaman terhadap freedom of expression setiap warga negara," ujarnya.

Menurut dia, bukan tidak mungkin, delik penghinaan terhadap penguasa hanya akan menghambat berbagai kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah. "Padahal, dalam negara yang demokratis, partisipasi publik menjadi kunci utama penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan, dan protes maupun kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari partisipasi publik," imbuhnya.

Setara Institute pun menentang keras terhadap pasal-pasal RKHUP yang justru menciderai hak-hak konstitusional warga negara. Kemudian, Setara Institute mendesak agar DPR bersama pemerintah meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak pada kriminalisasi warga negara. "Mendorong DPR bersama Pemerintah untuk kembali mematuhi amanah putusan MK dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan pemerintah dalam substansi RKUHP," pungkasnya.

Kritikan lain pun datang dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Mereka yang tergabung dalam aliansi itu diantaranya adalah ICJR, ELSAM, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, Jatam, YPHA, Ecpat Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi.

Kemudian, PKNI, PUSKAPA, AMAN Indonesia, AMAN Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, JKP3, OPSI, Pusat Kajian Gender dan Seks UI, Institut Perempuan, Lintas Feminis Jakarta, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Pusham UII, OHANA, SEHATI Sukoharjo, Greenpeace Indonesia, SAFEnet, IJRS, Pamflet.

"Terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP. Pasal ini sejatinya ditujukan untuk Kepala Negara bukan kepada Kepala Pemerintahan atau disebut lesse majeste. Rumusan pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda," kata perwakilan aliansi yang juga merupakan Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga.

Dia melanjutkan, pasal tersebut pun sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006, dimana MK menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat Pasal Penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

"Rumusan pasal tersebut juga bertentangan dengan Konvenan Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 tahun 2005, dimana berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar," pungkasnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Omar Sharief Hiariej sebelumnya mengatakan, pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden merupakan delik aduan. Dia menjelaskan, pasal penghinaan terhadap kepala negara itu berbeda dengan pasal yang pernah dicabut oleh MK.

"Kalau dalam pembagian delik, pasal penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa. Sementara dalam RUU KHUP itu merupakan delik aduan," kata Eddy usai Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021).

Karena sudah menjadi delik aduan, Eddy menegaskan, presiden dan wapres harus membuat laporannya sendiri. "Kalau delik aduan, itu yang harus melapor sendiri adalah presiden atau wakil presiden," ujarnya.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menilai jika penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (wapres) ini dibiarkan maka Indonesia akan menjadi sangat liberal. Apalagi di sejumlah negara penghinaan itu dianggap lumrah.

Dia menjelaskan dalam ketentuan yang sekarang diubah menjadi delik aduan. Hal ini untuk melindungi harkat dan martabat orang itu dan bukan sebagai pejabat publik. Dia pun mencontohkan kalau dirinya dikritik sebagai Menkumham yang tidak becus mengatasi lapas atau Imigrasi baginya itu tidak apa-apa.

"Tapi kalau sekali menyerang harkat bartabat saya, saya dikatakan anak haram jadah, wah itu di kampung saya enggak bisa lah, anak PKI lah, kau tunjukkan sama saya bahwa saya anak PKI. Kalau enggak bisa gua jorokin luh. Enggak bisa, kebebasan yang sebebas-bebasnya bukan sebuah kebebasn, itu anarki pak," ujarnya dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021).

Dia menegaskan bahwa pasal penghinaan itu bukan untuk orang yang mengkritisi kinerja presiden, wapres dan pejabat negara. Tapi untuk menghindari Indonesia menjadi negara demokrasi liberal yang terlalu bebas.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menceritakan, sebelum menjabat Menko Polhukam, dirinya pernah menanyakan langsung kepada Presiden Jokowi terkait sikapnya terhadap pasal penghinaan kepada presiden yang masuk dalam KUHP.

"Jawabnya, terserah legislatif, mana yg bermanfaat bg negara. Kalau bg sy pribadi, masuk atau tak masuk sama saja, toh saya sering dihina tapi tak pernah memperkarakan," cuit Mahfud MD melalui akun Twitter pribadinya, @mohmahfudmd, Rabu (9/6/2021) malam.

Dari jawaban tersebut, Mahfud MD menyimpulkan, Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada pembahasan di legislatif apakah mau memasukkan atau tidak pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. "Bagi Pak Jokowi sebagai pribadi masuk atau tidak sama saja, sering dihina juga tak pernah mengadu/memperkarakan," cuitnya lagi.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1581 seconds (0.1#10.140)