Penguatan Pertanian sebagai Bantalan Ekonomi
Senin, 22 Februari 2021 - 10:31 WIB
Indikasi lain tampak dari rendahnya petani dalam memanfaatkan fasilitas koperasi untuk mendukung usahataninya, yang hanya 4%. Minat petani menjadi anggota kelompok tani lebih baik (32%), tetapi sebagian besar kelompok tani dibentuk atas repons kebijakan pemerintah yang mengharuskan petani berkelompok untuk bisa mengakses pelbagai bantuan. Mereka yang aktif pun kelompok petani kaya.
Perkara kedua, petani (kecil) belum terhubung ke dalam strategi besar penguatan ”rantai nilai global” (global value chain) industri pertanian nasional. Akibatnya, petani selalu mendapat bagian terkecil dari ”kue” ekonomi pertanian. Nilai tambah terbesar dinikmati pelaku lain, yang kontribusinya dalam rantai pasok tidak sebesar petani.
Dalam kasus peternakan, surplus produksi yang mestinya membuka pintu untuk ekspor justru lebih sering berubah jadi musibah ketimbang harapan. Ini, sekali lagi, karena peternak terputus dalam rantai nilai global lantaran ketergantungan yang tinggi pada input impor.
Perkara ketiga, rendah sentuhan teknologi. Sejauh ini, sumber pertumbuhan pertanian Indonesia lebih berupa akumulasi kapital, akumulasi tenaga kerja, dan perubahan teknologi (Fahmi dkk, 2020). Faktor produktivitas total (total factor productivity/TFP) amat rendah pada 15 tahun terakhir.
Sejarah mencatat, perubahan teknologi pertanian mampu menggenjot produktivitas padi dan mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada era 1980-an. Selama 20 tahun terakhir pertumbuhan TFP sektor pertanian justeru menunjukkan tren semakin menurun (Arifin, 2021).
Ke depan, tak ada jalan lain agar pertanian kian kuat, resilien, dan menghadirkan kesejahteraan, terutama bagi petani, harus ada transformasi mencapai skala ekonomi lewat koperasi atau korporasi dan menggabungkan diri dalam rantai nilai global. Permintaan Presiden Jokowi agar petani menyatukan diri dalam korporasi menemukan konteksnya.
Kolaborasi BUMN, perguruan tinggi, dan swasta bakal mengakselerasi ini. Kemitraan luas diperlukan untuk membangun ekosistem pertanian yang lebih berdaya, produktif, dan inovatif. Langkah ini akan menghadirkan kesejahteran bagi pelakunya.
Perkara kedua, petani (kecil) belum terhubung ke dalam strategi besar penguatan ”rantai nilai global” (global value chain) industri pertanian nasional. Akibatnya, petani selalu mendapat bagian terkecil dari ”kue” ekonomi pertanian. Nilai tambah terbesar dinikmati pelaku lain, yang kontribusinya dalam rantai pasok tidak sebesar petani.
Dalam kasus peternakan, surplus produksi yang mestinya membuka pintu untuk ekspor justru lebih sering berubah jadi musibah ketimbang harapan. Ini, sekali lagi, karena peternak terputus dalam rantai nilai global lantaran ketergantungan yang tinggi pada input impor.
Perkara ketiga, rendah sentuhan teknologi. Sejauh ini, sumber pertumbuhan pertanian Indonesia lebih berupa akumulasi kapital, akumulasi tenaga kerja, dan perubahan teknologi (Fahmi dkk, 2020). Faktor produktivitas total (total factor productivity/TFP) amat rendah pada 15 tahun terakhir.
Sejarah mencatat, perubahan teknologi pertanian mampu menggenjot produktivitas padi dan mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada era 1980-an. Selama 20 tahun terakhir pertumbuhan TFP sektor pertanian justeru menunjukkan tren semakin menurun (Arifin, 2021).
Ke depan, tak ada jalan lain agar pertanian kian kuat, resilien, dan menghadirkan kesejahteraan, terutama bagi petani, harus ada transformasi mencapai skala ekonomi lewat koperasi atau korporasi dan menggabungkan diri dalam rantai nilai global. Permintaan Presiden Jokowi agar petani menyatukan diri dalam korporasi menemukan konteksnya.
Kolaborasi BUMN, perguruan tinggi, dan swasta bakal mengakselerasi ini. Kemitraan luas diperlukan untuk membangun ekosistem pertanian yang lebih berdaya, produktif, dan inovatif. Langkah ini akan menghadirkan kesejahteran bagi pelakunya.
(poe)
tulis komentar anda