Penguatan Pertanian sebagai Bantalan Ekonomi
Senin, 22 Februari 2021 - 10:31 WIB
Sayangnya, pertumbuhan sektor pertanian tidak terdistribusi merata. Subsektor hortikultura tumbuh paling tinggi (4,17%), diikuti subsektor pangan (3,54%), dan subsektor perkebunan (1,33%). Sementara subsektor peternakan memiliki jalur berbeda: minus 0,33%.
Sejak dua tahun lalu, subsektor peternakan selalu terpukul. Kala pandemi, peternakan terpukul paling keras. Subsektor ini terpukul dua kali: harga input produksi (ayam usia sehari/DOC dan pakan) melonjak, sementara harga jual hasil anjlok. Faktor terakhir terjadi karena jalinan over-supply dan daya beli masyarakat yang belum pulih.
Tatkala pandemi belum jelas ujungnya dan gerak ekonomi belum pulih seperti semula, tidak banyak yang bisa dilakukan sektor pertanian. Karena, seperti sebelum pandemi, sektor ini sebagian besar didorong permintaan. Ketika daya beli warga turun signifikan, permintaan terhadap produk-produk pertanian juga menurun drastis.
Di sisi lain, beban yang dipikul sektor pertanian tatkala pandemi semakin berat. Ini terlihat dari dua hal. Pertama, kenaikan pangsa produk domestik bruto (PDB) pertanian, dari 12,71% pada 2019 menjadi 13,71% pada 2020. Fenomena ini perlu diwaspadai seksama, karena hal tersebut akan memengaruhi arah transformasi struktural perekonomian Indonesia.
Teori ekonomi pembangunan mewartakan, semakin maju suatu bangsa maka pangsa pendapatan dari sektor pertanian akan kian berkurang. Sebaliknya, pangsa sektor industri manufaktur dan jasa akan semakin tambun.
Saat resesi atau krisis ekonomi, proses transformasi struktural perekonomian yang normal itu bakal terganggu, bahkan menyimpang. Transformasi justru berbalik. Ini karena cukup banyak masyarakat yang menjadikan sektor pertanian sebagai penolong akhir (the last resort) buat bertahan hidup.
Kedua, kala kemiskinan dan pengangguran melonjak, terutama di kota, sepanjang 2020 sektor pertanian mendapatkan “limpahan” 3,7 juta tenaga kerja baru. Tenaga kerja sektor pertanian meningkat signifikan, dari 36,71 juta (27,53% dari total angkatan kerja 133,36 juta orang) pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang (29,76% dari total angkatan kerja 138,22 juta orang) pada Agustus 2020. Peningkatan ini menjadi tambahan beban berat bagi sektor pertanian karena produktivitas tenaga kerjanya cukup rendah.
Ini terjadi karena ada tiga perkara yang belum banyak berubah dalam pengelolaan pertanian nasional. Tiga perkara ini seperti pernyakit menahun, yang untuk mengubahnya memerlukan perubahan paradigmatik. Bukan semata-mata mengulang-ulang program dengan memoles atau mengubah nama.
Pertama, mengubah pengelolaan pertanian dari skala kecil menjadi berskala ekonomi. Sampai saat ini pelaku sektor pertanian masih dominan skala kecil, bahkan gurem, dan tradisional. Jumlah petani gurem mencapai 58%.
Tidak ada yang salah dengan pertanian skala kecil, kecuali soal skala ekonominya yang amat kecil. Ini berdampak pada tingginya biaya produksi dan lemahnya petani dalam transaksi penjualan produknya.
Sejak dua tahun lalu, subsektor peternakan selalu terpukul. Kala pandemi, peternakan terpukul paling keras. Subsektor ini terpukul dua kali: harga input produksi (ayam usia sehari/DOC dan pakan) melonjak, sementara harga jual hasil anjlok. Faktor terakhir terjadi karena jalinan over-supply dan daya beli masyarakat yang belum pulih.
Tatkala pandemi belum jelas ujungnya dan gerak ekonomi belum pulih seperti semula, tidak banyak yang bisa dilakukan sektor pertanian. Karena, seperti sebelum pandemi, sektor ini sebagian besar didorong permintaan. Ketika daya beli warga turun signifikan, permintaan terhadap produk-produk pertanian juga menurun drastis.
Di sisi lain, beban yang dipikul sektor pertanian tatkala pandemi semakin berat. Ini terlihat dari dua hal. Pertama, kenaikan pangsa produk domestik bruto (PDB) pertanian, dari 12,71% pada 2019 menjadi 13,71% pada 2020. Fenomena ini perlu diwaspadai seksama, karena hal tersebut akan memengaruhi arah transformasi struktural perekonomian Indonesia.
Teori ekonomi pembangunan mewartakan, semakin maju suatu bangsa maka pangsa pendapatan dari sektor pertanian akan kian berkurang. Sebaliknya, pangsa sektor industri manufaktur dan jasa akan semakin tambun.
Saat resesi atau krisis ekonomi, proses transformasi struktural perekonomian yang normal itu bakal terganggu, bahkan menyimpang. Transformasi justru berbalik. Ini karena cukup banyak masyarakat yang menjadikan sektor pertanian sebagai penolong akhir (the last resort) buat bertahan hidup.
Kedua, kala kemiskinan dan pengangguran melonjak, terutama di kota, sepanjang 2020 sektor pertanian mendapatkan “limpahan” 3,7 juta tenaga kerja baru. Tenaga kerja sektor pertanian meningkat signifikan, dari 36,71 juta (27,53% dari total angkatan kerja 133,36 juta orang) pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang (29,76% dari total angkatan kerja 138,22 juta orang) pada Agustus 2020. Peningkatan ini menjadi tambahan beban berat bagi sektor pertanian karena produktivitas tenaga kerjanya cukup rendah.
Ini terjadi karena ada tiga perkara yang belum banyak berubah dalam pengelolaan pertanian nasional. Tiga perkara ini seperti pernyakit menahun, yang untuk mengubahnya memerlukan perubahan paradigmatik. Bukan semata-mata mengulang-ulang program dengan memoles atau mengubah nama.
Pertama, mengubah pengelolaan pertanian dari skala kecil menjadi berskala ekonomi. Sampai saat ini pelaku sektor pertanian masih dominan skala kecil, bahkan gurem, dan tradisional. Jumlah petani gurem mencapai 58%.
Tidak ada yang salah dengan pertanian skala kecil, kecuali soal skala ekonominya yang amat kecil. Ini berdampak pada tingginya biaya produksi dan lemahnya petani dalam transaksi penjualan produknya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda