Penguatan Pertanian sebagai Bantalan Ekonomi

Senin, 22 Februari 2021 - 10:31 WIB
loading...
Penguatan Pertanian sebagai Bantalan Ekonomi
Seperti tercatat dalam sejarah krisis, sektor pertanian sekali lagi terbukti menjadi bantalan ekonomi, bahkan menjadi alternatif sumber mata pencaharian masyarakat. Ilustrasi/Dok. SINDOnews
A A A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
Penulis buku Ironi Negeri Beras
Peminat masalah sosial-ekonomi pertanian dan globalisasi

SEPERTI yang banyak diduga, sektor pertanian akan menjadi salah satu penyelamat ekonomi Indonesia kala pandemi. Seperti rilis BPS 5 Februari, saat ekonomi terkontraksi 2,07% pada 2020, sektor pertanian tumbuh positif 1,75%, bahkan pada Q4/2020 tumbuh 2,59%. Pada Q4/2020 pertanian tumbuh positif bersama 6 sektor lain: jasa kesehatan dan kegiatan sosial (16,54%), informasi dan komunikasi (10,91%), pengadaan air (4,98%), jasa keuangan dan asuransi (2,37%), jasa pendidikan (1,36%), dan realestat (1,25%).

Pertumbuhan pertanian 2020 memang lebih rendah dari 2019 (3,61%). Tetapi, seperti tercatat dalam sejarah krisis, sektor pertanian sekali lagi terbukti menjadi bantalan (cushion) ekonomi, bahkan menjadi alternatif sumber mata pencaharian masyarakat, tatkala terjadi resesi atau ketika sumber-sumber pendapatan lunglai disergap pandemi.

Ini tak terlepas dari aspek resiliensi pertanian yang salah satunya lebih mudah beradaptasi ketika pandemi Covid-19. Salah duanya, krisis atau tidak, orang tetap perlu akses makan.

Pangan adalah kebutuhan hakiki atau primer yang dibutuhkan manusia, pada saat normal maupun kala pandemi. Asupan makan yang bergizi dan sehat kini menjadi piranti yang niscaya agar tubuh memiliki pertahanan prima untuk melawan virus SARS-Cov2, penyebab Covid-19.

Saat situasi normal, mengikuti piramida Abraham Maslow, manusia mengejar puncak piramida: aktualisasi diri dan esteem. Kini, tatkala pandemi, manusia menggeser kebutuhan ke dasar piramida: makan, kesehatan, dan keamanan jiwa-raga.

Sayangnya, pertumbuhan sektor pertanian tidak terdistribusi merata. Subsektor hortikultura tumbuh paling tinggi (4,17%), diikuti subsektor pangan (3,54%), dan subsektor perkebunan (1,33%). Sementara subsektor peternakan memiliki jalur berbeda: minus 0,33%.

Sejak dua tahun lalu, subsektor peternakan selalu terpukul. Kala pandemi, peternakan terpukul paling keras. Subsektor ini terpukul dua kali: harga input produksi (ayam usia sehari/DOC dan pakan) melonjak, sementara harga jual hasil anjlok. Faktor terakhir terjadi karena jalinan over-supply dan daya beli masyarakat yang belum pulih.

Tatkala pandemi belum jelas ujungnya dan gerak ekonomi belum pulih seperti semula, tidak banyak yang bisa dilakukan sektor pertanian. Karena, seperti sebelum pandemi, sektor ini sebagian besar didorong permintaan. Ketika daya beli warga turun signifikan, permintaan terhadap produk-produk pertanian juga menurun drastis.

Di sisi lain, beban yang dipikul sektor pertanian tatkala pandemi semakin berat. Ini terlihat dari dua hal. Pertama, kenaikan pangsa produk domestik bruto (PDB) pertanian, dari 12,71% pada 2019 menjadi 13,71% pada 2020. Fenomena ini perlu diwaspadai seksama, karena hal tersebut akan memengaruhi arah transformasi struktural perekonomian Indonesia.

Teori ekonomi pembangunan mewartakan, semakin maju suatu bangsa maka pangsa pendapatan dari sektor pertanian akan kian berkurang. Sebaliknya, pangsa sektor industri manufaktur dan jasa akan semakin tambun.

Saat resesi atau krisis ekonomi, proses transformasi struktural perekonomian yang normal itu bakal terganggu, bahkan menyimpang. Transformasi justru berbalik. Ini karena cukup banyak masyarakat yang menjadikan sektor pertanian sebagai penolong akhir (the last resort) buat bertahan hidup.

Kedua, kala kemiskinan dan pengangguran melonjak, terutama di kota, sepanjang 2020 sektor pertanian mendapatkan “limpahan” 3,7 juta tenaga kerja baru. Tenaga kerja sektor pertanian meningkat signifikan, dari 36,71 juta (27,53% dari total angkatan kerja 133,36 juta orang) pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang (29,76% dari total angkatan kerja 138,22 juta orang) pada Agustus 2020. Peningkatan ini menjadi tambahan beban berat bagi sektor pertanian karena produktivitas tenaga kerjanya cukup rendah.

Ini terjadi karena ada tiga perkara yang belum banyak berubah dalam pengelolaan pertanian nasional. Tiga perkara ini seperti pernyakit menahun, yang untuk mengubahnya memerlukan perubahan paradigmatik. Bukan semata-mata mengulang-ulang program dengan memoles atau mengubah nama.

Pertama, mengubah pengelolaan pertanian dari skala kecil menjadi berskala ekonomi. Sampai saat ini pelaku sektor pertanian masih dominan skala kecil, bahkan gurem, dan tradisional. Jumlah petani gurem mencapai 58%.

Tidak ada yang salah dengan pertanian skala kecil, kecuali soal skala ekonominya yang amat kecil. Ini berdampak pada tingginya biaya produksi dan lemahnya petani dalam transaksi penjualan produknya.

Indikasi lain tampak dari rendahnya petani dalam memanfaatkan fasilitas koperasi untuk mendukung usahataninya, yang hanya 4%. Minat petani menjadi anggota kelompok tani lebih baik (32%), tetapi sebagian besar kelompok tani dibentuk atas repons kebijakan pemerintah yang mengharuskan petani berkelompok untuk bisa mengakses pelbagai bantuan. Mereka yang aktif pun kelompok petani kaya.

Perkara kedua, petani (kecil) belum terhubung ke dalam strategi besar penguatan ”rantai nilai global” (global value chain) industri pertanian nasional. Akibatnya, petani selalu mendapat bagian terkecil dari ”kue” ekonomi pertanian. Nilai tambah terbesar dinikmati pelaku lain, yang kontribusinya dalam rantai pasok tidak sebesar petani.

Dalam kasus peternakan, surplus produksi yang mestinya membuka pintu untuk ekspor justru lebih sering berubah jadi musibah ketimbang harapan. Ini, sekali lagi, karena peternak terputus dalam rantai nilai global lantaran ketergantungan yang tinggi pada input impor.

Perkara ketiga, rendah sentuhan teknologi. Sejauh ini, sumber pertumbuhan pertanian Indonesia lebih berupa akumulasi kapital, akumulasi tenaga kerja, dan perubahan teknologi (Fahmi dkk, 2020). Faktor produktivitas total (total factor productivity/TFP) amat rendah pada 15 tahun terakhir.

Sejarah mencatat, perubahan teknologi pertanian mampu menggenjot produktivitas padi dan mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada era 1980-an. Selama 20 tahun terakhir pertumbuhan TFP sektor pertanian justeru menunjukkan tren semakin menurun (Arifin, 2021).

Ke depan, tak ada jalan lain agar pertanian kian kuat, resilien, dan menghadirkan kesejahteraan, terutama bagi petani, harus ada transformasi mencapai skala ekonomi lewat koperasi atau korporasi dan menggabungkan diri dalam rantai nilai global. Permintaan Presiden Jokowi agar petani menyatukan diri dalam korporasi menemukan konteksnya.

Kolaborasi BUMN, perguruan tinggi, dan swasta bakal mengakselerasi ini. Kemitraan luas diperlukan untuk membangun ekosistem pertanian yang lebih berdaya, produktif, dan inovatif. Langkah ini akan menghadirkan kesejahteran bagi pelakunya.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0990 seconds (0.1#10.140)