Utak-Atik Stimulus Ekonomi

Senin, 30 November 2020 - 22:43 WIB
Sejak terjadinya pandemi, daya beli masyarakat terpantau rendah. Selain dikarenakan tidak bisa memiliki banyak kesempatan untuk bergerak, masyarakat juga memiliki keterbatasan dana untuk dibelanjakan. Rendahnya permintaan ini kemudian menyebabkan munculnya deflasi atau penurunan harga-harga barang di pasaran.

Bahkan, banyak produsen yang menawarkan harga diskon hanya demi menghabiskan stok. Pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) berupaya memberikan berbagai bentuk bantuan untuk menstimulus ekonomi nasional. Hingga 18 November 2020, realisasi penyerapan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mencapai Rp408,61 triliun atau 58,7% dari pagu anggaran Rp695,2 triliun.

Alternatif Pembiayaan

Dalam ekonomi klasik, hukum Say, menyatakan bahwa produksi agregat selalu menciptakan jumlah permintaan agregat yang sama. Substansi hukum Say adalah memperkuat keyakinan bahwa pasar mampu menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien lewat proses pertukaran. Pada kondisi saat ini, pihak yang memiliki kemampuan untuk menciptakan permintaan adalah pemerintah melalui belanja pemerintah. Di sisi lain, implikasi dari kebijakan tersebut adalah defisit APBN yang melebar dan semakin sempitnya ruang fiskal. Pada akhirnya, melebarnya defisit APBN perlu didukung oleh pembiayaan di tengah menurunnya realisasi penerimaan negara.

Defisit pada awal 2020 diproyeksikan sebesar 1,76 % PDB. Setelah terjadi pandemi, pemerintah menetapkan pelebaran defisit lebih dari 3% menjadi 5,07% dari Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan Perpres No 54/2020 dan selanjutnya meningkat menjadi 6,34% PDB berdasarkan Perpres No 72/2020. Meski demikian, untuk APBN 2021 pemerintah telah menetapkan defisit yang lebih kecil dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 5,7% atau sebesar Rp1.006,4 triliun.

Krisis pandemi Covid-19 juga membuat akumulasi utang pemerintah menjadi tidak terelakkan. Selama ini utang masih mendominasi sumber pembiayaan pemerintah. Instrumen utang yang digunakan pemerintah berupa Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman. SBN terdiri atas Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBBN). Akan tetapi, nominal utang bukan satu-satunya indikator untuk mengetahui tingkat keamanan atau solvabilitas pemerintah. Rasio utang pemerintah masih termasuk dalam batas aman antara 37,64% sampai 38,50% PDB. Artinya, selama rasio dimaksud masih terkendali, pemerintah masih memiliki kapasitas untuk mengembalikannya.

Masa pandemi dengan segala ketidakpastiannya masih akan terus membutuhkan pembiayaan besar dari pemerintah untuk menstimulus ekonomi. Oleh sebab itu, kini pemerintah perlu segera mencari alternatif sumber pembiayaan lain selain utang. Pengelolaan wakaf melalui Cash Wakaf Linkage to Sukuk (CWLS) dapat menjadi salah satu opsi alternatif sumber pembiayaan bagi pemerintah untuk menutup defisit anggaran.

Kementerian Keuangan menawarkan Cash Waqf Linked Sukuk Ritel seri SWR 001 kepada wakaf individu dan institusi untuk pengembangan investasi sosial maupun wakaf produktif di Indonesia. Selain CWLS, opsi kedua yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan lain untuk menutup defisit adalah melalui pengelolaan aset. Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) harus mampu mengoptimalkan berbagai aset negara agar produktif dan memiliki nilai tambah.

Dana dari pemanfaatan aset tersebut akan sangat berguna untuk membantu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menghadapi tekanan akibat pandemi Covid-19. Data menunjukkan bahwa saat ini LMAN telah mengelola 234 aset milik negara dengan nilai aset mencapai sekitar Rp38,49 triliun dan harus terus dioptimalkan pemanfaatannya.

Selain mengupayakan optimalisasi alternatif sumber penerimaan negara, pemerintah juga perlu terus membangun kepercayaan diri masyarakat untuk melakukan konsumsi dan investasi untuk mempercepat pemulihan ekonomi di masa pandemi. Fenomena pola sebagian besar masyarakat saat ini lebih memilih untuk menabung dibandingkan membelanjakan uangnya. Hal itu justru akan semakin memperlambat Indonesia keluar dari jerat resesi, karena konsumsi yang menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turut terhambat. Padahal, saat ini dua komponen penting untuk mendorong pemulihan ekonomi adalah konsumsi dan investasi.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More