Tiga Mazhab Pandemi

Rabu, 02 Maret 2022 - 16:03 WIB
loading...
Tiga Mazhab Pandemi
Hasibullah Satrawi (Foto: Ist)
A A A
Hasibullah Satrawi
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

SEJAK kemunculannya pada akhir 2019, pandemi Covid-19 berhasil menjadi faktor, bahkan faktor utama dalam kehidupan manusia. Tidak hanya dalam konteks pribadi, melainkan juga dalam konteks negara. Di hadapan Covid-19, semua orang dan seluruh negara-bangsa dapat melihat siapa hakikat dirinya; ketaatan pada peraturan, kepedulian terhadap diri sendiri juga orang lain, kepatuhan terhadap pemerintah dan lain sebagainya. Bahkan Covid-19 juga bisa mengungkap “jati diri” dari sebuah bangsa.

Dalam beberapa hari terakhir, contohnya, banyak negara di Eropa yang mulai diwarnai aksi “konvoi kebebasan” dari pelbagai macam peraturan pembatasan sosial akibat Covid-19. Di mana salah satu peraturan yang timbul dari ini semua ialah kewajiban menggunakan masker. Sementara di negara-negara lain seperti Indonesia, menggunakan masker mungkin tidak perlu diwajibkan seperti di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS). Yang harus diwajibkan di Indonesia adalah tidak berkerumun yang terbukti banyak dilanggar oleh masyarakat maupun unsur pemerintah sendiri, baik pada momen-momen penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 3 atau 4, dan terlebih lagi pada momen pemberlakuan PPKM level 1 dan 2.

Secara kebudayaan, masyarakat Eropa sangat memerhatikan aspek kebebasan dalam kehidupan mereka. Sementara masyarakat Indonesia sangat memerhatikan aspek kebersamaan atau gotong royong dalam hidupnya (mangan ora mangan sing penting kumpul). Covid-19 telah membatasi semua ini. Tapi Covid-19 juga memperlihatkan siapa yang merindukan apa sebagai jati dirinya.

Dua Mazhab
Menurut pengamatan penulis, ada dua mazhab atau kecenderungan dari masyarakat dunia dalam menyikapi Covid-19, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Pertama, mazhab konservatif. Masyarakat yang berada dalam kelompok ini biasanya cenderung rileks dalam menghadapi Covid-19; sebagian tidak terlalu memerhatikan protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bahkan sebagian lainnya ada yang sampai tidak percaya dengan keberadaan Covid-19. Kalau pun sakit, kelompok masyarakat dalam kategori ini biasanya menganggap sebagai penyakit biasa; tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Bahkan kalau pun ada yang meninggal, sebagian masyarakat dalam kelompok ini juga menganggapnya sebagai kematian biasa; toh kematian dari dulu sudah biasa terjadi dalam kehidupan umat manusia.

Hal yang menarik adalah, masyarakat yang masuk dalam kategori pertama ini biasanya cenderung tidak terlalu antusias dalam menyambut program vaksinasi yang dilakukan oleh banyak negara di dunia. Mungkin karena pada dasarnya kelompok ini sudah tidak terlalu percaya terhadap Covid-19, maka ketidakpercayaan yang sama juga diberlakukan untuk upaya pencegahan ataupun perlindungan seperti vaksinasi. Alih-alih mau beli vaksin (andai vaksinasi jadi diperjual-belikan), bahkan sebagian pihak tetap tidak mau untuk mengikuti vaksinasi walaupun dibayar dengan “imbalan-imbalan” tertentu.

Kedua, mazhab progresif. Berbeda dengan kelompok konservatif, kelompok progresif sangat percaya terhadap keberadaan Covid-19. Kelompok ini kerap melakukan segala daya dan upaya untuk menjaga diri dan orang lain agar tidak tertular oleh virus yang masih diupayakan obatnya ini. Sebagai turunannya, kelompok ini sangat patuh terhadap protokol kesehatan; mulai dari tidak keluar rumah, menghindari kerumunan masyarakat, rajin mencuci tangan dan hal-hal lainnya. Pun demikian, kelompok ini sangat positif dalam menghadapi program vaksinasi pemerintah sebagai upaya pencegahan dan perlindungan dari Covid-19. Andai pemerintah tetap memberlakukan vaksinasi berbayar, kelompok ini mungkin akan membelinya.

Neo-Progresif
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul mazhab ketiga, yang penulis sebut sebagai kelompok Neo-Progresif. Kelompok ini sebenarnya berawal dari kelompok progresif yang sangat percaya terhadap keberadaan Covid-19, taat terhadap protokol kesehatan dan mendukung program vaksinasi pemerintah. Namun kemunculan varian Omicron yang menurut para ahli tidak menimbulkan dampak yang serius layaknya varian Delta atau Alfa telah membuat kelompok ini “nyempal” dari kelompok progresif pada umumnya. Lebih daripada itu semua, kelompok Neo-Progresif ini justru bersikap layaknya kelompok konservatif.

Sebagaimana sikap kelompok konservatif, kelompok Neo-Progresif saat ini cenderung lebih rileks dalam menghadapi Covid-19, khususnya varian Omicron. Kelompok ini mendukung agar protokol kesehatan mulai dilonggarkan, mulai dari pewajiban masker hingga larangan berkumpul. Dalam hemat penulis, aksi-aksi konvoi kebebasan yang belakangan marak terjadi di negara-negara Eropa (sebagaimana telah disampaikan di atas) merupakan bagian dari kelompok Neo-Progresif.

Ke depan, hampir bisa dipastikan akan semakin banyak kelompok masyarakat yang bersuara atau bahkan beraksi seperti dilakukan oleh kelompok Neo-Progresif, termasuk di Indonesia. Terlebih lagi selama ini memang banyak kelompok konservatif di Indonesia yang suaranya menjadi sama dengan suara kelompok Neo-Progresif sekarang.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2288 seconds (0.1#10.140)