Kemenangan Joe Biden dan Komunitas Muslim Amerika
Selasa, 10 November 2020 - 11:42 WIB
Inilah yang kami pakai dalam menilai dan menentukan pilihan antara dua kandidat presiden Amerika; Joe Biden dan Donald Trump. Bahwa dengan segala kesamaan, keduanya tentunya kapitalis, punya ambisi untuk kepentingan Amerika di dunia global, tentu ada sisi-sisi yang membedakan keduanya.
Berikut saya sampaikan beberapa perbedaan di antara keduanya. Sekaligus menepis beberapa pandangan tentang Biden dalam hal kebijakan Timur Tengah dan Global secara umum.
Kebijakan Dalam Negeri
Jauh sebelum menjadi Presiden Amerika, Donald Trump memang dkenal dengan sikapnya yang anti “non-White”. Belakangan yang paling nampak adalah anti imigran, khususnya Islam. Artinya tanpa ragu kita katakan bahwa Trump memang orang yang rasis.
Karakter Trump yang rasis dan white radical (radikal Putih) ini kemudian menjadi karakter politiknya, bahkan menjadi motto kampanyenya di kemudian hari. “Making America great again” dimaknai sebagai menjadikan Amerika negara kaum putih lagi.
Kemenangan Donald Trump kemudian terbukti salah satunya bertujuan untuk balas dendam kepada Barack Obama yang memang dibencinya. Maka hampir semua kebijakan Barack Obama berusaha untuk dihapuskan. Dari Obama Care yang bersejarah, hingga kepada pembatalan pemboikotan Iran, termasuk membatalkan hubungan diplomatik dengan Kuba yang telah dibuka oleh Obama.
Kedekatan Barack Obama dengan Komunitas Muslim juga menjadi target Trump. Kita kenal bahwa di zaman Barack Obama beberapa posisi tinggi di pemerintahannya juga diduduki oleh orang Islam. Ada posisi President Special Envoy to the Muslim Community, ada Dubes Muslim (Hafiz Quran) ke OKI, bahkan salah seorang Wakil Menlu Amerika ketika itu adalah wanita Muslimah keturunan India.
Semua posisi itu ditiadakan di zaman Donald Trump. Bahkan acara buka puasa di White House ditiadakan. Setelah diributkan baru diadakan lagi. Itupun hanya untuk Dubes-Dubes negara Islam. Sementara pada zaman Barack Obama acara ini diperuntukkan terutama untuk tokoh-tokoh Muslim Amerika.
Puncak dari kebencian Trump itu diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang disebut “Muslims Ban” di tahun 2017 lalu. Di mana Trump melakukan uji coba untuk melarang orang Islam masuk Amerika. Saya menyebutnya uji coba karena pengacara pribadi Trump, Rudy Giuliani, pernah mengatakan bahwa Presiden sedang mencari pembenaran hukum untuk melarang orang Islam masuk Amerika.
Mungkin hal terburuk yang ditimbulkan oleh Presiden Trump adalah terbentuknya lingkungan (suasana) di mana kaum putih radikal yang dikenal dengan White Supremacy atau White Nationalist semakin menjadi-jadi. Akibatnya kekerasan kepada non-White, termasuk Muslim, hispanik, kulit hitam, bahkan Yahudi yang dianggap non-White semakin menjadi-jadi.
Berikut saya sampaikan beberapa perbedaan di antara keduanya. Sekaligus menepis beberapa pandangan tentang Biden dalam hal kebijakan Timur Tengah dan Global secara umum.
Kebijakan Dalam Negeri
Jauh sebelum menjadi Presiden Amerika, Donald Trump memang dkenal dengan sikapnya yang anti “non-White”. Belakangan yang paling nampak adalah anti imigran, khususnya Islam. Artinya tanpa ragu kita katakan bahwa Trump memang orang yang rasis.
Karakter Trump yang rasis dan white radical (radikal Putih) ini kemudian menjadi karakter politiknya, bahkan menjadi motto kampanyenya di kemudian hari. “Making America great again” dimaknai sebagai menjadikan Amerika negara kaum putih lagi.
Kemenangan Donald Trump kemudian terbukti salah satunya bertujuan untuk balas dendam kepada Barack Obama yang memang dibencinya. Maka hampir semua kebijakan Barack Obama berusaha untuk dihapuskan. Dari Obama Care yang bersejarah, hingga kepada pembatalan pemboikotan Iran, termasuk membatalkan hubungan diplomatik dengan Kuba yang telah dibuka oleh Obama.
Kedekatan Barack Obama dengan Komunitas Muslim juga menjadi target Trump. Kita kenal bahwa di zaman Barack Obama beberapa posisi tinggi di pemerintahannya juga diduduki oleh orang Islam. Ada posisi President Special Envoy to the Muslim Community, ada Dubes Muslim (Hafiz Quran) ke OKI, bahkan salah seorang Wakil Menlu Amerika ketika itu adalah wanita Muslimah keturunan India.
Semua posisi itu ditiadakan di zaman Donald Trump. Bahkan acara buka puasa di White House ditiadakan. Setelah diributkan baru diadakan lagi. Itupun hanya untuk Dubes-Dubes negara Islam. Sementara pada zaman Barack Obama acara ini diperuntukkan terutama untuk tokoh-tokoh Muslim Amerika.
Puncak dari kebencian Trump itu diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang disebut “Muslims Ban” di tahun 2017 lalu. Di mana Trump melakukan uji coba untuk melarang orang Islam masuk Amerika. Saya menyebutnya uji coba karena pengacara pribadi Trump, Rudy Giuliani, pernah mengatakan bahwa Presiden sedang mencari pembenaran hukum untuk melarang orang Islam masuk Amerika.
Mungkin hal terburuk yang ditimbulkan oleh Presiden Trump adalah terbentuknya lingkungan (suasana) di mana kaum putih radikal yang dikenal dengan White Supremacy atau White Nationalist semakin menjadi-jadi. Akibatnya kekerasan kepada non-White, termasuk Muslim, hispanik, kulit hitam, bahkan Yahudi yang dianggap non-White semakin menjadi-jadi.
tulis komentar anda