Kemendagri: Perusahaan Fintech Wajib Lindungi Data Pribadi
Minggu, 08 November 2020 - 18:53 WIB
JAKARTA - Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengingatkan bahwa kerja sama dan pemberian akses data kependudukan kepada perusahaan financial technology ( fintech ), perusahaan jasa keuangan lainnya, maupun perusahaan swasta, secara umum harus melindungi data pribadi .
Zudan Arif Fakrulloh menyatakan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan telah mengatur lembaga mana saja yang bisa bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri untuk pemanfaatan data kependudukan.
Yang pertama, berbadan hukum Indonesia. Contohnya, kata Zudan, lembaga pemerintah baik pemerintah pusat, kementerian, lembaga, pemerintah kabupaten, pemerintah kota, pemerintah provinsi, kemudian swasta berupa perseroan terbatas yang didirikan dengan hukum Indonesia, koperasi, maupun yayasan. Perusahaan swasta yang bisa bekerja sama, tutur dia, lembaga keuangan bank dan non bank. Untuk non bank seperti fintech, asuransi, koperasi, leasing, atau sekuritas. ( )
Masih berdasarkan UU Administrasi Kependudukan, ujar Zudan, pada Pasal 58 ayat (4) disebutkan ada lima lembaga yang boleh kerja sama dengan Ditjen Dukcapil untuk pemanfaatan data kependudukan. Kelimanya yakni, bergerak di pelayanan publik, di perencanaan pembangunan, di pengalokasian anggaran, di penyelenggara demokratisasi, dan di penegakan hukum.
Zudan mengakui masih banyak terjadi kebocoran atau pembobolan data pribadi milik konsumen atau nasabah fintech di Indonesia. Namun dia memastikan, kerja sama Ditjen Dukcapil dengan fintech untuk pemanfaatan data kependudukan tidak terjadi kebocoran data yang berujung delik pidana.
"Ada kebocoran? Ah tidak ada. Sampai sekarang tidak ada. Ahamdulilah. Kewajiban lembaga yang bekerja sama itu, satu, dia harus menjaga dan melindungi rahasia data pribadi. Itu wajib. Yang kedua, memberi data balikan," kata Zudan saat berbincang dengan SINDOnews di Jakarta, Minggu (8/11/2020) sore.
Dua kewajiban tersebut, tutur Zudan, jelas tercantum di dalam perjanjian kerja sama kedua belah pihak yang telah diteken sebelumnya. Perjanjian merujuk pada Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan. ( )
Zudan menjelaskan, untuk data balikan harus diberikan ke Ditjen Dukcapil. Data balikan tersebut contohnya, untuk perusahaan fintech, maka perusahaan fintech memberikan data transaksinya. Misalnya si A, nasabah perusahaan tersebut pernah meminjam di perusahaan lain. Kalau untuk perusahaan leasing atau perusahaan di bursa atau sekuritas, maka memberikan data balikan berupa nomor kepesertaan Single Investor Identification (SID).
Menurut Zudan, kebocoran data pribadi warga yang menjadi konsumen atau nasabah fintech gampang sekali dilihat jika hendak mengakses website atau laman pencarian seperti Google. Di situ, kata dia, ketika mengetik kata kunci "KTP elektronik" atau "Kartu Keluarga" atau "Surat Izin Mengemudi" atau "ATM" atau "paspor" atau "ijazah", maka akan banyak sekali data tersebut bahkan jutaan.
Zudan Arif Fakrulloh menyatakan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan telah mengatur lembaga mana saja yang bisa bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri untuk pemanfaatan data kependudukan.
Yang pertama, berbadan hukum Indonesia. Contohnya, kata Zudan, lembaga pemerintah baik pemerintah pusat, kementerian, lembaga, pemerintah kabupaten, pemerintah kota, pemerintah provinsi, kemudian swasta berupa perseroan terbatas yang didirikan dengan hukum Indonesia, koperasi, maupun yayasan. Perusahaan swasta yang bisa bekerja sama, tutur dia, lembaga keuangan bank dan non bank. Untuk non bank seperti fintech, asuransi, koperasi, leasing, atau sekuritas. ( )
Masih berdasarkan UU Administrasi Kependudukan, ujar Zudan, pada Pasal 58 ayat (4) disebutkan ada lima lembaga yang boleh kerja sama dengan Ditjen Dukcapil untuk pemanfaatan data kependudukan. Kelimanya yakni, bergerak di pelayanan publik, di perencanaan pembangunan, di pengalokasian anggaran, di penyelenggara demokratisasi, dan di penegakan hukum.
Zudan mengakui masih banyak terjadi kebocoran atau pembobolan data pribadi milik konsumen atau nasabah fintech di Indonesia. Namun dia memastikan, kerja sama Ditjen Dukcapil dengan fintech untuk pemanfaatan data kependudukan tidak terjadi kebocoran data yang berujung delik pidana.
"Ada kebocoran? Ah tidak ada. Sampai sekarang tidak ada. Ahamdulilah. Kewajiban lembaga yang bekerja sama itu, satu, dia harus menjaga dan melindungi rahasia data pribadi. Itu wajib. Yang kedua, memberi data balikan," kata Zudan saat berbincang dengan SINDOnews di Jakarta, Minggu (8/11/2020) sore.
Dua kewajiban tersebut, tutur Zudan, jelas tercantum di dalam perjanjian kerja sama kedua belah pihak yang telah diteken sebelumnya. Perjanjian merujuk pada Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan. ( )
Zudan menjelaskan, untuk data balikan harus diberikan ke Ditjen Dukcapil. Data balikan tersebut contohnya, untuk perusahaan fintech, maka perusahaan fintech memberikan data transaksinya. Misalnya si A, nasabah perusahaan tersebut pernah meminjam di perusahaan lain. Kalau untuk perusahaan leasing atau perusahaan di bursa atau sekuritas, maka memberikan data balikan berupa nomor kepesertaan Single Investor Identification (SID).
Menurut Zudan, kebocoran data pribadi warga yang menjadi konsumen atau nasabah fintech gampang sekali dilihat jika hendak mengakses website atau laman pencarian seperti Google. Di situ, kata dia, ketika mengetik kata kunci "KTP elektronik" atau "Kartu Keluarga" atau "Surat Izin Mengemudi" atau "ATM" atau "paspor" atau "ijazah", maka akan banyak sekali data tersebut bahkan jutaan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda