UU Ciptaker Menyulut Kontroversi, Begini Pandangan Yusril Ihza Mahendra
Rabu, 04 November 2020 - 09:38 WIB
Yusril memandang sebagaimana kita maklum, Omnibus Law adalah sebuah UU yang mencakup berbagai pengaturan yang saling berkaitan, langsung maupun tidak langsung. Dalam proses pembentukannya, Omnibus Law sangat mungkin akan mengubah UU yang ada di samping memberikan pengaturan baru terhadap sesuatu masalah.
Kata Yusril, persoalannya kemudian adalah apakah proses pengubahan atau amandemen terhadap UU lain itu sejalan atau tidak dengan norma dan prosedur perubahan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? "Debat tentang kesesuaian prosedur seperti saya kemukakan di atas akan sangat panjang dengan melibatkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Jika menggunakan landasan pemikiran yang kaku, maka dengan mudah dapat dikatakan prosedur perubahan terhadap undang melalui pembentukan Omnibus Law adalah tidak sejalan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011. Tentu akan ada pandangan yang sebaliknya," tuturnya.
Yusril sendiri mengaku ingin menyimak seperti apa argumentasi pemerintah dan DPR di MK nanti dalam menjawab persoalan prosedur ini. Pemerintah dan DPR memang harus hati-hati dan argumentatif mempertahankan prosedur yang mereka tempuh dalam proses pembentukan UU Ciptaker dengan menggunakan cara Omnibus Law ini.
"Saya katakan harus hati-hati dan benar-benar argumentatif karena jika prosedur pembentukan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, maka MK bisa membatalkan UU Cipta Kerja ini secara keseluruhan, tanpa mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur oleh undang-undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma UUD 1945," beber dia.
Selain uji formil terkait prosedur pembentukan UU Ciptaker yang menerapkan pola Omnibus Law, lanjutnya, uji materil tentu akan terkait dengan pengujian substansi norma yang diatur dalam UU Ciptaker terhadap norma konstitusi di dalam UUD 1945. Mengingat cakupan masalah dalam UU Ciptaker ini begitu luas maka setiap Pemohon akan fokus terhadap pasal-pasal yang menyangkut kepentingan mereka.
Kita tentu ingin menyimak apa argumen para Pemohon dan apa pula argumen yang disampaikan pemerintah dan DPR dalam menanggapi permohonan uji formil dan materil tersebut. Di sisi lain, Yusril juga menanggapi persoalan salah ketik, yakni persoalan yang juga mendapat banyak sorotan dalam UU Nomor 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini adalah banyaknya kesalahan pengetikan. Ini semua terjadi karena proses pembentukan UU ini dilakukan tergesa-gesa sehingga mengabaikan asas kecermatan.
"Namun seperti kata pepatah, nasi telah menjadi bubur. UU yang banyak kesalahan ketiknya itu sudah ditandatangani presiden dan sudah diundangkan dalam Lembaran Negara. Naskah itu sah sebagai sebuah undang-undang yang berlaku dan mengikat semua pihak," paparnya.
"Bagaimanakah cara memperbaiki salah ketik seperti itu? Haruskah Presiden mengajukan UU Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2020? Ataukah mengajukan Perppu untuk memperbaikinya?" tanya Yusril.
Dia berpendapat kalau kesalahan itu hanya salah ketik saja tanpa membawa pengaruh kepada norma yang diatur dalam UU itu maka Presiden Jokowi (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik tersebut.
"Naskah yang telah diperbaiki itu nantinya diumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi. Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu," jelas dia.
Kata Yusril, persoalannya kemudian adalah apakah proses pengubahan atau amandemen terhadap UU lain itu sejalan atau tidak dengan norma dan prosedur perubahan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? "Debat tentang kesesuaian prosedur seperti saya kemukakan di atas akan sangat panjang dengan melibatkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Jika menggunakan landasan pemikiran yang kaku, maka dengan mudah dapat dikatakan prosedur perubahan terhadap undang melalui pembentukan Omnibus Law adalah tidak sejalan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011. Tentu akan ada pandangan yang sebaliknya," tuturnya.
Yusril sendiri mengaku ingin menyimak seperti apa argumentasi pemerintah dan DPR di MK nanti dalam menjawab persoalan prosedur ini. Pemerintah dan DPR memang harus hati-hati dan argumentatif mempertahankan prosedur yang mereka tempuh dalam proses pembentukan UU Ciptaker dengan menggunakan cara Omnibus Law ini.
"Saya katakan harus hati-hati dan benar-benar argumentatif karena jika prosedur pembentukan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, maka MK bisa membatalkan UU Cipta Kerja ini secara keseluruhan, tanpa mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur oleh undang-undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma UUD 1945," beber dia.
Selain uji formil terkait prosedur pembentukan UU Ciptaker yang menerapkan pola Omnibus Law, lanjutnya, uji materil tentu akan terkait dengan pengujian substansi norma yang diatur dalam UU Ciptaker terhadap norma konstitusi di dalam UUD 1945. Mengingat cakupan masalah dalam UU Ciptaker ini begitu luas maka setiap Pemohon akan fokus terhadap pasal-pasal yang menyangkut kepentingan mereka.
Kita tentu ingin menyimak apa argumen para Pemohon dan apa pula argumen yang disampaikan pemerintah dan DPR dalam menanggapi permohonan uji formil dan materil tersebut. Di sisi lain, Yusril juga menanggapi persoalan salah ketik, yakni persoalan yang juga mendapat banyak sorotan dalam UU Nomor 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini adalah banyaknya kesalahan pengetikan. Ini semua terjadi karena proses pembentukan UU ini dilakukan tergesa-gesa sehingga mengabaikan asas kecermatan.
"Namun seperti kata pepatah, nasi telah menjadi bubur. UU yang banyak kesalahan ketiknya itu sudah ditandatangani presiden dan sudah diundangkan dalam Lembaran Negara. Naskah itu sah sebagai sebuah undang-undang yang berlaku dan mengikat semua pihak," paparnya.
"Bagaimanakah cara memperbaiki salah ketik seperti itu? Haruskah Presiden mengajukan UU Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2020? Ataukah mengajukan Perppu untuk memperbaikinya?" tanya Yusril.
Dia berpendapat kalau kesalahan itu hanya salah ketik saja tanpa membawa pengaruh kepada norma yang diatur dalam UU itu maka Presiden Jokowi (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik tersebut.
"Naskah yang telah diperbaiki itu nantinya diumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi. Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu," jelas dia.
tulis komentar anda