UU Ciptaker Menyulut Kontroversi, Begini Pandangan Yusril Ihza Mahendra
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra ikut menanggapi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law Cipta Kerja ( UU Ciptaker ) yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) pada Senin 2 November 2020. Dengan demikian, RUU Ciptaker yang menyulut banyak kontroversi telah final menjadi UU yang berlaku setelah diumumkan oleh Menkumham dalam Lembaran Negara RI pada hari yang sama.
Yusril mengatakan ada sejumlah masalah yang kini dihadapi pemerintah dan seharusnya juga DPR dengan disahkannya UU Ciptaker ini. Pertama adalah penolakan keras dari berbagai kalangan, terutama kalangan pekerja yang menilai UU ini sebuah kemunduran yang merugikan kepentingan mereka. (Baca juga: UU Ciptaker Diprotes Banyak Typo, Arteria Dahlan Bela Jokowi)
"Demo besar-besaran yang digerakkan Serikat Pekerja dan didukung elemen lain dalam masyarakat dalam menolak UU Cipta Kerja menambah keadaan yang sudah runyam akibat pandemi COVID-19 menjadi semakin mengkhawatirkan," tutur Yusril dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (4/11/2020).
Menurut Yusril, sejumlah akademisi dan aktivis sosial juga mengkritik UU yang proses pembuatannya kurang transparan. Pembahasannya terkesan tergesa-gesa sehingga menabrak UU lain. UU ini juga dinilai terlalu banyak mendelegasikan pengaturan lanjutan baik kepada Peraturan Pemerintah maupun kepada Peraturan Presiden.
Pendelegasian pengaturan yang begitu banyak menimbulkan kekhawatiran para akademisi akan makin membesarnya kekuasaan presiden yang potensial menabrak asas-asas demokrasi. "Potensi seperti itu dianggap bertentangan dengan cita-cita Reformasi 22 tahun yang lalu," kata dia.
Selanjutnya, Yusril melihat setelah pemerintah dan DPR menyepakati RUU Ciptaker menjadi UU kemudian isu ini bergeser ke Uji Formil dan Materil ke Mahkamah Kontitusi (MK). Dia menjelaskan sejak sebelum ditandatangani Presiden Jokowi tanggal 3 November silam, sudah ada pihak-pihak yang mendaftarkan permohonan pengujian UU Cipta Kerja ini ke MK.
Presiden Jokowi sendiri dalam statemen kepada masyarakat tanggal 9 Otober yang lalu telah mempersilakan elemen-elemem masyarakat yang tidak puas dan bahkan menolak UU Ciptaker ini untuk mengujinya di MK.
"Keinginan mereka yang ingin menguji UU Cipta Kerja ke MK, baik uji formil maupun materil memang pantas didukung agar MK secara obyektif dapat memeriksa dan memutuskan apakah secara formil proses pembentukan UU Cipta Kerja ini menabrak prosedur pembentukan undang-undang --termasuk melakukan amanden terhadap undang-undang-- atau tidak," jelas Yusril.
"MK akan menggunakan norma-norma dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 untuk menilainya," sambungnya.
Yusril memandang sebagaimana kita maklum, Omnibus Law adalah sebuah UU yang mencakup berbagai pengaturan yang saling berkaitan, langsung maupun tidak langsung. Dalam proses pembentukannya, Omnibus Law sangat mungkin akan mengubah UU yang ada di samping memberikan pengaturan baru terhadap sesuatu masalah.
Kata Yusril, persoalannya kemudian adalah apakah proses pengubahan atau amandemen terhadap UU lain itu sejalan atau tidak dengan norma dan prosedur perubahan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? "Debat tentang kesesuaian prosedur seperti saya kemukakan di atas akan sangat panjang dengan melibatkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Jika menggunakan landasan pemikiran yang kaku, maka dengan mudah dapat dikatakan prosedur perubahan terhadap undang melalui pembentukan Omnibus Law adalah tidak sejalan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011. Tentu akan ada pandangan yang sebaliknya," tuturnya.
Yusril sendiri mengaku ingin menyimak seperti apa argumentasi pemerintah dan DPR di MK nanti dalam menjawab persoalan prosedur ini. Pemerintah dan DPR memang harus hati-hati dan argumentatif mempertahankan prosedur yang mereka tempuh dalam proses pembentukan UU Ciptaker dengan menggunakan cara Omnibus Law ini.
"Saya katakan harus hati-hati dan benar-benar argumentatif karena jika prosedur pembentukan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, maka MK bisa membatalkan UU Cipta Kerja ini secara keseluruhan, tanpa mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur oleh undang-undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma UUD 1945," beber dia.
Selain uji formil terkait prosedur pembentukan UU Ciptaker yang menerapkan pola Omnibus Law, lanjutnya, uji materil tentu akan terkait dengan pengujian substansi norma yang diatur dalam UU Ciptaker terhadap norma konstitusi di dalam UUD 1945. Mengingat cakupan masalah dalam UU Ciptaker ini begitu luas maka setiap Pemohon akan fokus terhadap pasal-pasal yang menyangkut kepentingan mereka.
Kita tentu ingin menyimak apa argumen para Pemohon dan apa pula argumen yang disampaikan pemerintah dan DPR dalam menanggapi permohonan uji formil dan materil tersebut. Di sisi lain, Yusril juga menanggapi persoalan salah ketik, yakni persoalan yang juga mendapat banyak sorotan dalam UU Nomor 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini adalah banyaknya kesalahan pengetikan. Ini semua terjadi karena proses pembentukan UU ini dilakukan tergesa-gesa sehingga mengabaikan asas kecermatan.
"Namun seperti kata pepatah, nasi telah menjadi bubur. UU yang banyak kesalahan ketiknya itu sudah ditandatangani presiden dan sudah diundangkan dalam Lembaran Negara. Naskah itu sah sebagai sebuah undang-undang yang berlaku dan mengikat semua pihak," paparnya.
"Bagaimanakah cara memperbaiki salah ketik seperti itu? Haruskah Presiden mengajukan UU Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2020? Ataukah mengajukan Perppu untuk memperbaikinya?" tanya Yusril.
Dia berpendapat kalau kesalahan itu hanya salah ketik saja tanpa membawa pengaruh kepada norma yang diatur dalam UU itu maka Presiden Jokowi (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik tersebut.
"Naskah yang telah diperbaiki itu nantinya diumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi. Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu," jelas dia.
Lebih lanjut Yusril mengatakan, selama ini adanya salah ketik dalam naskah yang telah disetuji bersama antara Presiden dan DPR dan dikirim ke Sekretariat Negara telah beberapa kali terjadi. Mensesneg yang segera mengetahui hal tersebut karena harus membaca naskah RUU secara teliti sebelum diajukan ke presiden untuk ditandatangani, biasanya melakukan pembicaraan informal dengan DPR untuk melakukan perbaikan teknis. (Baca juga: Temukan Banyak Typo di UU Ciptaker, PKS Belum Tertarik Legislative Review)
"Setelah diperbaiki baru diajukan lagi ke presiden dengan memo dan catatan dari Mensesneg. Kesalahan ketik kali ini memang beda. Kesalahan itu baru diketahui setelah Presiden menandatanganinya dan naskahnya telah diundangkan dalam lembaran negara," kata mantan kuasa hukum Presiden Jokowi pada Pilpres 2019 lalu ini.
Yusril mengatakan ada sejumlah masalah yang kini dihadapi pemerintah dan seharusnya juga DPR dengan disahkannya UU Ciptaker ini. Pertama adalah penolakan keras dari berbagai kalangan, terutama kalangan pekerja yang menilai UU ini sebuah kemunduran yang merugikan kepentingan mereka. (Baca juga: UU Ciptaker Diprotes Banyak Typo, Arteria Dahlan Bela Jokowi)
"Demo besar-besaran yang digerakkan Serikat Pekerja dan didukung elemen lain dalam masyarakat dalam menolak UU Cipta Kerja menambah keadaan yang sudah runyam akibat pandemi COVID-19 menjadi semakin mengkhawatirkan," tutur Yusril dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (4/11/2020).
Menurut Yusril, sejumlah akademisi dan aktivis sosial juga mengkritik UU yang proses pembuatannya kurang transparan. Pembahasannya terkesan tergesa-gesa sehingga menabrak UU lain. UU ini juga dinilai terlalu banyak mendelegasikan pengaturan lanjutan baik kepada Peraturan Pemerintah maupun kepada Peraturan Presiden.
Pendelegasian pengaturan yang begitu banyak menimbulkan kekhawatiran para akademisi akan makin membesarnya kekuasaan presiden yang potensial menabrak asas-asas demokrasi. "Potensi seperti itu dianggap bertentangan dengan cita-cita Reformasi 22 tahun yang lalu," kata dia.
Selanjutnya, Yusril melihat setelah pemerintah dan DPR menyepakati RUU Ciptaker menjadi UU kemudian isu ini bergeser ke Uji Formil dan Materil ke Mahkamah Kontitusi (MK). Dia menjelaskan sejak sebelum ditandatangani Presiden Jokowi tanggal 3 November silam, sudah ada pihak-pihak yang mendaftarkan permohonan pengujian UU Cipta Kerja ini ke MK.
Presiden Jokowi sendiri dalam statemen kepada masyarakat tanggal 9 Otober yang lalu telah mempersilakan elemen-elemem masyarakat yang tidak puas dan bahkan menolak UU Ciptaker ini untuk mengujinya di MK.
"Keinginan mereka yang ingin menguji UU Cipta Kerja ke MK, baik uji formil maupun materil memang pantas didukung agar MK secara obyektif dapat memeriksa dan memutuskan apakah secara formil proses pembentukan UU Cipta Kerja ini menabrak prosedur pembentukan undang-undang --termasuk melakukan amanden terhadap undang-undang-- atau tidak," jelas Yusril.
"MK akan menggunakan norma-norma dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 untuk menilainya," sambungnya.
Yusril memandang sebagaimana kita maklum, Omnibus Law adalah sebuah UU yang mencakup berbagai pengaturan yang saling berkaitan, langsung maupun tidak langsung. Dalam proses pembentukannya, Omnibus Law sangat mungkin akan mengubah UU yang ada di samping memberikan pengaturan baru terhadap sesuatu masalah.
Kata Yusril, persoalannya kemudian adalah apakah proses pengubahan atau amandemen terhadap UU lain itu sejalan atau tidak dengan norma dan prosedur perubahan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? "Debat tentang kesesuaian prosedur seperti saya kemukakan di atas akan sangat panjang dengan melibatkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Jika menggunakan landasan pemikiran yang kaku, maka dengan mudah dapat dikatakan prosedur perubahan terhadap undang melalui pembentukan Omnibus Law adalah tidak sejalan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011. Tentu akan ada pandangan yang sebaliknya," tuturnya.
Yusril sendiri mengaku ingin menyimak seperti apa argumentasi pemerintah dan DPR di MK nanti dalam menjawab persoalan prosedur ini. Pemerintah dan DPR memang harus hati-hati dan argumentatif mempertahankan prosedur yang mereka tempuh dalam proses pembentukan UU Ciptaker dengan menggunakan cara Omnibus Law ini.
"Saya katakan harus hati-hati dan benar-benar argumentatif karena jika prosedur pembentukan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, maka MK bisa membatalkan UU Cipta Kerja ini secara keseluruhan, tanpa mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur oleh undang-undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma UUD 1945," beber dia.
Selain uji formil terkait prosedur pembentukan UU Ciptaker yang menerapkan pola Omnibus Law, lanjutnya, uji materil tentu akan terkait dengan pengujian substansi norma yang diatur dalam UU Ciptaker terhadap norma konstitusi di dalam UUD 1945. Mengingat cakupan masalah dalam UU Ciptaker ini begitu luas maka setiap Pemohon akan fokus terhadap pasal-pasal yang menyangkut kepentingan mereka.
Kita tentu ingin menyimak apa argumen para Pemohon dan apa pula argumen yang disampaikan pemerintah dan DPR dalam menanggapi permohonan uji formil dan materil tersebut. Di sisi lain, Yusril juga menanggapi persoalan salah ketik, yakni persoalan yang juga mendapat banyak sorotan dalam UU Nomor 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini adalah banyaknya kesalahan pengetikan. Ini semua terjadi karena proses pembentukan UU ini dilakukan tergesa-gesa sehingga mengabaikan asas kecermatan.
"Namun seperti kata pepatah, nasi telah menjadi bubur. UU yang banyak kesalahan ketiknya itu sudah ditandatangani presiden dan sudah diundangkan dalam Lembaran Negara. Naskah itu sah sebagai sebuah undang-undang yang berlaku dan mengikat semua pihak," paparnya.
"Bagaimanakah cara memperbaiki salah ketik seperti itu? Haruskah Presiden mengajukan UU Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2020? Ataukah mengajukan Perppu untuk memperbaikinya?" tanya Yusril.
Dia berpendapat kalau kesalahan itu hanya salah ketik saja tanpa membawa pengaruh kepada norma yang diatur dalam UU itu maka Presiden Jokowi (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik tersebut.
"Naskah yang telah diperbaiki itu nantinya diumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi. Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu," jelas dia.
Lebih lanjut Yusril mengatakan, selama ini adanya salah ketik dalam naskah yang telah disetuji bersama antara Presiden dan DPR dan dikirim ke Sekretariat Negara telah beberapa kali terjadi. Mensesneg yang segera mengetahui hal tersebut karena harus membaca naskah RUU secara teliti sebelum diajukan ke presiden untuk ditandatangani, biasanya melakukan pembicaraan informal dengan DPR untuk melakukan perbaikan teknis. (Baca juga: Temukan Banyak Typo di UU Ciptaker, PKS Belum Tertarik Legislative Review)
"Setelah diperbaiki baru diajukan lagi ke presiden dengan memo dan catatan dari Mensesneg. Kesalahan ketik kali ini memang beda. Kesalahan itu baru diketahui setelah Presiden menandatanganinya dan naskahnya telah diundangkan dalam lembaran negara," kata mantan kuasa hukum Presiden Jokowi pada Pilpres 2019 lalu ini.
(kri)